Setelah mengobrol banyak, melepas rindu dengan orang-orang yang tidak setiap hari mereka temui, Bagas dan Jingga sampai dirumah pukul sebelas malam bersama setumpuk hadiah yang memenuhi bagasi dan kursi belakang kemudi mobil.
"Masih penasaran sama isi kadonya?" tanya Jingga yang masih duduk anteng di dalam mobil, mesinnya sudah dimatikan beberapa menit lalu dan keduanya tidak langsung turun. Jingga sempat merilik ke belakang, Bagas menyadari dan paham artinya, bukan sedang bertanya Jingga lebih terlihat seperti mengungkapkan isi hatinya, dia ingin tau isi kadonya malam ini.
"Sekarang bisa kita buka beberapa, tapi sisanya besok." putus Bagas, dia sebenarnya sudah mau tidur. Tapi lihat Jingga yang penasaran dan belum mengantuk padahal sudah hampir tengah malam buat Bagas luluh. Apapun, asal Jingga senang.
Setelah dengar jawab Bagas, Jingga bersemangat membalikkan badan, tangannya dia ulurkan untuk mengambil beberapa hadiah tapi Bagas segera larang, "Lo masuk duluan aja, semua biar gue yang bawa."
"Berdua aja, ini banyak banget," tolak Jingga. Bagas menggeleng, tetap pada keputusannya.
"Gue angkut ini," ujar Bagas sambil ambil alih dua kotak yang Jingga pegang,"Elo mending bawain gue minum, haus."
Jingga menurut, tapi tidak benar-benar melangkah dengan tangan kosong. Sebelum sempat Bagas ambil, Jingga sudah lebih dulu peluk bunga yang tadi Bagas belikan.
"Kalau ini gue aja, hadiah paling spesial yang Gue dapet hari ini."
Bagas di tempatnya tak bisa menahan senyum, sedikit terharu juga bahagia karena pemberiannya Jingga sukai. Dia segera turun dari mobil kemudian buka bagasi, bulak-balik bawa masuk semua hadiah ke dalam rumah, beruntung semua hadiah berukuran kecil atau sedang tapi ringan jadi Bagas tidak kelelahan.
Jingga sudah berganti baju duduk menunggu diruang keluarga setelah siapkan baju ganti Bagas dan bawakan air putih hangat. Bagas masih terus bawakan hadiah.
"Enggak usah nunggu, buka aja semua hadiahnya satu-satu, tapi jangan buru-buru, perintah Bagas."
Jingga mengangguk, dia memulainya dengan membuka paperbag hitam pemberian Mami dan Papi yang paling dekat dari jangkauan, sedikit bertanya-tanya kapan kedua mertuanya itu membeli hadiah sedangkan sejak siang Jingga bersama mereka. Jingga membukanya pelan dan dibuat kaget oleh isinya. Bersamaan dengan datangnya Bagas yang duduk di sebelah Jingga setelah selesaikan mengambil hadiah terakhir di dalam mobil.
"Hadiah dari siapa?" tanya Bagas heboh.
"Mami Papi." jawab Jingga pelan.
Bagas tau Mami-nya sangat menyayangi Jingga, tapi tak menyangka hadiahnya akan sebesar itu. Kotak kecil didalam paper bag hanya sebuah kunci mobil dengan kertas catatan kecil bertuliskan, "paling lambat dua hari lagi mobilnya sampai di rumah."
Jingga dan Bagas sama-sama mematung, tapi kemudian Bagas yang jadi paling semangat buka hadiah lain.
"Kalau gini caranya kita punya anak tiap taun aja Nga, gue jadi pengangguran juga ini hadiah bisa dipake biaya hidup," celetoh Bagas yang dibalas tabokan Jingga.
"Kalo Elo yang hamilnya mah ayo aja," sinis Jingga yang tak habis pikir dengan jalan pikiran Bagas.
"Elo enggak mau dapet mobil tiap tahun?" tanya Bagas dengan menggebu.
"Dikira punya anak gampang, yang kita besarin itu manusia. Punya hati sama jalan pikiran sendiri,"balas Jingga.
"Ya kita kan orangtuanya, mereka pasti nurut sama kita." bela Bagas yang masih tetap pada pendiriannya.
"Gue tanya, Lo waktu kecil nurut enggak ? Bisa dibilangin enggak?" tanya Jingga.
Bagas terlihat pura-pura berpikir, padahal kenyataannya sejak awal dia tau bahwa tidak adalah jawabannya.
Dengar ucapan Jingga barusan buat Bagas merenung, bagaimana kalau nanti ucapannya tidak didengar oleh sang anak, bagaimana kalau nanti anak-anaknya tidak bisa diam. Memikirkan masa kecil dirinya sendiri buat Bagas merinding.
Sedang duduk Bagas mengganti posisinya jadi tengkurap, tanpa ijin atau aba-aba wajah Bagas menghadap perut Jingga.
"Nak, kalau wajah gapapa mirip Papi, Papi gini-gini cakep kok. Tapi kalau bandelnya jangan sama ya, kamu jadi penurut mirip Mami aja," mohon Bagas, Jingga yang ingin protes karena Bagas terlalu dekat jadi diam, dengarkan Bagas yang beri nasihan panjang pada anak mereka yang baru berumur satu bulan dikandungan.
"Kalian juga harus saling sayang, kalau jadi laki-laki jangan suka rusuhin anak tetangga. Nanti Papi ajarin kalian jadi kuat, buat jaga diri, bukan untuk nindas siapapun," tambah Bagas tulus, mata Jingga sudah berkaca-kaca hampir terisak.
Bagas mendongakkan kepala, tatap Jingga dari bawah, "nanti kita temani tumbuh mereka sama-sama ya?" ajaknya. Jingga mengangguk, pertahannya runtuh, dia terisak yang kemudian Bagas tenangkan dengan peluk.
Mengobrol banyak tentang rencana masa depan dan kedua anak yang akan lahir, saling beri kalimat tulus, sedikit perdebatan, sama-sama buka kado, berdebat lagi, buka kado lagi, seperti itu berulang sampai hampir semua hadiah diketahui isinya. Setelah Mami Papi yang beri mobil, mereka dibuat terpana dengan Ayah Bunda yang beri sepasang jam tangan mewah yang harganya tidak jauh dari mobil, selebihnya semua hadiah terkesan normal. Ada sepatu, kalung, perlengkapan bayi, kain bukan sembarang kain dan masih banyak lagi.
Sampai di hadiah terakhir, Bagas dan Jingga saling pandang, tatap map coklat yang baru saja mereka keluarkan dari paperbag putih, Jingga memingatnya, itu hadiah dari Oma dan Opa.
Bagas mematung, penasaran dengan isinya jadi menerka-nerka sendiri. Apakah kakek neneknya itu salah beri atau tidak lucu kalau hadiahnya adalah dokumen kantor yang harus Bagas kerjakan. Dengan itu Bagas memilih menyerahkan Jingga sendiri untuk membukanya, sedang dia membereskan kotak dan bungkus kado yang harus dibuang.
Baru Bagas mau bangkit untuk pindahkan sampah, Jingga lebih dulu tarik tangannya.
"Apa?"tanya Bagas yang tidak dijawab Jingga melainkan dia sendiri yang kaget setelah pegang kertas didalam map coklat tadi.
Jingga merasa dejavu, rasanya sama seperti menerima sertifikat rumah dari Bagas dua bulan yang lalu. Tapi Bagas sendiri merasa lututnya melemas, semakin hilang kata setelah lihat total luas tanah yang tertera.
"Punya anak tiap tahun kayanya enggak buruk,"gumam Jingga yang dibalas anggukan lemah dari Bagas.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Argumen, Jihoon x Heejin
HorrorDari sahabat, jadi teman hidup. Mampukah keduanya menjalani peran masing-masing?