Tidak pernah berpikir semuanya akan rumit, Bagas tau seorang Jingga, makanya dia merasa setelah menikahpun dia tidak akan kesulitan memilih antara pekerjaan atau keluarga. Sebab di posisi yang sama, keduanya sedang menjalankan profesi sekaligus mimpi masing-masing. Jingga akan mengerti sibuk nya, Bagas pun sama. Mereka kenal dari bayi, hidup dan jatuh cinta dua orang yang sudah saling paham akan lebih mudah jalannya, pikir keduanya.
Setelah barangnya rapi, Bagas tidak langsung pergi ke Bandara, dia memilih menyempatkan diri untuk berpamitan langsung kepada Jingga. Sampai di rumah sakit, Bagas bertemu dengan beberapa teman Jingga, yang memberi tahu dirinya kalau Jingga sedang sibuk dengan pasien, tidak bisa di ganggu.
Waktu terus berjalan, sekertaris Bagas mengingatkan bahwa mereka harus segera berangkat, sudah hampir satu jam menunggu tapi Jingga belum juga bisa ditemui, saran pamit di telpon lebih baik daripada harus tertinggal.
Padahal dari kemarin Jingga sampai bosan dengar kata, 'Nga, gue besok ke luar kota loh, gue pamit ya, lo jaga diri baik-baik.' ucap Bagas dengan berulang.
Baru mau masuk mobil, panggilan seseorang yang datang dengan napas tersengal membuat Bagas mengurungkan niatnya.
"Bagas."
Berdiri tegak, senyum Bagas merekah dan terlihat sangat cerah.
"Lo nunggu dari tadi?" tanya Jingga saat Bagas sudah melangkah ke arahnya.
Bagas menggeleng, waktu tunggu lama tidak pernah jadi menyebalkan jika itu tentang Jingga.
"Ngos-ngosan banget, lo lari dari mana?"
"Lantai 4."jawab Jingga, masih dengan napas yang memburu.
"Enggak pakai lift? "
"Nunggu kelamaan, mending lari biar kaya di film-film. "
Bagas terkekeh kemudian memilih rengkuh tubuh Jingga. "Gue mau pamit buat berangkat, gue percaya lo bisa jaga diri dengan baik, tunggu gue pulang ya. Pagi, siang, atau malam kita berkabar. "
"Lo cuman pergi seminggu, tapi udah ngomong gitu berapa kali? " tanya Jingga sebab memang dari kemarin Bagas sudah mengingatkannya tentang jaga diri dan komunikasi. "Gue mau sekedar jawab Ya doang udah bosen," tambah Jingga.
"Iya iya maaf, ini beneran mau pergi loh. Sedih nanti jauh sama istri," ujar Bagas sambil memasang raut wajah cemberut.
Jingga yang merasa sudah cukup dengan pelukan memilih jadi yang pertama mengurainya.
"Lo enggak nanya gue mau dibawain oleh-oleh apa? " tanya Jingga pada akhirnya.
"Lo pikirin dulu aja, terus nanti kabari gue. Gue berangkat sekarang ya. "
Anggukan jadi jawaban yang Jingga beri, selanjutnya Jingga di buat mematung sebab Bagas cium keningnya lama.
"Gue bener-bener minta lo nunggu dengan baik, sekali lagi Gue sayang lo. Selamat sore Jingga," ujar Bagas halus.
Jingga mematung tatap kepergian Bagas. Kemudian memilih melanjutkan pekerjaannya.
*****
Hidupkan lampu, hari sudah gelap sebab Jingga tiba dirumahnya pada malam hari. Hanya hilang satu orang, tapi sepinya terasa sangat kentara. Jingga jadi duduk di ruang keluarga, beristirat sebentar sambil mengingat-ngingat tentang sebulan kebelakang.
Biasanya kalau Jingga pulang malam seperti ini, Bagas selalu sudah ada di rumah. Entah hanya tidur karena kelelahan, bermain game dengan berisik, atau bahkan makan camilan dan minum kopi. Diantara banyaknya rungan yang ada di rumah ini. Ruang keluarga seperti nya jadi tempat yang sering dia pakai.
Setelah merasa cukup, Jingga putuskan bangkit, berjalan ke kamar untuk mandi. Baru setelah nyaman dengan piyamanya, dia pergi ke dapur siapkan makan malam untuk dirinya sendiri.
Rasanya sepi, bodohnya Jingga sempat lupa sampai membuat dua porsi makan malam.
"Aduh Nga, kan Bagas enggak ada." gumamnya pada diri sendiri. Belum genap sehari, Jingga benar-benar tidak suka dengan rasa hampa.
Terakhir, setelah Jingga siap untuk tidur, tubuh sudah dibaringkan, Jingga harus rasakan lagi kesepian. Tanpa Bagas, tempat tidurnya benar-benar terasa banyak ruang kosong. Tidak ada yang memeluknya malam ini.
"Dih kena pelet kayanya gue." ucap Jingga kesal sendiri mengingat semuanya.
"Kok bisa gue bucin sama manusia model begituan. " geramnya.
Sampai ketika sudah lelap dan hampir bertemu dengan mimpi, dering telpon membangunkan Jingga kembali.
"Hallo Nga, maaf baru bisa ngabarin. Gue udah sampe beberapa jam yang lalu. Ini baru mau istirahat."
"Gimana hari nya Nga, baik-baik aja kan? Masak apa tadi? Gue kangen masakan rumah sumpah. "
Tatap wajah Bagas di layar ponsel, bukannya menanggapi setiap kata, Jingga diam, tanpa sadar beberapa tetes air mata basahi pipi putihnya.
"Nga, Lo baik-baik aja kan? " Tanya Bagas panik. "Apa ada yang jahatin ? Lo sakit? "
Jingga semakin larut dengan isaknya. Dia tim kalau lagi nangis ditanya kenapa nangisnya makin kejer. Dan Bagas malam ini sedang tidak bisa menahan paniknya.
"Nga, Gue pulang ya,"ucap Bagas akhirnya, mendengar kata itu membuat Jingga segera menggeleng dan berusaha hentikan tangisnya.
"Jangan nekad pulang, Lo lagi kerja, Gue gapapa," ucap Jingga, masih dengan tangisnya.
"Gapapa apanya, Lo sampe nangis kejer gitu berarti lagi enggak baik-baik aja. "
"Gue kangennn. Emang sedih, tapi sedih sama kangennya bisa ditahan. "
Didetik itu, selesai mendengar apa yang Jingga ucap, Bagas dengan susah payah tahan tawanya yang ingin meledak.
"Ngambek ya gue tinggal? "Tanyanya lagi. Sebenarnya Bagas berusaha alihkan topik obrolan, ubah perasaan sedih Jingga jadi kesal lebih baik pikir nya. Dia tidak ingin buat Jingga merasa semakin sedih karena semakin larut dengan rindu yang dia akui.
"Jingga gue tadi makan mie instant tiga bungkus, " bohong Bagas, dia benar-benar serius tentang membuat Jingga kesal.
"Dihari pertama lo enggak denger apa yang gue bilang? "
"Maaf."
"Gue beneran ngambek ya Gas."
"Lah jangan. "
"Gapapa lah, kan kalau ngambek gue gampang dibujuk. Di kasih saham juga diem. "
Bagas mendelik setelah mendengarnya, "itu mah susah, yang gampang itu bujuk pake permen."
Keduanya larut bicara sampai tanpa sengaja Jingga menguap.
"Udah ngantuk, tidur gih." tegas Bagas pengertian.
"Hmm, gue matiin telponnya ya?" balas Jingga.
"Jangan dulu, gue mau nyanyi."
Jingga menurut, mencari posisi ternyaman, dengarkan suara Bagas sampai terlelap dengan damai.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Argumen, Jihoon x Heejin
HorrorDari sahabat, jadi teman hidup. Mampukah keduanya menjalani peran masing-masing?