HP | 14

28.8K 2.4K 30
                                    

"Belati yang paling tajam adalah ucapan, dan ucapan paling menyakitkan adalah ucapan yang berasal dari orang terdekat."

***

Disepanjang perjalanan menuju rumahnya, Maura hanya bungkam. Suasana hatinya sedang buruk sejak beberapa hari lalu karena kekacauan keluarganya, namun kehadiran Rendra yang menawarkan diri untuk mengantar Maura membuat hatinya berbunga-bunga. Karena terlalu lama berperang dengan pikirannya sendiri, sampai tak sadar jika motor yang dia tumpangi sudah berhenti di depan gerbang rumahnya.

Setelah turun dari atas motor Rendra, dia langsung tersenyum menatap laki-laki itu."Makasih,"ungkapnya.

Rendra mengangguk pelan."Gue duluan,"pamitnya. Setelah mendapat persetujuan dari Maura dia langsung melajukan motornya. Membawa pergi dari pekarangan rumah gadis itu.

Setelah Rendra menghilang dari pandangannya, dia lalu berjalan masuk dengan senyuman yang masih terpancar di bibirnya.

"MAURA!"

Senyuman di bibir Maura langsung pudar saat mendengar teriakan dari Dion. Dia menghentikan langkahnya, lalu membalikkan tubuhnya menatap Dion.

Plak!

"Masih mau jadi pembangkang?!"tanya Dion dengan murka.

"Abang apaan, si! Salah apa lagi aku? Bahkan aku baru pulang sekolah,"protes Maura. Pasalnya ketika dirinya berbuat salah selalu saja di beri kekerasan seperti ini, dia saja terkadang tak tau apa salahnya.

"APAAN KAMU BILANG?! NGAPAIN LAGI TADI SAMA COWOK YANG SAMA?!"

Deg

Sekarang jantung Maura benar-benar sudah berdetak tak normal. Dia tau pasti tadi Dion melihat Maura pulang di antar Rendra.

"Maura."

Suara dingin dan tajam yang memasuki pendengarannya membuat Maura langsung terpaku. Damas, lelaki itu dengan setelan jas kantornya lalu kedua tangan yang di masukkan ke dalam saku celana dan tatapan tajamnya yang menusuk penglihatan Maura, menuruni tangga.

Maura semakin menundukkan kepalanya saat Damas sudah berdiri di depannya. Damas memang pendiam dan selalu membela dirinya, tetapi lelaki ini jika sudah marah akan sangat menakutkan.

"Bener yang di bilang Dion?"tanya Damas santai, tapi Maura tau di setiap kata yang Damas ucapkan penuh dengan penekanan.

"Maura cuma di anterin doang, kok. Kita semua di kelas temen, Bang. Sopir juga lama jemputnya,"jelas Maura.

"Temen kamu bilang? Abang udah bilang berkali-kali jangan mikirin cowok dulu. Gausah pake alasan temen segala,"sarkas Dion.

"BANG! STOP KEKANG AKU KAYA GINI!"pekik Maura. Saat sadar dirinya kelepasan berteriak, dia langsung menghela nafas berat.

"Aku capek, Bang. Aku terkekang, kalian tau? Kenapa kalian gak pernah adil sama aku?"lirih Maura dengan tatapan lelah.

Maura menarik nafas dalam lalu menghembuskan dengan kasar."Bahkan aku hampir gila! Dari dulu kalian gak pernah ngizinin aku keluar sendiri kecuali sekolah. Gak ngebolehin ini itu. Aku yang setiap saat cuma belajar, belajar dan belajar. Kalian mikir gimana gilanya aku? Otak aku gak kuat. Aku udah mau gila."

"KALIAN SUKA LIAT AKU GILA?!"bentak Maura dengan nafas memburu dan mata memerah.

Plak!

"Kamu tu lama-lama ngelunjak, ya,"marah Dion setelah kembali menampar Maura membuat pipi gadis itu langsung memerah.

"Kenapa? Bang Damas mau nampar aku juga?"Tatapannya pindah kepada Damas yang terdiam mengepalkan tangannya.

"Ayo tampar. TAMPAR MA---"

Hidden PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang