16# Sampah

82 61 12
                                    

               "mulai detik ini lo ga akan bisa lepas dari gue."
                                           -Gemma Queenarra-
 
                                                             ***

Pagi ini sarapan sudah tersaji di meja makan, tapi Narra hanya memainkan Nasi goreng di hadapannya. Sementara Rania tampak sudah sibuk sepagi ini.

Kalau diingat-ingat memang Rania selalu sibuk dari dulu. Sejak Narra masih kecil, ia sudah tumbuh bersama asisten yang dipekerjakan oleh Rania.

Narra kecil hampir tidak memiliki kenangan tentang kebersamaannya dengan sosok seorang ibu. Dulu ia selalu bermain boneka seorang diri. Satu-satunya teman untuk Narra adalah Popo, kelinci kecil yang dibelikan ayahnya dulu.

Kini raut wajah Narra dipenuhi kesedihan. Rasanya sepi ketika satu-satunya keluarga yang ia punya tak punya banyak waktu untuknya. Tapi mungkin, Rania juga tidak pernah ingin itu terjadi.

"Kamu kenapa, Narra?" Tanya Rania seraya duduk di kursi meja makannya. "Lagi ada masalah?"

Narra menggelengkan kepalanya.

"Cerita donk sama Mama.."

Narra terdiam beberapa saat. "Ma.."

"Hm?" Rania mengangkat satu alis matanya.

"Mama..." Narra menggantung kalimatnya. Ia mencoba meyakinkan diri sendiri tentang apa yang akan ia katakan.

"Mama kalo mau nikah lagi boleh ko, Ma.."

"Uhukk!" Rania tersedak nasi goreng yang baru saja ia santap. Ia kemudian meneguk susu yang sudah ia tuang di dalam gelas.

"Kamu ini kenapa sih? Pagi-pagi udah ngelantur."

"Narra serius, Ma..."

Rania menatap hangat anak semata wayangnya. "Ada yang ngomong macem-macem sama kamu lagi?"

Narra menggelengkan kepalanya.

"Trus kenapa tiba-tiba?"

Narra memainkan kuku jarinya. Banyak sekali yang ingin ia ungkapkan, tapi entah kenapa tak semudah itu mengatakannya.

"Narra ga pernah tahu kalo selama ini berat buat Mama ngebesarin Narra sendiri.."

Rania terdiam beberapa saat.

"Narra.." Rania menggenggam tangan Narra erat-erat. Matanya menatap mata Narra dengan lembut. Sebuah senyuman yang menenangkan terkembang di wajahnya.

"Dengerin Mama..."

"Yang namanya kehidupan itu pasti ada susah dan senang, kadang kita ngerasa hidup itu berat, lalu kemudian hidup terasa ringan dan berjalan begitu aja."

"Dengan atau tanpa suami, kehidupan akan terus seperti itu. Sekalipun ketika hidup kita terasa berat, itu bukan karena kamu, Sayang.."

"Kamu itu sumber kebahagiaan terbesar buat Mama sekarang. Ga mungkin Mama ngerasa berat ngebesarin kamu.."

Tanpa sadar air mata Narra jatuh begitu saja membasahi pipinya.

"Satu lagi, sekalipun nanti suatu saat Mama menemukan pasangan yang tepat buat Mama, itu bukan untuk menggantikan Papa kamu." Rania mengelus lembut pipi Narra. Menghapus air mata yang terlanjur membasahi pipinya.

"Dan Mama ga akan maksa kamu untuk siap menerima kehadiran anggota baru di keluarga kita."

"Mama akan tunggu sampe kamu bener-bener siap.."

Narra mengangguk perlahan. "Narra udah siap kok, Ma.."

Rania tersenyum hangat seraya melanjutkan kembali sarapannya.

FraternitéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang