"Lo milik gue sekarang."
-Radit-***
120km/jam, Ganen memacu motornya mengikuti arah yang ditunjukan maps di ponselnya. Kini ia tiba di sebuah rumah yang dikelilingi kebun dan pesawahan. Ia memarkir motornya di samping jalanan berbatu. Sempit, dan hanya bisa dilewati sebuah mobil.
Seraya mengendap-endap Ganen memasuki pekarangan rumah yang terlihat tak terawat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Hingga ia tiba di halaman belakang, sebuah Van berwarna putih terparkir disana. Persis seperti yang ia cari.
Ganen menelisik satu persatu pintu dan jendela yang dimiliki rumah itu, tapi tak satupun yang luput tak terkunci. Tapi ia tak berhenti sampai disana. Ia terus menelisik setiap sudut rumah, hingga tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah lubang udara di ketinggian 3 meter di atas tanah.
Ia kemudian kembali ke tempat ia memarkir motornya, perlahan ia menggeser motornya dan menaruhnya tepat dibawah lubang udara yang akan ia masuki. Perkara panjat memanjat tentu bukan hal baru baginya. Dengan sekali lompatan kini ia sudah masuk ke dalam rumah, tepatnya ke kamar mandinya.
Rumah itu sepi, tak ada satu orangpun yang berjaga disana. Hingga tiba-tiba sebuah suara terdengar samar di telinganya. Suara itu mengarahkannya menuju lantai dua. Menuju satu ruangan dimana Radit dan sekongkolannya menyekap Narra disana.
Radit masih tercengang mendengar semua yang Narra katakan padanya. Selama bertahun-tahun keyakinannya tentang perselingkuhan sahabatnya masih belum berubah. Tapi apa yang Narra ungkap kali ini, memunculkan keraguan di hatinya. Bahkan terlihat jelas di wajahnya.
"Aksa anak lo.." Ungkap Narra lagi. "Kanaya sendiri yang ngomong sama gue."
"Lo pikir gue percaya?" Cebik Radit.
"Terserah." Narra berlagak tak peduli. "Disini gue cuma mau lo tau yang sebenernya. Itu aja."
"Lo lagi nyuci otak gue?" Cibir Radit kemudian.
"Narra ngomong yang sebenarnya." Ucap Ganen tiba-tiba seraya menerobos masuk ke dalam ruangan.
"Ganen?!" Narra membulatkan matanya seakan tak percaya. "Lo?"
Ganen tersenyum penuh arti. "Gue dateng, Nar..."
"Waaww..." Sinis Radit seraya bertepuk tangan. "Di luar dugaan gue... belom gue WA lo udah dateng aja nganter nyawa lo kesini."
"Pergi Ganen." Sinis Narra. "Gue ga butuh lo!"
"Gue yang butuh lo, Nar.." Balas Ganen.
"Ambil dia kalo bisa!" Sinis Radit. Tubuhnya yang tegap sudah siap menghadang tubuh Ganen. "Iket tangannya lagi, lawan yang ini dulu."
Kedua pesuruh Radit dengan sigap mengikat kembali tangan Narra. Dalam hitungan detik kedua laki-laki itu sudah terlibat baku hantam dengan Ganen, sementara Radit duduk tenang di sebelah Narra menyaksikan adegan di depannya seraya menyalakan sebatang rokok lalu menghisapnya..
Beberapa kali Narra terlihat menutup mata dengan kedua tangannya yang terikat karena ketakutan. Dalam hatinya ia berdoa semoga Ganen tak terluka kali ini. Tuhan....selamatkan dia kali ini.. Aku mohon...
"Anak buah bego!!" Umpat Radit. Perlahan Narra memberanikan diri membuka matanya. Kedua anak buah Radit sudah terkapar di lantai tak bergerak. Sesaat ia bisa bernafas lega. Matanya kini bertemu dengan hazel mata Ganen. Laki-laki itu terlihat melempar sebuah senyuman ke arahnya, wajahnya terlihat kelelahan tapi masih belum menyerah. Narra tiba-tiba teringat, kalau laki-laki itu memang demon yang ia kenal. Berkelahi tentu bukan hal baru baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fraternité
Подростковая литература"Demon's still demon. Thousands kindness couldn't change what he really is." -Gemma Queenarra Narra tak pernah menyangka jika hanya karena sebuah insiden ia akan terlibat sesuatu yang besar disekolahnya. SMA Pelita memiliki cerita tentang Angel and...