"Ini cuma satu hari yang berat, yang pasti akan berlalu..."
-Gemma Queenarra-
***Narra memejamkan matanya ketika seorang Make up artist membubuhkan eye shadow di kedua matanya. Duduk di sebelahnya, Rania tampak anggun mengenakan dress berwarna putih dengan model A line yang cukup simple.
Tak ada yang menyangka bahwa Rania adalah perempuan yang sudah menginjak usia kepala empat. Wajahnya tampak begitu cantik dengan polesan make up bernuansa nudes.
Sesekali Rania menghela nafasnya dalam-dalam. Seraya menggenggam erat tangan Narra wajahnya melengkungkan sebuah senyuman.
"It's okay to be nervous. Manusiawi kok, Ma.." Ucap Narra seraya memaksakan sebuah senyuman.
Rania hanya tersenyum.
"Maaf, Neng..lanjut lagi make up nya ya.." Sela Erina yang hari itu bertugas merias wajah Narra.
"Mama ke depan dulu ya.." Ujar Rania seraya membiarkan Narra menyelesaikan riasannya.
"Apa ga bingung ya ini nanti ngenalin pengantinnya.. Ibu sama anak kok sama-sama cantik." Celoteh Erina.
"Mba nih bisa aja.." Balas Narra seraya tersenyum.
"Nah gitu donk, Neng.. Senyum.." Cetus Erina kemudian. "Dari tadi kok mukanya kayak yang sedih gitu..."
Narra hanya terdiam mendengar celotehan Erina yang terus menggodanya seraya terus mendandaninya.
Aneh memang, di hari yang paling bahagia untuk Rania, Narra justru merasakan patah hati terberatnya. Lagi dan lagi hatinya di patahkan oleh orang yang sama.
Sakit yang ia tinggalkan dulu bahkan belum membaik, getir yang terus menghinggapinya bahkan belum mereda, tapi apa yang bisa ia perbuat? Hari ini yang bisa ia lakukan hanya terus memalsukan senyumannya. Mencoba terlihat bahagia dengan luka yang menganga.
Tatapan kosong Narra terlihat jelas di depan cermin, bahkan ketika Erina membubuhkan lip gloss untuk aksen terakhir make up naturalnya.
"Udah selesai, Neng.." cetus Erina membuyarkan lamunan Narra.
"Eh, iya...makasih Mba.." Balas Narra seraya tersenyum palsu.
"Maaf, Neng.." Sela Erina. "Kalo ada bagian yang ga suka, Neng bisa kok bilang.. nanti saya ganti riasannya.."
Narra mengernyit lalu memandangi wajahnya sendiri. "Ngga kok, Mba.."
"Ini,,, cantik banget.." Ujar Narra seraya tersenyum kaku. Ia nyaris tak mengenali bayangannya sendiri. Make up yang tak terlalu tebal, rambut yang terlihat sedikit 'messy' membuatnya benar-benar terlihat cantik.
"Alhamdulillah.." ujar Erina. "Saya pikir Neng ga suka karena dari tadi saya liat mukanya cemberut terus.."
"Suka kok, Mba...Makasih ya..."
"Sama-sama Neng, kalo gitu saya tinggal dulu ya.."
Narra hanya mengangguk ketika Erina meninggalkannya sendiri du ruang VIP yang disulap menjadi ruang rias itu. Jam di dinding ruangan terus berdenting, satu jam lagi sebelum acara di mulai.
"Lo kuat, Nar... Lo bisa ngelewatin ini.." Gumamnya pada diri sendiri.
"Ini cuma satu hari yang berat, yang pasti akan berlalu..."
✍
Di tempat lain, Agas sedang memacu motornya menuju rumah Narra. Gadis itu hilang berhari-hari tanpa ada kabar berita. Agas yang mulai cemas memutuskan untuk mendatangi rumahnya.
Namun sia-sia. Sebanyak apapun ia membunyikan bell yang ada di depan rumah Narra, sang empunya rumah tak kunjung keluar. Rumah itu sepi, tak ada sedikitpun pergerakan yang terlihat.
Agas merogoh ponselnya dan mencoba melakukan panggilan ke nomor ponsel Narra. Tapi itu hanya menjadi satu dari ratusan panggilannya yang selalu di abaikan belakangan ini.
"Angkat donk, Nar..." Gumam Agas. Tapi percuma, Narra membiarkan ponselnya tergeletak di atas tempat tidur sebuah hotel, tempat ia menginap malam ini.
Tak kehabisan akal Agas kemudian bergegas menuju rumah Hanum. Berjarak 3km dari kediaman Narra, dengan perjalanan sekitar 10 menit ia akhirnya sampai juga disana.
"Hanum..." Agas mengetuk pintu depan rumah Hanum. "Han lo di dalem ga?"
Beberapa saat kemudian pintu rumah itu terbuka disusul kemudian Hanum yang berdiri di belakangnya. "Kak Agas?"
"Han lo bisa ngehubungin Narra ga?" Tanya Agas panik.
Hanum mengernyit. "Emangnya kenapa, Kak? Semalem Hanum masih teleponan kok sama dia.."
"Berarti bener dia sengaja nyuekin WA gue?" Ucapanya dengan nada kecewa.
"Mungkin Narra lagi ga mau diganggu, Kak.." Jelas Hanum.
"Lo tau ga dia dimana?" Tanya Agas kemudian. "Gue ke rumahnya dia ga ada.."
"Dia emang ga di rumahnya, Kak.." Jawab Hanum. "Hari ini kan hari pernikahan Tante Rania."
"Apa?!" Agas membulatkan matanya tak percaya. "Mereka jadi nikah?!!"
Hanum mengangguk yakin.
"Lo tau ga acara nikahannya dimana?"
Hanum menggigit ujung bibirnya. "Kak Agas mending pulang aja, Narra ga pengen temen-temennya tau soal ini."
"Kasih tau gue dimana acaranya..." Desak Agas.
"Maaf, Kak.." Tepis Hanum. "Tapi Hanum udah janji ngerahasiain ini dari siapapun."
"Meskipun gue bilang gue tau siapa calon ayah Narra?"
Giliran Hanum yang melotot tak percaya ucapan Agas. "Kak Agas serius?!"
"Narra butuh gue disana, Han.." Bujuk Agas. "Lo pasti tau ini berat buat dia."
Hanum berpikir selama beberapa saat. Perkataan Agas ada benarnya juga. "Ballroom Hotel Grand Dhira Kak.."
"Acaranya di mulai jam 7 malem ini." Pungkas Hanum. Agas melirik jam di tangan kirinya, 18:30. Setengah jam sebelum acara dimulai.
"Thanks, Han.." Ucap Agas seraya bergegas menuju mobilnya.
"Kak..." Panggil Hanum tiba-tiba. "Jagain Narra ya.."
Agas mengangguk pelan seraya melempar senyuman. "Pasti..Lo tenang aja."
✍
Still...to be continued..
Menuju part-part terakhir..
Semoga tetap sukak ceritanya..
🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Fraternité
Teen Fiction"Demon's still demon. Thousands kindness couldn't change what he really is." -Gemma Queenarra Narra tak pernah menyangka jika hanya karena sebuah insiden ia akan terlibat sesuatu yang besar disekolahnya. SMA Pelita memiliki cerita tentang Angel and...