Untuk seorang Jingga, jadi istri yang baik sepertinya bukan sesuatu yang sulit. Dia terbiasa mandiri, bangun subuh, mengurus semua keperluan rumah sudah jadi makanan sehari-hari yang selalu Dia selesaikan dengan cepat dan tanggap. Apalagi dengan kesibukannya selama ini, dia sudah pandai mengatur waktu.
Jika pikir di masa depan dia tidak akan kesulitan. Tapi ternyata, takdirnya Jingga dapat suami modelan Arjie Baskara. Artinya selain urusan rumah, dia harus punya stok sabar lebih banyak dan pandai mempertahankan kewarasan.
Pintar, tampan dan kaya adalah sebuah kelebihan. Tapi, mustahil seorang manusia terlahir sempurna tanpa cela. Bagas si banyak bicara, seperti mayat hidup ketika tidur.
"Lo kalau belum bangun dalam lima menit gue gelindingin ya Gas,"ancam Jingga yang lagi lagi tidak mendapat tanggapan. Sudah ada satu jam secara bertahap Jingga coba membangunkan Bagas yang tergeletak diatas tempat tidur tapi tidak membuahkan hasil.
"Bagassss." mulai kesal, terhitung sudah belasan kali.
Bahkan setelah diguncang dengan keras, ditabok juga, tubuh Bagas tetap tidak bergeming.
"Bagas banguuuun. " geram Jingga. Padahal agendanya, selesai sarapan keduanya harus keluar dari hotel ini. Mereka sudah sepakat, Jingga tak betah untuk lama-lama.
"Arjie Baskara, sebenernya lo itu tidur atau simulasi mati? "Dan akhirnya keluar juga kata yang selalu dipakai Jingga selama ini. Bukan yang pertama kalinya memang, sudah sering Jingga kesiangan jika pergi ke sekolah atau kemanapun bersama Bagas. Tapi ada di situasi ini untuk pertama kalinya benar-benar membuat Jingga merasa jengkel.
"Arjie Baskara Shakeel. "Geram Jingga terlampau kesal. Coba dibiarkan tapi ketika hari beranjak pagi sabarnya mulai terkikis. "Gila hari pertama gue udah solat subuh sendiri aja. Imam macam apa lo, matahari udah hampir terbit BAGAS LO MASIH BISA TIDUR NYENYAK. BANGUN !"
Ingin memaki lebih, tapi nasihat dari Bunda seminggu yang lalu terngiang di kepala. "Bunda titip, empat puluh hari pertama pernikahan kamu belajar turunin ego ya, kamu berhak marah tapi jangan sampai ngundang pertengkaran. Ingat Jingga, di empat puluh hari pertama pernikahan, jangan bertengkar. "
Jingga menyerah, dia memutuskan untuk meraih handphone kemudian mulai larut. Dan detik berlalu sampai dering telpon berbunyi jadi ciptakan sedikit sesal.
"Dokter Jingga maaf menggangu hari bahagianya, tapi kami disini butuh Anda. UGD penuh, telah terjadi kecelakaan beruntun dengan tujuh korban dan empat diantaranya luka berat. Kami kekurangan orang. "
Tak punya pilihan lain, menatap sinis manusia yang masih tidur nyenyak Jingga memutuskan untuk bersiap dan segera pergi ke rumah sakit.
***
Berjam di lalui, hari beranjak siang, seorang pria yang baru tidur jam empat pagi itu berusaha sadar sepenuhnya. Bukan kali pertama dia begadang, bahkan setelah tidur beberapa jam, karena kulit pucatnya kantung mata menghitam itu masih terlihat jelas.
Kalau kata Hotman Paris, jangan lihat Lamborghini ku tapi lihat aku yang tertidur di atas berkas perkara.
Eh bener kan? Enggak tau deh gimana tepat nya, tapi kurang lebih intinya begitu.Enggak di berkas perkara juga sih, Semalam Bagas tetap tidur diatas karus, pekerjaan yang di kirim sekertarisnya sudah dia telaah tersimpan di dalam laptop yang dia simpan di nakas samping tempat tidur.
Meraih kaca persegi di sebelah laptop, Bagas memperhatikan wajah lesunya dengan seksama.
"Selesai first night, gue ditinggal, " gumamnya diakhiri ringisan. Bagas turun dari tempat tidur, mengecek seluruh ruangan yang ternyata tidak ada orang lain selain dia.
Padahal seingat Bagas sebelum tidur dia sempat mengusak rambut Jingga pelan, mengecup kepala istrinya dengan sayang.
"Apa gue mimpi ya nikah sama si Jinngga? " gumamnya lagi.
Bagas menggeleng, koper berukuran kecil milik Jingga tergeletak di sudut ruangan berarti semalam Jingga memang disini.
"Enggak dibikinin kopi atau sarapan?" ucap Bagas, lagi-lagi dia bertanya pada diri sendiri.
Merenung lama, karena perlakuan kecil tersebut yang dia nanti selama ini. Bagas terbiasa sibuk dan mengurus semuanya sendiri, di perhatikan adalah harapan besarnya ketika dia berumah tangga.
"Eh bego, lo kan masih di hotel. Pantes enggak dibikinin sarapan,"
Selesai merutuki diri, Bagas mencari ponselnya. Hal pertama yang menarik perhatiannya adalah pesan singkat yang Jingga kirim.
"Loh semalam begadang sekarang malah ke rumah sakit?" tanya Bagas kebingungan. Padahal dia pikir Jingga hanya keluar untuk mencari makanan.
Pasti panggilan darurat, pikir Bagas dengan itu dia memutuskan untuk membersihkan diri kemudian bergegas menyusul Jingga ke rumah sakit.
***
Waktu yang terasa terlalu lambat tapi ternyata sudah dilalui banyak. Jam menunjukkan pukul sebelas lebih tiga menit dan perut Jingga mulai berbunyi, sudah siang. Wajar jika rasanya lapar sekali. Tadi pagi di perjalanan dia hanya sempat sarapan sepotong biskuit. Beruntung itu masih sempat.
"Hahhh," Hembusan napasnya panjang dan lega, bersyukur akhirnya bisa keluar dari ruang oprasi.
Sebelum menjauh dari ruangan, Jingga memilih menyandarkan tubuhnya sebentar. Gumamkan banyak kata penyemangat juga terima kasih pada diri sendiri karena sudah berusaha fokus.
Meskipun melelahkan setidaknya semua benar-benar berjalan dengan lancar, bukan sesuatu yang baru bagi Jingga untuk begadang kemudian esoknya menjalani hari seperti biasa tapi sekarang, Jingga merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya sendiri. Dua kaki yang dipakai berpijak rasanya mulai melemah. Tidak mau ambruk di sana, Jingga paksa kakinya berjalan meski pelan.
Ah kalau dihitung dari malam, berapa jam tubuhnya tidak diberi makan. Berapa jam juga di lalui tanpa minum. Semalam di lalui tanpa istirahat yang cukup. Tenaganya benar-benar dikuras habis, sangat lemah sampai di pijakan terakhir kakinya tidak mampu bertahan lama. Beruntung sepersekian detik sebelum tubuhnya jatuh ke lantai yang dingin, seseorang menariknya.
"Ya ampun Jing," ucap Bagas jelas khawatir, apalagi setelah lihat wajah Jingga sudah pucat.
Bagas tau Jingga tidak kehilangan kesadarannya, tapi tanpa banyak kata dia langsung membawa tubuh lemah Jingga dalam gendongan, untuk dia bawa ke dalam mobil.
"Pucet banget kamu," komentar Bagas, lupakan tentang tanpa banyak kata, sejatinya seorang Bagas masih kesulitan untuk mengontrol mulutnya untuk diam barang sebentar.
Jingga tidak merespon, dia memilih menyandarkan kelapa ke dada Bagas, mencari posisi nyaman kemudian mulai memejamkan mata.
"Ya udah tidur aja, gue gendong sampe parkiran," ujar Bagas yang hanya di balas anggukan lemah Jingga.
"Minum dulu." ucap Bagas sambil menyerahkan botol air mineral yang sebelumnya sudah ia buka dan beri sedotan.
Keduanya sudah duduk bersisian di dalam mobil, Jingga menurut mulai minum sedangkan Bagas mulai menyalakan mobil. Meskipun minum pelan-pelan Jingga tetap terbatuk karena kaget sebelah tangan Bagas terulur, mengusap rambutnya pelan.
"Tahan ya, sepuluh menit kita sampe di tempat makan, " ucap Bagas kalem, tak lupa dengan senyum manis yang buat matanya hilang.
Jingga diam, tatap Bagas yang masih mengusak rambutnya pelan "Lo emang enggak paham atau lagi pura-pura bego? " batin Jingga.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Argumen, Jihoon x Heejin
HorrorDari sahabat, jadi teman hidup. Mampukah keduanya menjalani peran masing-masing?