Chapter 9 : pengalaman pertama

364 61 15
                                    

Sehari cuti yang tidak jadi, Jingga setelah bangun dari istirahatnya yang sebentar segera kembali ke rumah sakit dan menyelesaikan tugasnya agar bisa benar-benar berlibur. Begitupun dengan Bagas, dia yang mengantar Jingga ke rumah sakit memilih mengerjakan berkas disalah satu caffe dekat sana.

Bagas dengan berkas kantor, Jingga dengan pasien-pasien. Dari banyak nya film, drama dan novel yang pernah Jingga tonton atau baca sibuknya dokter biasa disandingkan dengan gagahnya tentara yang mengabdi pada negara dengan tugas padat. Tapi melihat bagaimana Bagas dengan pakaian santainya menenteng tas laptop dan beberapa berkas, masih terlihat seperti mahasiswa. Tapi Jingga suka lihatnya.

Jingga pikir, dengan seorang pimpinan perusahaan yang tak lain adalah sahabatnya sendiripun dia sudah merasa sangat cukup. Ah sepertinya bukan tentang profesi, melainkan tentang seorang pria yang mulai dia cintai.

"Berakit-rakit ke hulu, berenang- renang ke tepian. Semangat Jingga, kita nguli dulu liburan poya-poya kemudian, " ucap Bagas ketika keduanya berpisah tadi, "jangan lupa minta bonus yang gede, waktu cuti malah disuruh kerja itu harus di balas dengan setimpal."kata terakhir yang bisa membuat Jingga tersenyum sendiri ketika mengingatnya.

Dasar Bagas, pikirannya seperti di dominasi uang. Celetukannya asal tapi menghibur.

***

"Hah... " Keduanya serempak membuang napas lega saat masuk ke kamar hotel.

"Akhirnya selesai juga hari ini, " ucap Bagas sambil berjalan ke tempat tidur kemudian merebahkan diri disana.

"Mau tidur dulu? "tanya Jingga pengertian. Dia ambil tas laptop di tangan Bagas untuk dipindahkan ke nakas.

"Enggak deh, mandi dulu terus nanti makan, dua jam lagi kita ke terminal," jawab Bagas dengan mata terpejam.

Jingga mengangguk, perhatikan sekeliling ruangan kemudian kumpulkan semua barang bawaannya jadi satu. "Barang-barang Lo enggak ada yang ketinggalan?" tanya Jingga memilih mencari topik obrolan tak mau sampai Bagas ketiduran.

"Kayanya enggak," jawab Bagas singkat.

"Pamit ke Papi Mami, Ayah Bunda? " tanya Jingga lagi.

"Lewat telpon aja, lagian kita cuman pergi tiga hari. Nanti mobil diambil Agam di terminal, " balas Bagas.

Jingga mengangguk, jadi yang lebih dulu bangun kemudian mandi. Padahal baru beberapa menit mereka sampai di hotel. Kalau di rumah Jingga mungkin akan meneriaki Bagas karena berani merebahkan tubuh tanpa berganti baju. Tapi karena bukan, Jingga jusrtu menyuruh Bagas istirahat dulu. Rencananya, nanti malam mereka akan berangkat ke Yogja menggunakan Bus.

Tentang destinasi juga transfortasi yang mereka pilih memang diluar dugaan. Mengundang tanya keheranan dari orang-orang di sekeliling, Arjie Baskara seorang pemimpin perusahaan sepertinya lebih dari mampu untuk bawa istrinya liburan keluar negri, atau bepergian pakai pesawat. Tapi yang keduanya sepakati adalah duduk bersisian di dua kursi bus paling depan dengan Jingga dekat jendela. Mencoba kendaraan yang belum pernah Bagas coba, juga jarang untuk Jingga. Di situasi asing, tidak ada penyesalan, keduanya tersenyum cerah bahkan mengobrol banyak hal.

"Kalau gue jadi supir bus, lo masih mau enggak nikah sama gue?" pertanyaan Bagas asal yang membuat Jingga menatap aneh pria disampingnya untuk kesekian kali.

"Mau enggak? "ulang Bagas tak sabaran. Dia terlihat bersemangat menunggu jawaban berbanding terbalik dengan Jingga yang sudah mulai kelelahan.

"Asal banyak duit, mau mau aja sih," jawab Jingga acuh. Selanjutnya Jingga di buat kaget karena satu jari Bagas mendorong keningnya. Reaksi berlebihan yang buat Jingga kesal.

"Matre lu. " cibir Bagas, pria dengan hoodie gucci dipadukan dengan celana jeans hitam prada itu terlihat tak terima. Jangan lupakan jam tangan, tas, bahkan sepatu yang dia kenakan hari ini. Semuanya serba baru, hadiah dari sodara juga sepupu atas permintaan dirinya sendiri.

Jingga tak habis pikir, bisa-bisanya pria yang suka barang mewah di sampingnya itu mencibir tanpa bukti. Kata itu, harusnya untuk dirinya sendiri. Besok Jingga berniat membelikan Bagas cermin.

"Yang bener jawabnya," peringat Bagas.

"Terserah," Balas Jingga sambil mengalihkan pandangan.

"Jadi nikah sama supir bus enggak mau?" ulang Bagas tak mau menyerah.

Menghembuskan napas kasar, Jingga bangkit ingin berjalan tapi langkahnya dihadang Bagas.

"Mau kemana? " tanya Bagas ikut berdiri.

"Ke depan, nyamperin supir bus. Mau gue ajak nikah. " ucap Jingga keras. Ibu-ibu di belakang mereka melotot kaget, pun dengan orang-orang disekeliling yang mulai perhatikan keributan.

"Enggak boleh, apa-apaan lo. Duduk." kesal Bagas

"Minggir. Biar enggak lo kira matre, gue bisa nikah sama siapa aja asal dia orang baik," jelas Jingga.

"Ngapain? "tanya Bagas panik.

"Minggir," ucap Jingga tegas.

"Udah duduk Jingga, lo enggak bisa punya suami dua," balas Bagas pelan.

Jingga mengalah, memilih kembali duduk dengan Bagas yang jadi diam karena sadar jadi pusat perhatian.

Si banyak bicara dan si judes gampang marah, selalu ada saja keributan jika disatukan.

"Inget kata Ayah Bunda, sebelum empat puluh hari usia pernikahan kita enggak boleh berantem, harus sama sama berusaha nahan diri." ujar Bagas.

"Inget juga kata Mami Papi, 'Bagas, istri cantiknya jangan digangguin terus tapi di manjain, dibikin nyaman, jangan di bikin marah.' Ngerti?" balas Jingga.

Bagas terkekeh kemudian meraih kepala Jingga untuk disandarkan ke bahunya, "ngerti, udah sekarang tidur. Biar nanti pas sampai punya tenaga buat jalan-jalan." ucap Bagas sambil mengelus kepala Jingga dengan lembut.

Jingga menurut, saling bersandar, keduanya tertidur sampai ditujuan, tidak sempat menikmati sunrise di pantai, selesai solat keduanya malah melanjutkan tidur kemudian tebangun ketika jam menunjukkan pukul delapan.

Jingga merasa lapar, karena itu dia segera mandi dan bersiap untuk mencari makanan di luar. Berdandan sederhana, tak lupa ajak Bagas.

"Sarapan sehat sebelum jam sembilan." ucap Jingga membangunkan Bagas, beruntung kali ini diguncangkan tangannya pelan, pria itu sudah bangun. Tapi sebelum diguncang, Jingga dorong dulu sampai jatuh dari tempat tidur.

"Gas ayo, " ajak Jingga.

"Mau jalan-jalan? " tanya Bagas dengan suara serak khas bangun tidur.

Jingga mendelik, "kalau bukan buat itu ngapain kita jauh-jauh kesini?"

Bagas tersenyum kemudian merenggangkan tangan. Menyamankan posisi, dengan gulungan selimut dia kembali memejamkan mata.

"Kok malah tidur lagi?" geram Jingga.

"Enggak, " balas Bagas yang selanjutnya merubah posisi jadi duduk dengan wajah berhadapan dengan Jingga. Mengulurkan tangan untuk meraih kepala sang istri, tanpa peduli ditatapan heran, Bagas mengikis jarak sambil tersenyum lebar.

"Morning kiss," ucapnya kemudian mengecup cepat seluruh wajah Jingga tanpa ijin.

"Bau, Lo belum sikat gigi." amuk Jingga. Baru ingin melawan, Bagas sudah lebih dulu bangkit kemudian berlali masuk ke kamar mandi.

"AWAS YA ARJIE BASKARA."

"JANGAN DENDAM, ITU BALASAN KARENA ELO NENDANG GUE DARI TEMPAT TIDUR. "

Tbc

Argumen, Jihoon x HeejinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang