chapter 41 : Sama-sama

105 23 1
                                    

Tak lama setelah Jingga selesaikan memasaknya, satu persatu dari mereka mulai bangun. Dimulai dari Mami, Eyang, sampai Arjuna si tukang tidur. Bagas kira sodara kembarnya itu serius akan lari pagi, kenyataannya dia bangun paling terakhir.

Menu sarapan yang cukup spesial, Jingga dengan keahlian memasaknya, bahkan sampai sempatkan buat puding kesukaan keponakan. Obrolan saat sarapan bersama di meja makan tak henti tentang pujian untuk Jingga dan masakannya, tapi bukan Jingga yang banyak merespon, dia hanya sesekali menjawab terima kasih sedangkan Bagas yang juwama.

"Bagas pinter kan pilih istri ?" tanyanya yang berhasil dapat sorakan dari banyak orang.

"Kasian, Jingga yang gagal pilih suami," sindir Arjuna.

"Tapi lebih gagal si Adel sih,"balas Bagas pedas. Dia yang biasa di maki balas dua kali lipat sudah kembali.

Semua orang menikmati makanannya, sampai ketika hampir selesai Mami bicara, "Jingga hari ini kerja?" tanya Mami yang lihat menantunya sudah rapi.

"Iya Mi, maaf enggak bisa nemenin soalnya jatah cutiku udah abis. Tapi Bagas ada di rumah kok," jawab Jingga merasa tak enak. Bagas sebenarnya harus ke kantor tapi dengan sangat Jingga memaksanya untuk tinggal, bahkan Jingga tawarkan dia sendiri yang minta ijin pada Oma atau Opa.

"Bagas kan pemimpin, dia pasti sibuk tapi bisa ninggalin kerjaannya ketika keluarga berkunjung, kamu enggak bisa?" tanya Eyang Kakung yang buat suasana meja makan berubah.

"Jangan kecapean, bawaan kamu cukup berat. Kalau kerjaan suami udah banyak, istri harus selalu di sampingnya," tambah Eyang buat suasana meja makan semakin mencekam.

Mami dan Papi saling pandang, pun dengan pasangan yang lain.

"Ngurus anak itu enggak gampang, belajar dari Rabella yang melepas pekerjaannya demi fokus pada keluarga, hasilnya Caramel dan Candlin tumbuh dengan baik dan suami terurus."

Dengar itu mendadak Arjuna tersedak sedang Adimas sudah berhenti mengunyah sejak tadi.

"Alila yang ngurus satu anak aja masih kerepotan, apalagi kalian yang punya anak kembar," ujar Eyang, dia sudah selesai makan.

Jingga selesaikan kunyahannya yang terakhir, dia tutup dengan minum lalu buka suara, "Iya eyang, dua bulan lagi Jingga resign kok," Jawab Jingga santai, tapi timbulkan reaksi kaget dari banyak orang, termasuk Bagas.

"Nga,"panggil Bagas kecewa, dia belum diajak bicara apalagi berdiskusi tentang hal ini bisa-bisanya Jingga sudah bicarakan di depan keluarga.

Tapi Jingga hanya membalas dengan senyum, mengulurkan tangan untuk genggam tangan Bagas disampingnya yang mengepal karena tersulut emosi sejak awak.

"Enggak sepantasnya hal seperti ini di dibicarakan saat makan," sindir Bagas. Sama dengan pada Opa, pada Eyang Bagas sebelumnya tidak punya keberanian untuk melawan tapi lihat Jingga diperlakukan seperti itu dia tak bisa diam.

Melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul delapan buat Jingga bangkit.

"Jingga udah minta tolong Mbak sekar untuk beresinnya nanti, Jingga harus pergi dulu. Assalamu'alaikum."

"Nga, mau gue anter?" tanya Bagas yang segera di jawab gelengan.

"Berangkat sendiri aja."

Tak banyak yang dilakukan setelahnya. Selesai sarapan mereka berkumpul diruang keluarga meskipun di selimuti canggung.

Sedang Jingga dengan pekerjaannya selalu bisa terlihat baik-baik saja meskipun isi kepalanya terasa penuh, dia masih bisa tunjukkan senyum paling lebar pancarkan bahagia.

Sebelum jam makan siang, Jingga mengabari Bagas kalau dia sudah pesan makanan untuk semua orang di rumah. Jingga juga beritahukan camilan yang sudah dia buat dan pinta Bagas untuk memberikannya pada tiga keponakan.

Kesibukan di rumah sakit tidak buat Jingga lupa untuk pesankan camilan di sore hari, sebelum pulang Jingga bahkan berniat mampir ke toko mainan.

Berjalan di lorong rumah sakit, Jingga menghirup udara sebanyak yang dia bisa kemudian menghembuskannya perlahan. Berkali-kali tatap jas putih yang dia pakai sambil meresapi semuanya. Benarkah dia akan menyerah dengan mimpinya?

"Jingga," panggil seseorang buat lamunan Jingga terhenti.

"Hari ini kamu jadwal cek kandungan kan? Berarti sekarang mau ketemu dokter Dina ya ? Aku titip ini boleh? Aku sekarang ada perlu, mau pergi buru-buru."

Jingga mengangguk, terima sebuah kotak. Jingga sebenarnya tidak ingat jadwalnya, merutuk kenapa sampai bisa lupa, tapi beryukur karena ada yang mengingatkannya.

Langkah yang tadi hampir sampai perkiran berbalik arah, tapi baru beberapa langkah seseorang kembali memanggilnya.

"Jingga,"

Jingga berbalik, tatap Bagas yang terus berlari dengan penampilan yang sedikit berantakan.

"Gue tadi kesini naek taxi mau jemput, tapi macet. Takut lo keburu pulang jadi lari."

Jingga mengangguk, berakhir keduanya bertemu dokter Dina bersama. Saat pemeriksaan Dina sempat bertanya dengan nada bercanda kenapa Bagas baru pertama kali temani.

Sampai di jalan pulang Jingga tidak kunjung bicara, buat Bagas memutuskan untuk parkirkan mobilnya di dengan sebuah pertokoan.

"Kalau nanti gue mati, lo enggak perlu sering-sering ke makam. Yang lo peluk nanti cuman gundukan tanah, yang lo ceritain juga enggak mungkin gue denger." ucap Bagas yang buat jingga tatap dirinya sendu.

"Jenguknya setahun sekali aja, dan itu nanti. Sekarang, mau enggak lo peluk gue? Ceritain apa aja terserah. Selagi gue masih disini. "

Tangis Jingga luruh, bersamaan dengan isak dan tangan yang terulur untuk peluk Bagas seerat yang dia bisa.

"Jangan ngomong gitu," ucapnya disela isakan.

"Kalau enggak ngini, gue enggak tau lo mau ngomong lagi ke gue kapan. "

"Jangan pergi. "

"enggak. "

Bagas tersenyum riang, bersyukur sebab tadi sempatkan berselancar di instagram dan temukan quote.

"Makasih pak Zarryhendrik, quotenya kepake," batin Bagas.

"Sedihnya, bahagianya kita lewati sama-sama ya? Kita belajar ambil keputusan dari jalan tengah, bukan satu sisi aja," ujar Bagas sambil usap rambut Jingga.

"Jangan nganggap diri sendiri salah, mereka suka sarapannya, mereka juga enggak habis pikir sibuknya kamu masih bisa sempetin pesan makanan, kamu udah bekerja keras hari ini."

"Gas," panggil Jingga lirih.

"Iya kenapa hmm? " tanya Bagas sabar.

"Emang jadi ibu rumah tangga enggak bisa di tambah profesi lain?" tanya Jingga serak.

"Ada yang bisa, Ada yang enggak. Aku enggak tau keluarga kita gimana karena belum sampe kesana. Jalani dulu aja ya. Kedepannya, kita cari bahagianya sama-sama."

Tbc

Argumen, Jihoon x HeejinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang