chapter 21 : Pertengkaran pertama

80 20 8
                                    

Jadi Jingga yang sekarang bukan hal yang mudah. Mimpi yang dia raih tidak datang dengan begitu saja. Ada pengorbanan yang tidak sedikit, juga belajar dengan keras dan rintangan yang dia lewati dengan susah payah. Serumit apapun rintangannya Jingga bersyukur sebab bisa bebas jadi apa yang dia mau. Karena Jingga tau, Bagas yang sekarang bukan sepenuhnya maunya diri sendiri. Sibuknya dia, suksesnya dia sekarang, seandainya bisa pasti dia ingin bagi.
Tapi Bagas hanya anak sulung keras kepala yang tak bisa mengubah kenyataan bahwa dia menyayangi kedua adiknya dengan tulus. Tanggung jawab pada banyak hal itu dia pikul sendirian.

Jingga terbiasa disayang banyak orang, tidak ada yang menuntutnya untuk lakukan apapun. Sedangkan
Bagas menikah di usia 29 ketika dua adiknya memutuskan untuk menikah muda, melupakan cita-citanya jadi pengacara karena dipaksa terjun ke dunia bisnis bahkan belajar urus banyak hal demi kedua adiknya bisa  kejar cita-cita mereka.

Jingga tau cinta pertama Bagas, teman masa SMA yang berakhir karena alasan sibuk oleh pekerjaan. Alasan putus paling aneh untuk ukuran anak SMA. Setelah itu Jingga tak pernah dengar Bagas dekat dengan siapapun. Hari-harinya di habiskan dengan bekerja.

Dimata Jingga, Bagas masih punya lebih banyak lebihnya dari pada kurang.

Bagas yang Jingga tau dia bukan pria jahat, tapi Jingga ragu tentang dirinya sendiri. Apa harus diwaktu ini Bagas bertemu dengan cinta sejatinya, Jingga tidak tahu apa saja yang Bagas lakukan di tujuh tahun sebelumnya. Apa Bagas yang sekarang masih Bagas yang sama?

Semakin hari, diwaktu senggangnya pikiran Jingga terasa semakin penuh.

Terbangun ketika hari sudah pagi, Jingga baru membuka ponselnya siang hari. Baca pesan dari Bagas, katanya selama seminggu dia sibuk kerjakan proyek tambahan, baru selesai jadi akan pulang hari ini.

Jingga memilih bekerja seperti biasa, tak mau repot-repot membalas pesan, tak mau siapkan hal spesial apapun, tak mau siapkan sambutan yang hanya akan buat dirinya kecewa seperti sebelumnya. Sudah cukup Jingga menunggu seperti orang bodoh, sebab yang di tunggu tidak tunjukkan peduli sama sekali.

Pukul delapan malam Jingga baru pulang, setelah sebelumnya sempatnya cari makan sehat diluar juga sedikit menghibur diri dengan berbelanja.

Memarkirkan mobilnya, dengan sebal Jingga turun kemudian buka pintu utama yang tidak dikunci, jelas sebelumnya Jingga sudah lihat mobil Bagas terparkir di halaman.

"Oh beneran pulang ternyata, " gumam Jingga acuh.

Bersihkan tubuh tanpa cari keberadaan Bagas, selesai memakai gaun rumahannya Jingga pergi ke dapur untuk minum susu sebelum tidur.

Bagas ada di dapur, sibuk makan sate. Melihat Jingga dia bangkit, ingin peluk tapi ditolak.

Mengangkat alis heran, Bagas tatap Jingga lama. Tapi tak berani tanya macam-macam.

"Kenapa pulang telat?"tanya Bagas ketika keduanya sudah duduk berhadapan di meja makan. Tapi bukan jawaban yang Jingga beri.

"Kenapa baru pulang? " tanya Jingga memasang wajah keruh tak bersahabat, suaranya terkesan dingin. Nada yang hampir tidak pernah Jingga pakai karena sebelumnya dia selalu ramah.

"Nanti aku cerita, sekarang kita makan ya? Kamu udah makan? " Tanya Bagas hati-hati.

Jingga menolak, memilih meneguk susunya sampai habis kemudian kembali ke tempat tidur.

Marah sungguh, Bagas memilih lanjutkan makannya, tidak terlihat ingin menyusul. Melihat wajah kebingungan juga tanpa rasa bersalah itu membuat Jingga ingin menangis.

Rapalkan kata-kata positif, Jingga mencoba ganti pikiran buruknya dengan kenangan manis dan baiknya Bagas. Kemarahan jika diakui hanya akan melukai dengan ujung penyesalan. Malam ini Jingga tidak ingin marah, dia butuh istirahat.

Tidur di salah satu sisi ranjang dengan posisi memunggungi, Jingga belum benar-benar tidur ketika Bagas masuk ke kamar dan hendak rebahkan tubuh disampinya.

"Gue enggak tau lo kenapa, agak sedih sebenarnya nahan kangen dua minggu gue kira pulang ke rumah bakal dapat sambutan atau sekedar dapet peluk hangat dari lo. Tapi kayanya lo cape."

Hening...

"Gimana harinya dua minggu ini? Sebelum gue yang cerita, gue lebih mau denger cerita elo. "

Tidak merespon, Jingga benar-benar berusaha keras untuk tahan tangisnya.

"Nga, semua baik-baik aja kan? " bisik Bagas pelan.

Jingga kesal tapi sedang dia redam. Jingga marah dengan semuanya, dia akui itu tapi berusaha diam agar tak melukai siapapun. Sedangkan Bagas semakin mendekat, ulurkan tangan hendak peluk dari belakang.

Tapi belum sampai tangannya mendekap, dering telpon urungkan niatnya. Bagas kemudian bangkit, raih handphone lalu bicara, "Hallo stecy.."

Didetik itu, ketika Bagas keluar dari kamar kemudian tutup pintu, Jingga tidak bisa lagi berpura-pura kuat. Suara perempuan itu, orang yang sama yang mengangkat telpon Bagas dua hari yang lalu.

Hati Jingga hancur, tapi dia menguatkan diri ikuti langkah Bagas. Telinganya memerah, perasaannya muak dengar obrolan penuh tawa yang dia dengar.

Bagas tadi memintanya menunggu agar bisa dengar apa saja yang dia lalui dua minggu terakhir kepada istrinya, tapi tanpa menolak Bagas segera ceritakan perjalanan pulangnya kepada seseorang ditelpon. Jingga tidak bisa tahan marahnya.

Berjalan kembali ke kamar untuk bawa sebuah dokumen juga pulpen, Jingga hampiri Bagas yang bersandar pada tembok dekat ruang keluarga kemudian lempar kertasnya tepat di wajah Bagas.

"GUE CAPE, LO BISA LAKUIN APAPUN MAU LO TAPI SEBELUMNYA AKHIRI IKATAN INI. "

Tbc

Ketika 10 untuk baca 5 chapter selanjutnya.

Argumen, Jihoon x HeejinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang