27# Tak kan bisa lepas.

61 33 1
                                    

Pertama setelah sekian lama, ada seseorang yang melihat gue sebagai manusia.

Pertama setelah sekian lama, ada sepasang mata yang menatap gue dengan tulus.

Tanpa ada ketakutan, atau belas kasihan yang tergambar disana.

Pertama setelah sekian lama, gue diperlakukan selayaknya manusia biasa. Bukan Demon yang selalu ditakuti.

Perempuan itu, bahkan memenani gue tanpa menghakimi sedikitpun.

Perempuan itu, Narra...

                                                          ***

Hari sudah semakin sore, sekolah sudah tampak lengang. Hanya tersisa beberapa siswa yang masih berkutat dengan kegiatan organisasinya.

Narra berjalan dengan dua buah kaleng minuman dingin di tangannya. Di samping lapangan basket, Ganen yang masih terlihat termenung disana.

"Kopi.." Ujar Narra seraya memberikan sebuah minuman kaleng rasa kopi untuk Ganen.

Ganen mengangkat kepalanya untuk melihat perempuan yang kini berdiri disebelahnya. Matanya tampak sembab dan kelelahan.

Narra merapikan roknya lalu duduk disebelah Ganen. "Lo ga pulang?"

Ganen menggelengkan kepalanya. Ia lalu meneguk minuman yang Narra berikan tadi. "Lo ga nanya gue kenapa?"

"Kalo gue tanya, lo bakal cerita sama gue?" Narra balik bertanya.

Ganen bergeming. Ia memalingkan wajahnya dari mata Narra. Kalaupun memang harus cerita, ia juga bingung harus mulai dari mana.

"Meskipun gue bertanya-tanya siapa mereka, apa yang terjadi sama lo, tapi gue pikir setiap orang punya hak untuk berbagi apa yang pengen mereka bagi, dan berhak merahasiakan apa yang pengen mereka rahasiain." Ujar Narra lembut.

"Lo ga takut kalo seandainya gue punya rahasia yang kelam dibalik kejadian hari ini?" Tanya Ganen lagi.

Narra mengangkat kedua bahunya. "Takut kenapa? Lo pasti punya alesan untuk setiap hal yang lo lakuin."

"Lo ga kepikiran buat jauhin gue?" Hazel mata Ganen menatap Narra lekat-lekat.

Narra terbahak sejenak. "Atas dasar apa?"

"Lo ga pernah denger gosip tentang gue di sekolah?"

"Denger." Jawab Narra singkat. Ia kemudian menghela nafasnya sejenak. "Tapi Gue cuma menilai orang lain atas apa yang mereka perbuat sama gue."

"Apapun yang dia lakuin diluar itu, atau apapun asumsi orang tentang dia ga akan berpengaruh buat gue."

Jawaban Narra membuat Ganen kehabisan kata-kata. Seandainya semua orang bisa melakukan hal yang sama, mungkin hidupnya tak akan jadi sesulit ini.

"Gue juga sama kaya lo.." bibir Narra melengkungkan sebuah senyuman hangat.

Ganen mengernyit. "Sama maksud lo?"

"Ada hal-hal yang pengen gue bagi, tapi gue juga punya rahasia yang pengen gue simpen sendiri."

Ganen mengernyit. "Termasuk soal lo bantuin orang-orang secara sembunyi-sembunyi?"

Narra mengangguk pelan.

"Tapi itu bukan aib, Nar.. kenapa harus lo rahasiain?" Tanya Ganen lagi.

"Karena manusia itu mahluk yang rumit."

Ganen tampak kebingungan mendengar jawaban Narra. "Rumit?"

"Iya.." Narra mengalihkan pandangannya dari mata Ganen. Kini ia menatap langit sore yang sudah semakin gelap.

FraternitéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang