HP | 04

42.3K 2.8K 57
                                    

"Mereka selalu berkata bahwa aku adalah anak pemalas yang setiap saat hanya berada di dalam kamar. Padahal sebenarnya aku sedang mati-matian berusaha untuk tetap bertahan hidup di didalam keluarga yang selalu membuat aku ingin mati."

***

Gadis dengan seragam Pramuka yang melekat di tubuhnya, lalu rambut sepinggang yang sengaja di ikat kuda kini tengah berjalan dengan anggunnya melewati lorong-lorong sekolah.

Maura terus menampilkan senyum ramahnya saat berpapasan dengan siswa-siswi, tak lupa juga untuk membalas sapaan mereka. Memang dirinya di kenal gadis yang sangat ramah oleh siswa-siswi dan guru-guru di sekolahnya, selain ramah dia juga di kenal sebagai murid yang ceria setiap saat.

Namun meskipun begitu, masih banyak juga siswa-siswi yang tak menyukainya. Bahkan ada yang terkadang membully dirinya, mengata-ngatai dirinya dengan perkataan kasar yang tak pantas untuk di dengar. Tapi Maura sebisa mungkin untuk tetap sabar menghadapi mereka, dan dia baru akan menangis di saat sudah berada di rumah.

Langkah Maura terhenti di tengah-tengah tangga saat berpapasan dengan laki-laki yang sangat dia kenali. Dia menyunggingkan sudut bibirnya untuk menyapa laki-laki di hadapannya.

"Hai,"sapa Maura dengan ramah.

Namun senyuman Maura pudar saat laki-laki itu melewati dirinya begitu saja, seakan-akan dirinya hanya sebuah angin lewat. Bahunya luruh, lagi-lagi keberadaannya tak di anggap oleh laki-laki yang selama ini dia kagumi. Padahal beberapa hari lalu laki-laki itu menolongnya saat Maura hampir jatuh karena menabraknya, bahkan Maura masih ingat saat laki-laki itu bicara agar lain kali Maura berhati-hati.

Dengan gontai Maura kembali melanjutkan langkahnya. Sesampainya di kelas, dia langsung duduk di kursinya yang bersebalahan dengan Bella.

"Kenapa, Ra? Kaya lemes gitu,"tanya Bella yang menyadari kedatangan sahabatnya.

Maura meletakkan tasnya di meja, lalu menatap Bella. Wajahnya yang tadi lesu dia ubah agar terlihat biasa saja."Gak papa, kok."

Bella berdecak malas, pasalnya dia sangat tau bagaimana sahabatnya. Jadi Maura tak akan pernah bisa membohongi dirinya."Kalo mau boong jangan sama gue, deh. Gak bakal berhasil,"ucap Bella.

Maura menyengir, dia lupa siapa yang baru saja bertanya."Emm, tadi gue ketemu sama Rendra di tangga."

"Terus?"tanya Bella seraya menyimak cerita Maura.

Maura menyenderkan tubuhnya ke kursi kayu miliknya."Gue udah nyapa dia baik-baik. Tapi sama aja dia tetep lewat gitu aja, seakan-akan gue gak pernah ada."

Bella menghela nafas pelan, lalu mengusap bahu Maura."Gak papa, besok lo coba lagi. Semangat, dong. Masa baru gitu aja udah lemes. Percaya sama gue, kalo usaha gak akan pernah sia-sia. Mungkin sekarang hati Rendra belom kebuka buat lo, tapi seiring berjalannya waktu. Gue yakin kalo hati Rendra bakal kebuka buat lo,"ujar Bella menyemangati sahabatnya.

Maura melebarkan senyumannya membuat matanya sedikit menyipit. Memang dari dulu hanya Bella yang selalu bisa membangkitkan semangatnya, yang selalu mengerti dengan keadaannya.

"Makasih, Bel. Meskipun sebenarnya gue gak terlalu mikirin masalah ini, tapi kadang sedih aja rasanya di abaiin sama orang yang kita suka. Cuma gue juga gak terlalu punya banyak waktu buat ngurusin masalah cinta. Masalah keluarga gue aja udah terlalu rumit,"balas Maura seraya terekekeh pelan.

Namun Bella bisa melihat, mata Maura tidak bisa berbohong. Dia tau bahwa saat ini, bahkan mungkin setiap saat Maura selalu di serang banyak masalah. Dia menggenggam sebelah tangan Maura lalu menatap gadis itu dengan teduh.

Hidden PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang