Tepat di hari ke sembilan Bagas di luar kota, malamnya ketika menelpon dia memberitahu Jingga akan pulang besok, paling lambat sampai malam hari katanya. Mendengarkan Bagas bicara, Jingga berusaha terkesan tenang dan biasa saja. Bahkan terkesan dingin dan acuh, padahal dalam hati antusias bukan main. Mulutnya sudah tak tahan ingin menjerit kesenangan. Benar-benar tidak sabar untuk beritahu Bagas tentang calon anak kembarnya.
Memulai hari dengan bahagia, Jingga sengaja simpan hasil USG-nya di nakas dekat tempat tidur, biasanya Bagas selalu simpan handphonenya di sana. Mungkin sebelum tidur waktu yang tepat untuk lihat teaksi Bagas.
"Keliatannya cerah banget hari ini, adek bayinya enggak rewel?" Mina, salah satu perawat yang kenal dekat dengan Jingga menyapa.
Jingga beri senyum sebelum menjawab, "masih normal-normal aja, katanya morning sickness biasanya dari usia enam minggu, sekarang dua-duanya masih anteng, enggak tau beberapa minggu kedepan."
"Semangat ya, selamat berjuang jadi seorang Ibu," ujar Mina sambil mengangkat kepalan tangan.
"Hahaha, iya makasih ya Na,"balas Jingga.
Mina mengangguk saja, keduanya baru sampai dan bertemu di parkiran. Kemudian berjalan bersisian menuju ruangan masing-masing.
"Oh iya Nga, suami kamu masih diluar kota? "tanya Mina masih sambil berjalan.
"Iya," jawab Jingga.
"Belum di beri tahu?" tanyanya lagi.
Jingga mengangguk diakhiri kekeh.
"Berita penting dan bahagia kok enggak segera disampaikan? " tanya Mina heran.
"Karena kabar ini penting aku enggak mau bilang ditelpon, mau langsung aja. Mau lihat dengan jelas reaksinya gimana," jawab Jingga.
"Sujud sukur paling," gurau Mina buat Jingga terkekeh, bayangkan Bagas yang berterak. Sebenarnya Mina adalah kakak kelas di masa SMA yang kenal cukup baik dengan Bagas.
"Jadi kapan katanya pulang, udah lebih seminggu kan ya? Mau jadi Bang toyib enggak pulang-pulang. "
"Loh kok Kamu tau udah lebih seminggu? " tanya Jingga heran, dia bahkan sampai hentikan langkah.
"Kan sebelum pergi itu anak nunggu lama disini, kadang duduk, kadang nyender, keliatan enggak betah tapi tetep maksain karena mau pamit sama kamu ya? "
"Kakak tau? "
"Iya, sabar banget nunggu lebih dari satu jam," jawab Mina yang buat Jingga kaget. Jingga baru tahu fakta itu, selama ini dia kira Bagas hanya mampir ke rumah sakit kemudian jika Jingga tidak melihatnya waktu itu dia benar-benar akan berangkat karena tak mau menunggu. Tapi ternyata....
"Mikirin apa? " tegur Mina ketika Jingga tak menanggapi lagi ucapannya.
"Enggak tau ya Bagas nunggu? " tebaknya tepat.
Jingga mengangguk, dengan wajah yang tidak secerah tadi.
"Loh kok jadi berubah gitu mukanya?" tanya Mina khawatir.
"Kok bisa Aku enggak sadar sama perjuangan suami sendiri. "
Mina terbelalak tak habis pikir, tapi mengingat kembali kondisi Jingga membuat dia mengerti.
"Udah jangan dipikirin, daripada ngerasa bersalah mending nanti pulang langsung cari reperensi, kalau dia pulang kasih sambutan hangat dan kasih tau kabar bahagianya. Nunggu satu jam belum ada apa-apa nya masih banyak perjuangan yang harus dia lakuin sebagai calon seorang ayah. "
"Kejutan apa ya kak yang bagus?" tanya Jingga.
"Makan malam romantis? Beli bunga sama balon sekalian. Ah kebetulan Aku juga mau nyari kado buat anak. Gimana mau nyari sama-sama? " saran Mina.
Jingga mengangguk dengan semangat, senang sekali rasanya mendapat pencerahan.
"Emang Dia kapan deh pulang nya? "
"Hari ini. "
"Ya udah nanti siang ya, Aku perlu ke rumah kamu enggak sih buat bantuin? "
"Serius mau bantu? "
"Kan Kamu enggak boleh kecapean. "
"Ahh makasih Mina. "
*
*
*Malam ini udara terasa lebih dingin. Tapi Jingga masih disini, duduk tenang di teras rumah memakai hoodie oversize untuk tutupi gaun sederhana yang dia pakai. Gaun berwarna merah lengan pendek di atas lutut yang cantik, sengaja tidak pakai gaun rumahan karena rencananya setelah pulang dia akan mengajak Bagas makan malam romantis.
Sebuah meja persegi dengan dua kursi berhadapan sudah dipasang. Peralatan rumah tangga baru, yang Jingga beli secara khusus. Berbagai cemilan kecil beserta bunga untuk mempercantiknya sudah tertata. Juga kue ulang tahun dengan lilin angka dua dan sembilan berukuran sedang yang di beli dengan mendadak.
Tigabelas maret, Jingga baru ingat Bagas berulang tahun besok, jadi dia memutuskan untuk merayakannya tepat di pergantian hari.
Dengan menggunakan salah satu kamar di lantai atas yang sengaja lampunya dimatikan kemudian mengganti pencahayaan dengan lampu tumbler yang tidak terlalu terang tapi cukup. Jingga dibantu Mina sudah menyiapkan banyak hal dan merasa puas dengan hasilnya.
Hari yang semakin larut malam, setelah jam sembilan, Jingga memilih menunggu di dalam rumah, dia tidak mau sakit. Bagaimanapun kesehatan dia dan kedua anaknya lebih penting.
Detik sampai menit terus berlalu, makanan yang Jingga siapkan sudah terlanjur dingin. Sejak tadi Jingga sudah berusaha menelpon tapi Bagas malah tidak bisa dihubungi.
Jingga kehilangan semangat nya, senyum cerah dan bahagianya sudah mengudara sejak tadi. Daripada larut pikirkan Bagas, Jingga memilih makan lebih dulu. Sekali lagi karena bagaimanapun kedua anaknya adalah prioritas, Jingga tidak mau membuat mereka kekurangan nutrisi.
Setelah jam sepuluh lewat, Jingga memilih masuk ke kamarnya. Mengkhawatirkan Bagas, tapi dia sudah mengantuk.
Sebelum benar-benar terlelap, Jingga memilih telpon Bagas untuk terakhir kali. Rapalkan do'a, detik kemudian sambungan telpon terhubung.
"Hallo, " bukan suara Bagas yang berucap di telpon. Melainkan suara pelan, milik perempuan.
"Bisa bicara dengan pemilik handphonenya? "
"Ah iya maaf, Gas woy Bagas, ini ada telpon. "
Butuh waktu untuk Jingga bisa dengar suara Bagas, suasana di sebrang telpon terdengar riuh.
"Hallo Nga, udah malem. Lo belum tidur? Oh iya lupa ngasih tau, gue enggak tau lo peduli informasi ini atau enggak tapi tetep bakal kasih tau. Jadi gue enggak jadi pulang hari ini."
Tanpa ucap maaf dan berpikir Jingga tidak peduli, apakah Bagas tidak merasa bersalah sama sekali? Jingga menunggunya, dia sudah siapkan banyak hal.
Rencana bahagia dapat peluk nyaman hari ini, nyatanya tak lebih dari memeluk diri sendiri dengan isak tangis yang mulai terdengar.
"Gue istrinya, tapi masih diperlakuin kaya temen tongkrongan. " gumamnya sendu.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Argumen, Jihoon x Heejin
TerrorDari sahabat, jadi teman hidup. Mampukah keduanya menjalani peran masing-masing?