chapter 3 : Jingga Brianne

195 35 8
                                    

Jinngga brianne, ini bukan salah ketik. Sejak buat akta lahir namanya memang punya double huruf n. Hasil perdebatan dari kedua orang tua, sebuah jalan tengah karena Bunda yang siapkan nama Jinia — seirama dengan nama anak pertama, Jiraya —sedangkan Ayah ingin memberi nama Jengga.

Namanya memang terdengar seperti salah satu warna, daripada menjelaskan setiap berkenalan, Jinngga tidak terlalu ambil pusing, Jingga bisa jadi nama panggilannya.

Sebelumnya Jinnga tidak berpikir namanya aneh, tidak ada masalah besar untuk itu, tapi kenyataannya satu huruf n saja buat si julid Arjie Baskara punya celah untuk mengejek Jingga lebih sering.

"Jin enggak ?"

"JINGGA! "

"Jin Enggak! "

"Arjie Jie Jie Jijik, "

Adalah teriakan dua anak berumur lima tahun dengan seragam biru mudanya. Jingga baru masuk PAUD dapat giliran memperkenalkan diri. Tak berjalan lancar karena tetangganya itu pasti mengganggu. Kenyataan yang sudah Jingga pahami sejak kecil adalah tidak berguna meluruskan sesuatu pada seorang Arjie Baskara, jalan yang bisa diambil adalah dengan balas menghinanya.

Jika diingat lagi, Jingga kadang kesal. Bagas itu sejak kecil senang sekali mempermainkan emosinya. Mengusik setiap sendiri yang Jingga sukai, merampas roti lapis favoritnya, merusak banyak mainannya. Meskipun tidak sampai menangis, semua gangguan itu selalu buat Jingga marah.

Tapi sejak kecil Bagas juga yang jadi alasan Jingga tertawa. Kalau tidak ada Bagas, Jingga tidak yakin bisa punya berani sebesar sekarang.

Terlahir jadi anak bungsu, Jingga merasa punya perhatian penuh dari kedua orangtua beserta kakaknya. Orangtua yang selalu memanjakan anaknya juga kakak yang sayang adik. Terlepas dari kenyataan Kedua orangtua yang bekerja dan jarak umur enam tahun dengan sang kakak yang buat kegiatan mereka berbeda, semua tetap berjalan dengan baik.

Meskipun karena perempuan Jingga kadang tidak diijinkan banyak hal, di rawat seperti seorang putri, dia dan kakaknya hanya di buat banyak kegiatan belajar. Makanya ketika SD ingin belajar sepeda saja, ada perdebatan cukup panjang.

"Jangan sayang, nanti jatuh," satu kata yang sering buat Jingga kecewa, setelah dilarang seperti itu, Jingga pasti pergi ke rumah samping untuk bertemu Mami Teren, Maminya Bagas yang selalu menyambutnya dengan senyum. Daripada berkata tidak boleh, Mami Terena renjani lebih senang mengangguk kemudian membantu setiap anak mewujudkan maunya.

Jingga juga mau main sepeda dipegangi Bunda, seperti yang Mami Teren lakukan. Dan Bagas yang lihat itu tak selalu memyebalkan. Bagas memang selalu menganggu Jingga, kecuali ketika lihat Jingga murung.

Bagas yang pertama mengajarkan Jingga main sepeda, dia juga yang bersorak senang ketika Jingga dengan mudah bisa. Dia juga yang membantu Jingga minta dibelikan sepeda pada Ayah dan Bundanya.

"Pelan-pelan goes sepedanya." pesan Ayah.

"Hati-hati sayang. " ujar Bunda.

"Jingga semangat. " tambah Kakak.

Pada akhirnya Jingga dapat dukungan dari keluarganya. Buat dia berterima kasih dan peluk Bagas dengan erat.

"Bunda bukannya harus kerja? "tanya Jingga ketika SMP dia tetap dibuatkan bekal oleh Bunda, terlepas dari masih sempat ataupun Bundanya kesiangan.

"Kerjaan Bunda nomor sekian, yang paling penting itu sehatnya Jingga," balas Bunda dengan senyum seperti biasa.

Kata Bunda sehat keluarganya nomor satu, dia pastikan nutrisi anaknya terpenuhi. Tumbuh dengan baik, bonus cantik.

"Ayah, kenapa harus buang waktu istirahat untuk antar jemput Jingga?" tanya Jingga setelah SMA. Dia bingung, jarang sekali lihat teman seumurannya dijemput orangtua.

"Kerjaan Ayah masih bisa nanti, yang paling penting itu selamatnya Jingga." adalah jawaban Ayah, sama seperti Bunda, dijawab dengan senyum.

Kalau kata Ayah, keamaan anaknya paling penting. Anak berharga yang dia peluk ketika baru lahir, dia harap bisa merengkuhnya sampai akhir.

"Kakak kalau mau main atau keluar sama temannya pergi aja. " Ujar Jingga, ketika kuliah di luar kota Jingga serumah berdua dengan kakaknya. Keduanya tidak diijinkan jauh jika sendiri-sendiri.

"Main sama temen bisa lain kali, yang paling penting itu temani Jingga," balas Jiraya, kakaknya itu tidak kalah cantik. Senyumnya juga manis dan lucu. Jiraya selalu menyayangi adiknya.

Jawaban hampir sama yang keluarganya ucap. Terkesan seperti terlalu banyak larangan. Buat Jingga merasa langkahnya dibatasi. Jika sang kakak yang manis dan lugu tidak keberatan dengan setiap aturan yang keduaorangtua buat, Jingga ingin lebih bebas.

"Jingga setiap di sekolah sama Arjie aja," perintah Ayah sejak sekolah dasar.

Jingga menolak, sering dia mengeluh mau keluar juga dengan yang lain. Bosan karena terus dengan Arjie Baskara.

"Iya boleh, tapi jangan jauh dari Arjie ya?" Selalu seperti itu, selama bukan dengan Bagas, tidak ada ijin sama sekali.

Jingga bingung, sejak kecil setiap berjalan dia harus di ikuti. Padahal anak yang tinggal di sebelah rumahnya itu punya sodara kembar dan seorang adik. Tapi selalu Jingga yang ditempeli, selalu Jingga yang Arjie usili. Mengadu pada kedua orangtua ataupun kakaknya tidak mungkin didengar.

Bersama Arjie adalah aman yang ayah bilang. Sampai ketika Jingga merasa terbiasa, saat mereka duduk di kelas dua SMA semua tiba-tiba berubah. Arjie berhenti mengganggu Jingga, dia yang tengil dalam sekejap berubah jadi pendiam kemudian fokus kepada kembaran dan adiknya.

Kenapa?

Yang Jingga tau hari sebelumnya semua masih baik-baik saja, dalam sekejap perubahan di sekelilingnya bertambah banyak.

Jingga bingung lihat Bagas belajar bela diri tapi dia juga minta ayah bunda untuk daftarkan. Lebih mengherankan ketika kedua orangtuanya tidak protes dan langsung setuju, padahal Jingga pikir mereka biasanya menolak.

Jingga kebingunan sendiri, bingung dengan jarak yang keluarga tetangganya beri, Jingga sampai tak berani lagi untuk langsung masuk ke rumah sebelah tanpa mengetuk pintu seperti biasanya, karena Bagas yang memulai seperti itu tidak pernah lagi.

Jingga belajar skate board, lagi-lagi tidak dapat larangan. Mau ikut eskul basket lagi-lagi dengan mudah dapat ijin. Dia tidak ambil pusing dengan sikap keluarganya karena sedang berusaha apapun yang Bagas suka Jingga coba agar bisa deket lagi.

Dua tahun berlalu hingga mereka lulus SMA. Tidak ada pamit atau perpisahan bahkan ketika Jingga pergi untuk meneruskan pendidikan di luar kota.

Sampai ketika Jingga pulang setelah dapat gelar dokternya, dia masih kebingungan. Sampai ketika sedang berdebat dengan spesialis apa yang akan Jingga ambil berakhir Bagas datang ke rumah bicara ingin menikahinya.

Jingga tidak berpikir untuk menolak, jika dengan ini bisa kembali dekat. Jingga setuju saja.

Tbc

Argumen, Jihoon x HeejinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang