Empat Puluh Delapan

57 17 2
                                    

48..

"Karena mama udah di sini. Apa boleh mama minta sesuatu sama kamu?" Denar menatap Rini dalam.

"Apa ma?"

"Apa bisa. Anak Om Reno dan teman Mahera kamu bebas kan? Dan ..." Denar menaikkan sebelah alis.

"Preman-preman yang kamu sewa.  Tolong dipulang kan."

Pandangan mata Denar langsung mengawang lepas keluar jendela. Tubuhnya bergeming. Kontan saja Rini yang merasa terabaikan meraih kedua pergelangan tangan Denar.

"Sayang?" tanya Rini dengan wajah memelas.

Seketika napas Denar tercekat melihat raut wajah Rini—mamanya. Rasa bersalah menyeruak begitu saja. Kalau saja ia tak menuruti permintaan mamanya. Dan pada akhirnya ia mengangguk dan menyetujui.

Mungkin sudah saatnya bagi Denar untuk memaafkan segelanya yang terkesan rumit ini. Dan mungkin benar juga membenci sewajarnya agar tidak menjadi dendam yang berkepanjangan.

Denar menundukkan kepala sambil memejamkan kedua mata. Melenan bulat-bulat semua hal-hal yang terkait kebencian dirinya dengan Mahera. Keadaannya harus berubah. Ia harus membuat damai dan tentram sebelum Rini memberi tahu bahwa Mahera dalam saudaranya. Dan sebelum Rini memberi tahunya jika Fawaz adalah ayahnya. Ayah yang tak pernah membiayai kehidupannya, karena hal itu Denar menjadi tak menyukai Mahera. Yang selalu dapat kasih sayang dari Fawaz.

"Yuk, kita ajak masuk Om Reno, Mahera dan Nadira," pinta Rini yang sudah mengalaungkan kedua tangan di lengan Denar.

Denar pun berdiri dari tempat duduknya. Mengikuti arah langkah Rini. Ketika sampai di depan gerbang Rini mencubit lengan Denar pelan. Denar yang sadar pun akhirnya berkata.

"Si—silakan masuk Om Reno, Nadira, Ma  he ra..." ungkap Denar asing.

Jujur sebenarnya Denar tidak tahu harus bagaimana. Semua terlihat aneh serta asing. Mungkin karena terbiasa tidak berkomunikasi baik dengan mereka membuat Denar merasa tidak nyaman.

"Ayo Reno?"

"Mahera?"

"Nadira?"

Rini bereaksi tatkala Reno, Mahera dan Nadira masih terdiam di tempat dengan ajakan Denar. Merasa kalau ajakan Denar tak mempan.

"Ayo, sayang masuk." Rini merangkul pundak Nadira untuk masuk ke dalam rumah. Dan mau tidak mau Reno dan Mahera mengikuti langkah Nadira.

Sementara Mahera dan Nadira diajak bicara dengan Rini. Denar mengajak Reno menuju kamar. Di mana kamar tersebut tempat Dearni dan Davindra berada. Perlahan Denar membuka kunci pintu dan knop pintu.

Dearni yang saat itu asik mengamati pintu berharap agar teman-temannya menolong atau Disnika menolongnya. Dan ketika pintu terbuka termenung berkali-kali ia mengucek mata. Memastikan jika ia tidak sedang bermimpi melihat papa-nya. Dearni pun langsung berdiri dan berlari memeluk Reno—papanya.

"Papa ... Dearni takut ..." lirih kecil Dearni. Reno lalu membelai rambut  Dearni berusaha menenangkan.

"Papa di sini sayang ..." ucap Reno sembari tersenyum. Denar yang melihat kejadian itu hanya dapat iri. Ia tidak pernah merasa pelukan seorang Ayah.

Davindra yang melihat Denar menghampiri cowok itu. Ia pun langsung meraih kerah baju Denar.

"Heh, maksud lo apa nyekap gua sama Dearni?!" kelakar Davindra. Ia marah hingga urat lehernya tercetak dengan jelas.

Reno yang sadar dengan kemarahan Davindra lantas melepas pelukan Dearni. Ia pun melerai dan melepaskan cengkraman tangan Davindra dari kerah baju Denar.

Lukisan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang