chapter 18 : Belum waktunya

77 21 2
                                    

"Belakangan ini lebih sering merasa kelelahan? Perasaan lelah luar biasa ini terjadi karena produksi hormon progesteron dalam tubuh seorang Ibu meningkat," ucap dokter Dina, wanita berumur tigapuluhdua tahun itu lanjutkan prosedur pemeriksaan.

Alat USG dijalankan disekitar perut Jingga. Kedua dokter tersebut sama-sama fokus melihat layar USG, tangan Dokter Dina menyorot janin yang ada di dalam kandungan.

Hening, Jingga yang berbaring terpaku melihat dua bulat-bulat di tengah. Baru titik kecil yang belum sempurna bentuknya, tapi mampu buat mata Jingga berkaca-kaca.

"Saya hamil dok? "tanya Jingga lirih, nada suaranya tanpa sadar terasa tercekat. Kaget dan perasaan campur aduk lainnya.

Dokter Dina terkekeh, "bulat bulat nya ada dua loh dokter Jingga, " jelasnya lagi.

Tetes bening di mata Jingga semakin berlomba keluar, dia sempatkan bekap mulutnya berusaha redam isak agar tidak berisik.

"Kembar?" gumam Jingga lirih.

Dokter Dina mengangguk dengan segera meraih tangan Jingga dan menggenggamnya, "jangan nangis, nanti mereka ikutan sedih," guraunya.

Jingga berusaha duduk dan tanpa disangka mendapatkan peluk dari dokter Dina. Mereka memang belum lama saling mengenal, tapi melihat reaksi Jingga buat Dina berusaha tenangkan pasiennya.

"Kapan hari pertama haid terakhirnya?" tanya dokter Dina ketika Jingga sudah mulai tenang.

Pemeriksaan diselesaikan dengan beberapa tips dan ucapan selamat, setelah keluar dari ruang pemeriksaan, Jingga tidak bisa berhenti tatap hasil USG di tangannya, tidak menyangka sama sekali bahwa peristiwa seperti ini terjadi diwaktu yang cepat. Rasanya terharu, tidak bisa diukur besar bahagianya tapi tak bisa juga hilangkan khawatir mendengar penjelasan dari dokter Dina tadi.

Masih muda dan rentan, apalagi ada dua yang harus Jingga jaga. Ah bukan dua, melainkan tiga dengan dirinya sendiri. Jingga harus benar-benar perhatikan tubuhnya sekarang.

Ada lagi yang mengganjal hatinya sejak tadi, tentang profesinya, tentang karir yang baru Jingga jalani, Jingga baru dua bulan bekerja di rumah sakit ini, apakah jalannya akan sama seperti perkiraannya?

Yang Jingga jalani bukan hal mudah, dia tahu itu. Semua berjalan di luar kendalinya. Belum lama punya peran seorang istri, tentang pernikahan saja Jingga kadang masih sering bertanya, apakah bersama Bagas adalah kenyataan.

Kesibukan yang buat obrolan mereka hanya sebatas tentang keseharian, dengan Bagas bahkan belum sampai ke tahap membahas rencana masa depan apalagi tentang anak. Kabar ini terlalu tiba-tiba.

Usap perutnya pelan, ditengah kebingungan Jingga tidak bisa membohongi diri dengan perasaan bahagianya sekarang, "calon anak-anak, tumbuh yang baik ya sayang, "bisiknya dengan senyum.

Serumit apapun apa yang terjadi di depan, Jingga akan hadapi, apalagi sekarang dia bawa dua titipan.

Yang selanjutnya dia pikirkan adalah bagaimana cara beritahu Bagas.

"Jingga, mau pulang dulu?" tanya suster Helen ketika keduanya bertemu di parkiran.

"Iya, kamu mau beli sarapan?"tanya balik Jingga.

Helen mengangguk, "gimana udah ketemu sama Dokter Dina?" tanyanya lagi.

Giliran Jingga yang mengangguk, dia merongoh saku bajunya dan menunjukkan hasil USG tadi.

"Kembar?"tanyanya, dia terbelalak kemudian meraihnya agar lihat lebih dekat.

"Beneran ini? " tanya Helen dengan mulut terbuka, Jingga mengangguk meyakinkan.

Helen tidak bisa menahan haru, dia ikut meneteskan air mata.

Jika Helen yang temannya saja ikut bahagia sampai merasakan harunya begini bukankah bahagia atau haru yang Bagas rasakan akan lebih besar? 

"Pagiii," Sapa Jingga dilayar ponsel, setelah sampai di rumah Dia memutuskan untuk segera mengabari Bagas. Badan Jingga rasanya pegal, tapi mengingat dia harus berbagi  kabar bahagia tadi dia merasa lelahnya hilang, sangat bersemangat untuk dengar reaksi Bagas.

Hening, sapaan Jingga tidak segera dapat jawaban. Tapi kemudian dari sebrang telpon, Jingga bisa dengar grasak grusuk Bagas yang entah sedang sibuk lakukan apa. Mengingat kelakuan suaminya buat Jingga sedikit khawatir, apa Bagas sudah siapkan baju untuk hari ini, apa bajunya rapi atau masih kusut, apa Bagas akan sarapan atau melewatinya, apa dia mengawali hari dengan baik atau kesusahan?

Semakin hari, kepala Jingga rasanya makin penuh. Di titik ini, dia mulai bertanya-tanya apa benar dia kena pelet Bagas.

"Hallo," ulang Jingga, berpikir ingin matikan telpon tapi dia punya banyak pertanyaan sekarang.

"Iya Nga, ini lagi siap-siap,"balas Bagas pada akhirnya, "hari ini, Gue harus rapat jam sembilan tapi lokasinya jauh jadi harus berangkat sekarang," tambahnya.

Jingga mengangguk paham, mungkin ini peletnya, Bagas yang bekerja keras buat Jingga semakin kagum ditambah perasaan khawatir dan ingin membantu.

Ketukan pintu di tempat Bagas buat Jingga menunggu lagi, dari obrolannya Jingga tahu Bagas sedang bicara dengan sekertarisnya.

"Kenapa berisik?" tanya Jingga penasaran.

"Gue nyari sisir, kemarin perasaan di simpen di nakas tapi enggak ada." ujar Bagas.

Dengar itu, Jingga mulai menebak-nebak sebesar apa kekacawan yang Bagas buat, Jingga tahu seorang Bagas kadang berantakan juga sedikit ceroboh. Memikirkan berkas yang berserakan atau barang-barang lain di simpan tak tau tempat buat Jingga ingin menyusul. Jika sisir yang bisa di genggam saja tidak terlihat, sebesar apa kekacauannya?

"Coba cek di bawah bantal, carinya pelan-pelan," saran Jingga, "atau di ba..." kalimat Jingga terpotong oleh sorakan Bagas."Ini ketemu."

Jingga tanpa sadar ikut bersorak dan tersenyum senang. Bahagia dengan hal sederhana. Jadi, jika Jingga beritahu tentang keadaannya sekarang, pastinya Bagas akan merasa  lebih dari bahagia kan?

Jingga semakin bersemangat, tapi baru buka mulut mau bicara, Bagas lagi-lagi potong ucapannya,"nanti Gue telpon lagi ya."

"Ada yang mau gue omongin," ucap Jingga yang tidak sampai, Bagas sudah lebih dulu tutup telponnya.

"Jangan lupa sarapan," gumam Jingga dengan suara memelan.

Agak kecewa, tapi berusaha berpikir positif. Sepertinya beritahu di telpon bukan cara yang baik, pagi ini juga bukan waktu yang tepat. Jingga memilih segera membersihkan diri, rehat sebentar lalu sarapan. Dia harus kembali ke rumah sakit. Tentang beritahu Bagas biar urusan nanti.

Tbc

Argumen, Jihoon x HeejinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang