38# Bodoh, memang.

31 17 1
                                    

Dia adalah kata yang tiba-tiba tersusun menjadi sebuah kisah..
Tidak aku mulai, tidak juga dia memulainya.
Aku lengah kala itu..
Aku bahkan belum menyusun prasa ataupun kata yang akan aku tuliskan disana.

Dia adalah bait yang tiba-tiba tersusun menjadi sebuah prosa.
Tersusun dari detik demi detik ajaib bagaimana semesta berkehendak.
Aku bisa apa?
Dia bahkan bukan bagian dari rencana yang selama ini aku susun masak-masak.
Tapi dia hadir begitu saja membuatku terbiasa dengannya.

Mungkin tiba-tiba adalah sesuatu yang tak bisa lepas darinya.
Sebagaimana kehadirannya yang tiba-tiba, di hilang secara tiba-tiba.
Hatiku, yang biasanya terisi hal-hal tentangnya kini hampa.
Kosong seperti memiliki lubang hitam yang entah berujung dimana.
Kau tahu apa yang tersisa sekarang?
Kisah tentangnya, yang kini tak bisa aku lanjutkan, juga tak bisa aku akhiri.

                                                       

Jam pelajaran baru saja usai, tapi Narra belum beranjak pulang. Ia mengehela nafasnya berkali-kali. Pikirannya masih belum bisa move on dari kejadian yang ia lalui kemarin sore.

Baru saja Narra menempelkan earphone ditelinganya, Hanum muncul dengan tergopoh-pogoh di hadapannya.

"Narrraaa!!!!" Jerit Hanum dengan nafas yang masih tersenggal-senggal. "Ganen! Ganen!"

Narra terperanjat dari tempat duduknya. "Ganen kenapa?"

Hanum mengatur nafasnya sesaat. "Ganen ada di ruang guru. Dia ngundurin diri dari sekolah!"

Mendengar perkataan Hanum, bergegas Narra berlari melewati pintu menuju ruang guru. Narra terdiam disana, di depan jendela yang mengarah langsung pada Ganen. Laki-laki itu terlihat membungkuk dan menyalami beberapa orang guru yang ada disana.

Ga mungkin kan? Batin Narra.

Ganen menundukkan wajahnya ketika ia melangkah melewati pintu keluar. Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika langkah sepasang kaki mendekatinya. Ia tertegun. Hazel matanya kini bertemu dengan mata kecoklatan milik Narra.

Waktu seakan berhenti disana, di ruang temu keduanya. Ada banyak yang ingin Narra utarakan, tapi entah kenapa semua seakan tertahan di kerongkongannya. Keduanya hanya saling menatap. Seolah berharap tatapan bisa menjelaskan semuanya.

Ganen memalingkan wajah seraya melanjutkan langkahnya.

"Lo berhutang penjelasan sama gue, Ganen.." Ucap Narra pelan.

Langkah Ganen kembali terhenti, ia berbalik dan menatap tajam mata Narra. Tak ada sedikitpun kehangatan dari tatapan miliknya. Sebaliknya, tatapannya terasa dingin dan menusuk.

"Udah ga ada yang perlu gue jelasin." Sinis Ganen. "Lo udah ngeliat semuanya kemaren."

Deg. Lagi-lagi sesak memenuhi dada Narra. "Dia Kanaya?"

Ganen mengangguk seraya menatapnya dingin.

"Kenapa?" Getir Narra bertanya. "Kenapa lo ngelakuin ini sama gue?"

Ganen bergeming.

"Kenapa lo deketin gue, buat gue jatuh cinta trus lo tinggalin gue gitu aja??!!" Cecar Narra. Mati-matian ia mencoba menahan air matanya. "Apa memang bener lo sebajingan itu?!"

"Iya." Dingin Ganen menjawab. "Ga mungkin gue beneran jatuh cinta sama cewek bodoh kaya lo!"

Narra terdiam. Perkataan Ganen nyatanya hanya menambah dalam luka yang sudah ia buat sebelumnya.

FraternitéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang