chapter 22 : cerai

232 49 3
                                    

Hallo evanyuki3 , selamat membaca lima chapternya.









"Nga, Lo kenapa?" tanya Bagas kebingungan. Tak lagi bersandar ke tembok, tubuhnya dia tegakkan, berdiri di hadapan Jingga.

"Gue Marah." jawab Jingga tegas. "Sekarang gue yang tanya, Mau lo apa Bagaskara? "tanyanya sambil beri tatapan dingin.

"Hah? Gue? Mau apa? Gue beneran enggak ngerti ini ada apa, coba jelasin pelan-pelan Jingga, " Bagas mendekat, perhatikan gelagat lawan bicaranya.

"Harusnya lo yang jelasin semuanya."

"Jelasin apa?"

"Due minggu ini lo ngapain?"

"Gue? kerja. "

"Itu aja? "

"Apa lagi?

Jingga muak melihat wajah so kebingungan milik Bagas, dia tatap tajam Bagas yang sibuk memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

Mendekat kemudian ulurkan tangan hendak raih tangan Jingga. Tapi bukan genggam hangat yang Bagas dapat, melainkan;

"JANGAN PEGANG GUE! " bentak Jingga sebelumnya. Bagas kaget, tentu saja. Tapi tetap diam di tempatnya, baru bergerak ikuti Jingga ambil pulpen yang tadi jatuh ke lantai sedangkan Jingga berjongkok mengambil kertasnya.

"Ada apa? " tanya Bagas lagi, mencoba peruntungan untuk selesaikan semuanya dengan baik.

"Nga, gue enggak bakal ngerti kalau lo enggak cerita semuanya. " lirih Bagas.

Jingga berusaha keras menahan tangisnya, pasang wajah dingin tak ingin terlihat dia yang disakiti disini, tak mau tunjukkan rapuhnya. Setidaknya jika semua berakhir Jingga masih punya dan bisa tetap jaga harga dirinya sampai akhir.

Menit berlalu, Jingga ulurkan kertas yang dibawanya. Surat cerai yang sudah dia tanda tangani, tadinya ini hanya salah satu dari rencana kejutan, tak pernah berpikir bahwa semua rencana beri kabar bahagianya berubah jadi akhir menyedihkan yang mungkin setelah ini akan buat keduanya selesai.

"Mungkin di luar sana ada yang lebih bisa bahagian lo," Jingga serius dengan kata-katanya, tawa Bagas ketika menelpon, bukankah jelas hari-hari Bagas akan lebih banyak tertawa jika bersama dengan wanita itu. "Begitupun sebaliknya, gue berhak bahagia kan Gas?" Jeda sebentar, "jadi, akhiri semua ini segera, gue siap keluar dari rumah ini kapanpun."

Bagas masih diam, berusaha mencerna setiap kata yang coba Jingga ungkap. Sampai dititik paham, Jingga dengan jelas meminta perpisahan.

Sejak mengetahui keberadaan anak nya, Jingga belajar banyak. Termasuk berusaha paham tentang tingkat emosi dan siap-siap tentang sensitive yang akan dia rasa. Jingga sudah berusaha berperang dengan diri sendiri untuk mengontrol emosinya dengan baik, tapi ternyata cuman sampai di sini, dia tidak bisa tahan dalam waktu lama.

Sedangkan Bagas tidak tau apapun, melihat Jingga marah Bagas berusaha memahami tapi tentang perceraian yang Jingga bahas tidak bisa sama sekali buat dia tenang. Yang Bagas lihat sekarang adalah wajah angkuh Jingga yang berhasil buat dia tersulut. Malam ini Bagas egois, memikirkan tentang lelahnya lebih larut daripada mencoba memahami hati Jingga.

"Jadi mau lo pisah? Kita bahkan baru sebulan jalani ini Jingga. "

Hening, Bagas tatap raga Jingga yang diam mematung dengan wajah kaku, mencoba cari sebuah kebohongan dengan apa yang baru saja Jingga pinta. Tapi tidak ada, Jingga terlihat serius dengan semuanya.

"Gue cape baru pulang Jingga, gue abis kerja cari duit. Gue lagi usahain yang terbaik buat kita. Kenapa enggak ada angin enggak ada ujan Lo tiba-tiba minta cerai? "

Jingga dengan amarah yang terlanjur menguasai, tak mau sangka apapun selain lampiaskan dan yakini bahwa semuanya salah Bagas.

"Bohong, gue enggak butuh duit lo. Berhenti libatin kita karena lo cuman mau bahagia buat diri lo sendiri. Puas udah senang senang selama dua minggu? "

"Senang-senang apa? Gue kerja. "

"Bohong."

"Nga, gue serius tentang berjuang buat bahagiain Lo. "

"Bukan bahagia, Lo enggak sadar udah nyakitin Gue?"

"Yakitin apa? "

"Masih belum sadar? "

"Sadar tentang apa? Gue enggak akan ngerti kalau enggak lo jelasin."

"Lo cowok enggak bertanggung jawab yang sama sekali enggak bisa dipegang omonganya."

Jingga semakin tunjukkan tatapan tajamnya. Sedang Bagas mulai rasakan gemuruh di dadanya, tudahan yang Jingga ucapkan melukai jiwa laki-lakinya. Yang Bagas pikirkan sekarang adalah berarti selama ini Jingga tidak hargai kerja kerasnya. Padahal butuh waktu beberapa tahun untuk Bagas kumpulkan uang untuk beli rumah ini, untuk Jingga. Selama ini Bagas pikir usahanya cukup keras untuk buat Jingga bahagia.

"Gue tau lo nikah sama gue karena cape ditanyain kapan nikah terus! Prustasi karena enggak laku? Kenapa sekarang ngerasa nyesel? " Dan bukannya kalimat penenang, melainkan kalimat setara kertas yang dilempar ke api yang Bagas beri. Jingga lagi-lagi tetap pasang raut angkuh seolah tidak terusik, padahal sebenarnya sedang berusaha keras tahan air mata untuk tidak turun sekarang.

"Gue enggak nyesel, cuman sekarang lagi muak sama Elo! "Balas Jingga.

"Bagus, suami pulang kerja bukannya disambut malah ngajak berantem. To the point aja, mau lo apa? "

"Ngapain? Siapin makanan buat orang yang enggak jelas bakal pulang atau enggak? Buang buang waktu. Gue juga kerja. Gue juga cape, paling cape ngadepin sikap lo. Lo nanya mau gue apa? Ini, "

"Gue kira lo wanita baik yang bisa tenang dan ngadepin marah dengan kepala dingin. Gue salah ngira."

"Lo pikir lo doang? Gue juga salah ngira, gue pikir lo pria bertanggung jawab yang omongannya bisa dipegang, nyatanya lo cuman satu dari banyak nya cowok brengsek yang enggak cukup sama satu cewek. "

Ucapan pedas, dibalas kalimat yang lebih pedas. Saling melempar caci sampai Jingga tak tahan hanya untuk sekedar tatap manusia didepannya.

Sampai ketika Bagas dipuncak marahnya, dia ambil dengan kasar kertas yang Jingga pegang.

"Lo mau ini? "

Tangan Bagas sudah memegang pulpen, melihatnya adalah batas kuat Jingga untuk pura-pura. Bangkit dari duduknya, ambil kunci mobil, Jingga putuskan untuk tenangkan diri dengan pergi.

Batinnya lelah jika harus pura-pura keras padahal dalamnya rapuh sampai berantakan tak berbentuk.

"Anak-anak Mami, maafin Mami yang kasar sama ayah kalian. Sekarang Mami cuman kecewa. Mami enggak bisa berhenti sayang sama Ayah, Mami juga enggak mau ninggalin Ayah. Mami enggak tau kedepannya gimana, sekarang temani Mami tenangkan diri ya. "

Tbc

Argumen, Jihoon x HeejinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang