Dengan perlahan, sepasang kelopak mata itu terbuka. Butuh beberapa detik untuk mengumpulkan kesadaran, sampai semua hal di sekitar bisa di perhatikan dengan baik.
Sebuah ruang yang selalu khas dengan dinding-dinding bernuansa putih, suasana tenang yang hanya diisi oleh bunyi alat detektor detak jantung, dan bau yang tidak kalah khas nya. Yang selalu berhasil membuat ia tidak nyaman. Yaitu, rumah sakit.
Ia menengok, mencoba melihat siapa gerangan yang sejak pertama kali tersadar terasa memenjarakan sebelah tangannya. Lalu ketika wajah tenang seseorang yang selalu di rindukannya terlihat, sudut bibirnya tak ingin biasa, melainkan selalu terangkat, membentuk sebuah senyum.
Sosok itu memejam, tampak tenang. Tapi, ketika sepasang matanya mengamati keadaan, yang dimana pakaian yang di pakai masih sama seperti terakhir kali melihat, ia jadi sadar bahwa keadaan tidak tenang sepenuhnya.
Akan bagus jika ia membangunkan sosok itu, lalu mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Tapi melihat nafasnya yang teratur, ia jadi tidak tega, hingga memutuskan membiarkan, sampai sosok itu terbangun sendiri.
Dalam tidurnya, sosok itu merasakan sebuah sentuhan di puncak kepala, yang berhasil membuatnya merasa nyaman hingga rasanya enggan untuk terbangun. Sentuhan itu perlahan turun, mendarat di pipi dan mengelus disana. Lagi-lagi sosok itu dibuat terlena hingga rasanya ingin terlelap saja. Tapi, ketika ingatannya tertuju kepada seseorang yang sedang menjadi pusat kekhawatiran, sosok itu jadi tak nyaman lagi, dan memutuskan untuk bangun.
"Hm..."
Sosok itu menggeliat, dan dengan perlahan membuka mata, terlihatlah seseorang yang sedang duduk sambil tersenyum. Awalnya terlihat buram, hingga ia kucek sepasang organ penglihatan itu akhirnya membuat semua terlihat jelas dan menuntunnya untuk duduk.
"Kak Firash udah sadar, alhamdulillah." ucapnya haru diiringi setetes air mata kebahagiaan.
Ya. Sosok yang terbangun dari tidur itu adalah Anara. Dan sosok yang pertama kali tersadar dengan seseorang memenjarakan tangannya adalah Firash.
Firash mengangguk. "Maaf."
Anara yang paham kemana arah penyesalan itu, menggeleng pasti. "Nggak pa apa. Kak Firash juga lakuin itu karena aku."
"Mau kemana?" tanya Firash ketika dilihatnya Anara berdiri.
"Panggil dokter. Tadi katanya kalo Kak Firash sadar, harus kasih kabar biar nanti di periksa lagi."
"Nggak usah, aku nggak pa apa kok. Sekarang aja bisa langsung pulang."
"Nggak bisa, aku harus panggil dokter buat mastiin Kak Firash nggak kenapa-napa."
"Nggak usah An. Serius deh, aku nggak pa apa. Lagi pula sebelumnya nggak perlu bawa aku ke rumah sakit segala, orang sehat gini."
Anara mengernyit tidak suka. "Sebelumnya sehat dan nggak perlu ke rumah sakit, yakin?"
"Yakinlah." Firash turun, lalu melompat-lompat. "Tuh, barusan aja bisa loncat. Aku nggak pa apa dong berarti."
"Terus yang sebelumnya pingsan di pelukan aku itu nunjukin apa? Kamu baik-baik aja atau sebaliknya?"
"Ya... Itu, ya... Itu..." Firash mengusap tengkuknya yang tak gatal. "... Kesalahan teknis. Dan sekarang, semua udah baik-baik aja, jadi nggak perlu dokter buat periksa."
Anara menggeleng. "Sekali aku bilang panggil dokter, itu artinya harus."
"An, please, nggak usah." Firash meremas tangan yang selalu pas dalam genggamannya. "Aku nggak mau kamu tinggal walaupun sekedar buat manggil dokter."
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAETERITA [Complete]
Teen Fiction_____ GENRE : Fiksi Remaja ____ Firash Miftahul Rashad. Cowok yang menjelma sebagai pentolan kelas sebelas itu tiba-tiba datang dengan segala karakter yang baru pertama kali Anara temui. Satu hal yang membuatnya istimewa adalah kejujuran yang terpa...