chapter 20 : 42 hari

241 51 22
                                    

Melonggarkan dasi kemudian melempar asal jas hitam yang tadi dia pegang, Bagas memijat pelipisnya sendiri berharap bisa kurangi pening dan kesal yang sejak tadi dia rasa.

Satu, dua, tiga....

Tak butuh waktu lama Bagas sadar pergerakannya tidak berefek banyak, dadanya masih naik turun dengan wajah merah padam, saking emosinya melihat lemari saja ingin dia angkat kemudian membantingnya.

Lemari terlalu berat. Pada akhirnya jam tangan yang melingkar dipergelangan jadi sasaran kekesalan Bagas selanjutnya, menunjukkan pukul sebelas lebih empat puluh menit, jam mahal itu bagas lepas dengan tidak santai lalu dia lempar ke tempat tidur.

"Kalau ke lantai nanti pecah," gumam Bagas menyempatkan melawak untuk menghibur diri sendiri.

Sekarang Bagas kelelahan, dia melewati hari yang tidak terlalu menyenangkan. Dia bahkan baru makan jam sepuluh tadi. Tidak berniat mandi, Bagas merebahkan diri di kasur kemudian memejamkan mata berusaha untuk tidur.

Satu menit, dua menit, tiga menit....

Bagas menyerah, dia kembali membuka matanya lalu bangkit untuk mandi air hangat. Dia tidak bisa tidur karena pikirkan banyak hal, padahal sampai saat ini semua pekerjaannya berjalan lanjar bahkan saking lancarnya dapat proyek tambahan.
Yang jadi alasan Bagas uring-uringan seperti ini adalah karena nyinyiran teman lama.

Jadi tadi siang, Bagas sempat bertemu dengan teman SMA-nya di sebuah restoran. Teman dekat yang punya pribadi mirip. Kalau kata orang, teman itu cerminan diri, entah benar atau salah tapi sepertinya kata itu tepat untuk Bagas dan Dopid.

Di masa SMA dulu, keduanya selalu kompak berjulid. Mengomentari siapa saja, sampai kepala sekolah pernah keduanya jadikan bahan gosip. Mereka terpisah setelah lulus, dan ini adalah pertemuan pertama mereka sejak saat itu.

Awalnya obrolan meraka menyenangkan dan Bagas merasa senang bertemu sahabat lamanya, tapi setelah bicarakan banyak hal dengan heboh, suasana berubah hening ketika Dopid bicara," Lo udah nikah masih keluyuran sendirian aja Gue liat-liat, enggak diurus sama istri? Pengantin baru udah jauhan gini, Eh atau yang dinikahinnya dari awal emang enggak peduli?" ejeknya diakhiri tawa.

Bagas memang paham dia suka becanda dan suka mengomentari banyak hal dengan pedas, dia biasanya tidak keberatan di maki bagaimanapun karena dia selalu bisa membalas dua kali lipatnya. Dan untuk pertama kali, Bagas merasa hilang kata juga sangat tersinggung.

*

"Semua bakal baik-baik aja,"gumam Jingga pada dirinya sendiri.

Hari ini, tepat empat puluh dua hari sejak Jingga berakad dengan Bagas. Dia berhasil mematuhi nasihat sang ibu untuk tidak bertengkar dan lebih banyak mengalah diawal pernikahan ini.

Katanya perempuan itu berisik, tapi sampai di titik ini Jingga menahannya, seingin apapun dia marah dan memaki suaminya, tapi tidak dia lakukan, Jingga memilih diam. Bukankah jelas sejak awal Jingga tidak mengomel separah apapun Bagas buat keributan, setelah mendapatkan perlakuan yang tidak diharapkan dan menangis hampir semalamanpun Jingga hanya bertanya lewat pesan tentang kepulangan Bagas, tidak membahas kecewanya. Dia jadi Jingga yang biasa seolah kecewanya tidak pernah ada.

Jingga tetap diam meskipun pada akhirnya dua hari berlalu pesannya hanya Bagas baca.

Setelah lewat empat puluh hari, Jingga mulai terbiasa meredam ego, dia hanya menyibukkan diri dengan melakukan semua pekerjaan yang dia bisa, Jingga juga sedang berusaha mengerti kesibukan suaminya.

Tiga minggu usia kandungan buat Jingga fokus pada calon kedua anaknya, mulai berhati-hati dengan banyak hal.

Setelah empat puluh dua hari pernikahan, Jingga semakin terbiasa dengan banyak hal, biar Bagas selesaikan dulu pekerjaanya. Biar Jingga yang mengalah lagi untuk sekarang.

Pesannya belum di jawab buat Jingga memutuskan telpon Bagas sebelum tidur. Sambungan terhubung, tapi bukan suara Bagas yang menyapa.

Apakah Jingga juga harus terbiasa dan mengerti mengetahui fakta bahwa seorang perempuan lagi-lagi memegang telpon suaminya.

Jingga tahu Bagas, dia bukan orang yang mau dengan sukarela pinjamkan barang-barangnya, apalagi ini hanphone. Jingga bahkan belum pernah sekedar menggenggamnya.

Jadi sespesial apa wanita itu atau kebetulan seperti apa yang terjadi sampai perempuan yang tidak Jingga kenali memegang ponsel Bagas seenaknya.

Jingga hilang kata, karena hening perempuan tadi dengan sukarela jelaskan situasi, "Mas Bagas titip handphonenya ke saya, dia sedang ke toilet. Ini siapa ya? Ada yang perlu saya sampaikan?"

Mas katanya? Jingga yang berstatus istri saja masih sering memanggilnya nama. Bagas atau Jingga, keduanya memang tidak pernah berpikiran untuk mengubah nama panggilan masing-masing, ataupun sekedar mengubah Lo-Gue jadi Aku-Kamu.

Sebelumnya Jingga berpikir semua itu bukan masalah, tapi untuk sekarang Jingga baru sadar, panggilan itu bukan hal sederhana.

Bukankah sebelumnya Bagas yang bilang akan pulang setelah seminggu, di hari ke sembilanpun dia batal pulang karena masih ada kerjaan katanya. Kenapa sekarang ketika hari sudah gelap, sesibuknya dia masih sempat makan malam bersama perempuan. Jingga tidak salah dengar, disebrang sana seseorang berucap, 'selamat menikmati.'

Jadi, Bagas sedang makan malam? Tidak punya waktu hanya sekedar balas pesan dari Jingga tapi punya banyak waktu bersama oranglain. Makan malam disana lebih penting?

Jingga sudah berusaha mengerti batalnya rencana pulangnya Bagas kemarin kemudian sekarang masih menunggu untuk menyambut dengan sabar. Tapi sabarnya tidak dihargai?

Tidak ada tanda-tanda Bagas akan pulang. Selesai menelpon yang diangkat orang lain Jingga memilih matikan telpon sepihak.

Mulai sekarang, terserah. Pertahanan Jingga rasanya runtuh.

Tbc

Tiap hari update nih.

Kalo chapter depan mereka cere, Setuju?

Kalo chapter depan mereka cere, Setuju?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Argumen, Jihoon x HeejinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang