HP | 51

44K 2.4K 105
                                    

"Bu, Tika mohon kasih tau Tika di mana Maura?"pinta Atika menatap sang bunda dengan tatapan memohon.

"Kamu pikir semudah itu? Kamu sudah menyia-nyiakan dia Atika. Apa kamu merasa kehilangan dia?"tanya Wati terdengar tajam.

"Tika minta maaf, aku janji bakal memperbaiki semuanya. Dia anak aku, Bu. Aku pasti ngerasa kehilangan. Ini udah 2 minggu lebih ibu nyembunyiin Maura?"

Wati tertawa pelan."Kamu baru sadar? Kamu sudah lama kehilangan Maura Atika. Kamu sendiri yang sudah membuat Maura memilih pergi. Ibu sudah memberi waktu cukup lama untuk kamu sadar, tetapi kamu sama saja."

"Nek, Dion mohon kali ini aja kasih Dion waktu buat minta maaf sama Maura. Dion janji gak akan kaya gitu lagi,"ucap Dion memohon. Setelah dari tadi hanya diam.

"Kalian semua sudah terlambat, sudah tidak ada waktu buat kalian memperbaiki semuanya,"tegas Wati lalu segera pergi meninggalkan rumah Atika.

Dion mengusap air matanya dengan kasar. Laki-laki itu berjalan memasuki kamarnya. Sesampainya di kamar Dion langsung menghempaskan semua barang-barang yang bisa dia gapai.

Sudah hampir dua minggu Dion frustasi, Dion menyesal. Dia selalu di hantui rasa bersalah, rasa menyesal. Dia sadar selama ini sikapnya kepada Maura sudah keterlaluan, dia tak seharusnya bersikap sekeras itu kepada adiknya sendiri.

"Argghhhhhhh...."Dengan kasar laki-laki itu memukul dinding kamarnya membuat tangannya terluka karena terlalu keras. Belum puas dengan itu Dion menarik rambutnya sendiri dengan kasar melampiaskan rasa bersalahnya terhadap Maura.

Tubuhnya luruh ke lantai, suara isakannya mulai terdengar. Dion menangis dan selama Maura di bawa pergi neneknya dari rumah sakit selama itu juga Dion selalu melakukan hal yang sama seperti ini.

"Ra, maafin abang. Kamu kemana? Apa kesalahan kita udah gak bisa di maafin sampai kamu gak mau nemuin kita?"gumam Dion.

Laki-laki itu mengusap wajahnya dengan kasar. Lagi-lagi memukul lantai yang ada di sampingnya dengan keras membuat darah segar semakin banyak merembes dari jari-jarinya.

"Maafin bang Dion, Ra. Maaf, maaf udah bikin hidup kamu menderita. Aku emang bukan abang yang baik buat kamu,"lirih Dion.

"Argghhhhhhh.... Maafin aku, Ra. Maaf."Mau sebanyak apapun kata maaf yang keluar dari mulutnya, Maura tak akan kembali. Dion hanya bisa menyesali perbuatannya selama ini, dia tidak punya cara untuk bisa kembali mengulang waktu. Sekarang hanya ada penyesalan yang menemani kehidupannya.

Sedangkan di ruang tamu, Dara terus memeluk tubuh mamanya yang tak berhenti menangis. Sudah berkali-kali Atika menemui bundanya, meminta agar mau mempertemukan Maura dengannya tetapi sama sekali bundanya tak mau melakukan itu.

Mungkin ini memang pantas buat seorang ibu yang kejam, ini pelajaran buat Atika. Ini memang hukuman yang pantas di berikan kepada Atika. Orang tua yang gagal, seorang ibu yang gagal melakukan perannya.

"Nak, maafin mama. Mama udah jahat sama kamu, mama udah ngelupain keberadaan kamu selama ini. Seorang anak yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari seorang ibu. Maafin mama, mama bangga sama kamu udah mau bertahan sejauh ini. Mama cuma minta supaya Tuhan masih ngasih waktu buat kita bertemu dan bersama lagi,"ungkap Atika seraya menatap bingkai foto Maura yang ada di genggamannya.

"Ma, udah ya. Besok kita bujuk Ibu lagi biar mau ngasih tau di mana Maura. Mungkin Maura juga butuh waktu untuk sendiri,"bujuk Bayu lalu menarik istrinya ke dalam pelukannya.

*****

Maura tertawa pelan melihat bagaimana kesalnya wajah Rendra saat terus di goda oleh orang tuannya dan nenek Maura. Gadis itu sudah pulih, selama 2 minggu ini Maura tinggal di salah satu apartemen keluarga Rendra yang sama sekali tak di ketahui oleh keluarganya. Dia tinggal dengan neneknya, dan sekarang orang tua Rendra sedang menjenguknya.

"Bagaimana Rendra? Apa mau melamar Maura secepatnya?"goda Wati seraya tertawa pelan diikuti tawa orang tua laki-laki itu.

"Nunggu lulus, Nek. Pasti langsung Rendra nikahin."Rendra menatap Maura yang duduk di sampingnya lalu mengusap pelan puncak kepala gadis itu.

"Kamu mau, kan?"bisik Rendra membuat kedua pipi Maura langsung bersemu merah.

"Yasudah, nek saya dan istri saya mau pamit dulu. Karena masih ada acara juga nanti malam di kantor,"pamit papa Rendra yang langsung di setujui oleh Wati.

Setelah kepergian orang tua Rendra, Wati bangkit seraya meraih tasnya."Rendra, nenek nitip Maura, ya. Nenek mau pergi sebentar,"pintanya membuat Rendra dengan senang hati langsung menyetujuinya.

{19:15]

Kini Maura dan Rendra sedang duduk berdua di sofa yang sengaja di letakan di balkon kamar apartemen yang Maura tempati.

Laki-laki itu mengusap punggung gadis yang sedang menyenderkan kepalanya di dada bidangnya dengan lembut."Mau makan?"

Maura hanya menggeleng pelan."Kangen mama,"gumam Maura dengan tatapan lurus kedepan.

"Kamu yakin mau ketemu mama, hm?"tanya Rendra memastikan.

Tetapi Maura hanya diam, dia sendiri belum yakin untuk menemui keluarganya."Aku gak mau ketemu mereka."

Rendra mengecup kening Maura dengan sayang."Kamu gak perlu buru-buru buat itu, sekarang tenangin diri kamu."

Maura menjauhkan tubuhnya dari Rendra lalu menatap laki-laki itu dengan tatapan sendu."Kalo umur aku gak panjang gimana?"

Rendra menghela nafas kasar, dia tak suka dengan perkataan Maura."Sayang, dengerin aku. Kak Melodi lagi cari pendonor buat kamu, dan kamu juga harus tetep semangat. Kamu bisa sembuh."

Maura menghela nafas lega, dia tersenyum. Maura bahagia karena memiliki Rendra yang selalu mensupport dirinya, setidaknya Maura tidak merasa sendiri lagi untuk melawan ketakutan atas penyakit yang di derita. Memang sejak pergi dari rumah sakit, Maura benar-benar sering merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya yaitu dengan Rendra. Kini dia sudah menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Pada kenyataannya kebahagiaan itu belum tentu hanya datang dari keluarga, terkadang sumber kebahagiaan itu bisa berasal dari luar.

"Kamu gak akan ninggalin aku, kan? Atau kamu mau cari cewek lain karena aku penyakitan?"tanya Maura konyol yang membuat Rendra terkekeh pelan.

Laki-laki itu menangkup wajah Maura lalu segera mengecup bibir gadis itu dengan singkat."Kamu satu-satunya di mata aku. Kamu yang pertama buat aku dan bakal jadi yang terakhir juga."

"Soal perjanjian kita yang selamanya jadi temen?"

"Itu udah gak berlaku, karena sekarang keadaannya udah beda. Udah gak sama lagi kaya dulu,"tegas Rendra membuat Maura semakin melebarkan senyumnya.

"Kamu udah gak marah kan sama aku?"tanya Maura hati-hati.

Rendra menghela nafas berat sebelum pada akhirnya memilih untuk menggelengkan kepalanya."Awalnya aku marah banget, karena kamu tega gak ngasih tau aku tentang penyakit kamu. Tapi, sekarang aku bisa mahamin cara berfikir kamu, dan aku udah gak marah."

"Beneran?"

"Iya beneran."

"Kamu gak bohong, kan?"

"Enggak, sayang."

"Jangan-jangan ka—"

"Syuttt! Gausah bahas itu,"potong Rendra. Lantas dia langsung membawa tubuh Maura ke dalam pelukannya, menumpukan dagunya di puncak kepala gadis itu.

Maura yang di perlakukan seperti itupun hanya bisa tersenyum sembari membalas pelukan Rendra. Menikmati kehangatan dan kenyamanan yang dia rasakan saat berada di dalam pelukan seorang Rendra.

"Jangan tinggalin aku,"gumam Rendra dengan mata terpejam.

Mendengar penuturan Rendra justru membuat Maura semakij takut, takut tak bisa bertahan hidup lebih lama lagi. Karena tak tau harus menjawab apa, dia hanya bisa mengangguk kecil.

"Aku gak tau gimana berantakannya hidup aku, tanpa kamu,"ucap Rendra semakin mengeratkan pelukannya.

"Semuanya akan baik-baik aja. Ada ataupun enggaknya aku di hidup kamu. Kamu harus yakin itu."

Hidden PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang