Setelah puas berbincang sebagai bentuk perkenalan, acara makan siang pun di mulai.
Kegiatan dilakukan dengan tenang dan riang. Yang dimana hampir semua orang tidak ada yang tidak tersenyum. Karena seiring perut diisi, obrolan tak pernah terputus. Hal itu sendiri, tentu sangat membekas bagi seseorang. Yang selalu merindukan suasana hangat di meja makan bersama sepasang sosok perisai paruh baya.
Orang itu adalah; Anara.
Anara ingat, bulan ke 10 tahun kemarin adalah terakhir kali ia makan bersama dengan kedua orang tua, itu pun hanya sekali yang kebetulan kedua orang tua nya pulang dan sore harinya mereka berangkat kembali ke negeri Paman Sam. Makan siang nya pun, tidak sehangat siang ini dengan keluarga Firash, karena Papa nya tetap sibuk dengan gadget sehingga tidak ikut mengobrol dengan semestinya.
Tidak pantas memang mengeluhkan sesuatu yang pada dasarnya dilakukan untuk dirinya, tepatnya untuk kebutuhan materi, yang dimana kedua orang tuanya berjuang keras agar tidak ada kekurangan. Tetapi, tidak salahkan jika Anara berharap hal lain. Hal yang kecil tapi tetap berharga. Seperti berkumpul makan bersama, atau bersantai minum teh yang tentunya sambil berbincang hangat.
Hanya itu, dan Anara tidak tahu kapan akan merasakan. Atau mungkin, tidak akan pernah ia rasakan.
"Anara... Anara... Hey." Firash mengguncang tangan gadis di sampingnya, barulah ada tanggapan.
"I... Iya. Kenapa Kak?"
"Kamu yang kenapa. Kenapa tiba-tiba bengong dan..."
Firash melirik piring Anara yang masih terdapat banyak makanan. "... Makanan kamu kok awet aja. Kenapa susah abis. Nggak suka sama masakannya? Kepedesan? Keselek tulang ikan? Lauk nya kurang mateng? Atau sayurnya kemat--"
Anara meletakkan jari telunjuknya di mulut Firash. "Udah Kak, pertanyaan kamu ngawur semua."
"Hmmppp... Hmmppp..."
"Terus kenapa?" tanya Firash setelah Anara menarik kembali tangannya.
"Aku cuma lagi inget Mama Papa." Satu kalimat, yang cukup untuk membuat semua orang terpaku dan terenyuh. Seolah ikut merasakan rasa sakit yang selama ini Anara pikul.
"Sabar ya. Nanti pasti ada waktunya." lirih Firash lembut.
"Iya, nak Anara. Mereka pasti sangat menyayangi kamu, dan dengan kebutuhan serba berkecukupan lah caranya." timpal Bunda.
Anara yang sejak tadi mencoba kuat, tak bisa menahan setetes air mata ketika Bunda berkata. Ia jadi teringat kepada Mamanya, yang selalu berkata seperti itu sebelum pergi.
"Tapi Tante, nggak pa apa kan kalo Anara pengen hal lain, dan menerimanya setiap hari. Anara pengen di bangunin Mama, di masakin Mama, di peluk sebelum sekolah sama Mama dan Papa, di bikinin bekel buat makan di sekolah..."
Anara mengungkap segala hal yang di keluhkan terhadap kekurangan yang selama ini dirasakan dengan menggebu dan tanpa hambatan, seolah sekarang lah saatnya, dan Bunda lah sandarannya.
Di tempatnya, Firash tercengang dan merasakan sakit seketika. Ia tidak menyangka bahwa gadisnya memiliki beban seberat ini, oleh hal yang tanpa di minta, seharusnya sudah di dapatkan. Selain itu, Firash juga sadar. Bahwa ada saat dimana ia menyimpang, yang mengeluhkan sebuah ketidak adilan, itu tidak pantas. Seharusnya ia bersyukur, karena apa yang ia alami tidak seberapa jika di bandingkan dengan beban Anara.
Anara menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menyembunyikan isakan seraya menenangkan pikiran. "Maaf Tante, Om, Kak Firash, Anara barusan ngelantur."
"Tidak apa-apa, itu wajar kok."
Bunda yang kebetulan sudah selesai, sama seperti Ayah dan Firash, berdiri. Lalu menghampiri Anara, dan memberanikan diri menarik kedua tangan gadis itu dan memeluknya. Tak lama, Anara membalas pelukan dan menangis di pelukannya. Sebagai upaya menenangkan, Bunda mengusap kepala gadis itu dengan lembut dan penuh kasih sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAETERITA [Complete]
Teen Fiction_____ GENRE : Fiksi Remaja ____ Firash Miftahul Rashad. Cowok yang menjelma sebagai pentolan kelas sebelas itu tiba-tiba datang dengan segala karakter yang baru pertama kali Anara temui. Satu hal yang membuatnya istimewa adalah kejujuran yang terpa...