Tak lebih dari sepuluh menit Jingga bicara dengan orang asing itu, tapi pada akhirnya kaki yang dipakai berpijak mendadak terasa lemas. Pertanyaan demi pertanyaan yang tadi dia ucap, juga banyaknya jawaban yang semakin buat kebingungan. Jadi sampai saat ini apa tujuan Bagas, seperti apa hidup yang dia jalani sebelum Jingga datang.
Belum lama, Jingga dengar bagaimana Opa percayakan perusahaannya pada Jayden, orang yang belum lama dia temui karena sudah diselamatkan Opa merasa berhutang nyawa, apakah perjanjian yang Natalies ucapkan tadi juga berhubungan dengan nyawa?
Jika diingat lagi, empat tahun yang lalu Jingga memang pernah dengar Bagas kecelakaan, apakah semua itu ada hubungannya.
Kepada siapa Jingga bisa tanyakan tentang hal ini, harus bagaimana Jingga menghadapinya. Air mata pada akhirnya luruh lebih awal, jadi yang pertama ungkap seberapa putus asanya Jingga.
Sibuk menerka buat Jingga tidak sadar Mbak sekar sejak tadi memanggilnya, "Non," ulangnya kali ini sambil tepuk bahu Jingga pelan, dan berhasil buat Jingga sadar.
"Eh iya kenapa Mbak?" tanya Jingga segera usap air matanya.
Beruntung Mbak sekar bukan orang yang harus tau urusan oranglain, dia melihat Jingga menangis, dia meringis tapi hanya ungkap tujuannya,"Jiva nangis kayanya lapar."
Jingga mengagguk, dia segera berjalan untuk tenangkan Jiva sebelum Raga ikut terbangun.
Jiva dan Raga, punya arti berbeda namun saling berkaitan. Jiva berarti batin, sedang Raga adalah fisik. Keduanya harus bersatu agar ada kata hidup. Dan bagi Jingga, hidup disini adalah tentang harapannya, tentang dirinya sendiri.
Jingga tidak tau akan selama apa tangisnya jika saat ini di depannya tidak ada Jiva dan Raga. Jingga tidak tau akan selarut apa Jingga memikirkan masalahnya jika tidak ada mereka. Melihat mereka saja mampu buat bebannya sedikit berkurang, apalagi Jingga lihat Jiva menarik sudut bibirnya sedikit membentuk lengkung sebuah senyum tipis yang lucu setelah selesai menyusu, padahal matanya terpejam buat Jingga terpana, senyum sederhana yang indah, dia merasa anaknya sedang ucapkan terima kasih atau entah sedang menghibur Ibunya.
"Nak kamu tadi nangis loh, udah kenyang jadi senyum ya?" tanya Jingga yang sejak anak di kandungan memang biasakan ajak mereka bicara. Mereka memang tak menjawab, tapi tetap merasa memyenangkan.
Berbeda dengan jiva yang kembali tenang setelah menyusu, sedang Raga sejak tadi masih tertidur pulas, tidur yang damai tanpa terganggu suara kencang tangis saudaranya.
"Sayang, Kakaknya bangun kok masih tidur?" gumam Jingga pelan, berusaha menahan gemas untuk tidak cubiti pipi Raga yang lucu.
"Bangun yu, kita main sebentar terus mandi biar wangi lagi." Jingga bilang begitu tapi nyatanya menidurkan Jiva kembali sangat pelan agar tidak mengganggu tidurnya.
Keduanya tidur bersisian dengan tenang, buat Jingga tak bisa alihkan pandangan. Buah hati, harta titipan Tuhan yang paling berharga, Jingga tak penah bosan hanya untuk perhatikan mereka yang sedang tidur, pusat dunia Jingga.
Jingga berusaha mengukir senyum, jadi apa yang harus Jingga khawatirkan jika hal yang dia anggap dunianya masih ada di hadapan, Jiva dan Raga sebuah penguat dan obatnya.
Mungkin kehilangan hal lain akan buat Jingga patah, tapi Jingga yakini dia tidak akan benar-benar hancur selama dua manusia lucu itu ada di sisinya.
"Mama Bahagia punya kalian," ujar Jingga sungguh-sungguh, di usap air mata yang menetes di sudut, berusaha yakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.
Jingga mengisi waktu sorenya dengan memunggu anaknya bangun sambil tata baju-baju anaknya yang sudah Mbak Sekar cuci bersih dan setrika. Baru setelah itu memandikan mereka secara bergiliran, dia juga sempatkan berkeliling rumah yang sudah lama tidak dilakukan, sekedar mengecek untuk mengisi waktu agar tidak bosan. Sampai tak terasa sore hampir berganti malam, cek kembali kedua anaknya yang sudah terlelap dan biasa bangun di tengah malam, waktu seperti ini buat Jingga keluar lagi dari kamar si kembar untuk berdiri di balkon lantai dua rumahnya hanya untuk tatap langit biru gelap khas matahari sudah tenggelam.
Sebuah kenangan muncul, tentang bagimana Bagas coba yakinkan Jingga buat perasaannya melambung tinggi dan terlanjur percaya. Tentang bunga dan janji untuk jalani bahagia hanya berdua, jadi janji siapa yang kedepannya akan Bagas tepati, janji pada Jingga atau pada perempuan tadi.
Sedang sibuk melamun Handphone Jingga berbunyi tanda sebuah pesan masuk dari Bagas yang mengatakan dia punya banyak kerjaan, akan pulang larut dan menyarankan Jingga untuk tidak menunggunya.
Pekerjaan ya? Apakah pekerjaan yang Bagas maksud bersangkutan dengan Natalies. Jingga tak bisa menahan diri sampai mulai berprasangka macam-macam, karena kepercayaan Jingga pada Bagas sudah berkurang, entah sampai kapan pria itu akan buat Jingga kebingungan.
Menatap langit lagi, dengan pemikiran matang pada ahirnya Jingga pilih menghubungi Opa untuk minta nomor telpon asisten Bagas. Bersyukur tidak ditanyai macam-macam, Jingga segera mencoba hubungi Asisten Bagas lewat pesan namun tak segera dapat jawaban.
"Saya sudah pulang, Pak Arjie tidak di kantor. Terakhir saya diperintahkan untuk pesan kamar hotel."
Jika tadi Jingga berpikir ada epek petir, kali ini rasanya ada angin puting beliung yang berusaha menarik jiwa Jingga dari tubuhnya. Dia terduduk lemas dengan isak yang tidak bisa dibendung.
Urusan kantor apa yang harus di selesaikan di dalam kamar hotel. Apa Bagas tidak berpikir Jingga akan semudah ini mengetahuinya. Pada akhirnya rasa sedih itu berubah jadi kemarahan yang tak lagi bisa Jingga redam.
Jingga berjalan tergesa menuju kamar anaknya, kali pertama akan mengajak mereka pergi buat Jingga banyak pertimbangan harus bawa apa. Dia sebenarnya tak tega membawa keduanya untuk hal seperti ini, tapi Jingga tidak bisa tinggalkan apalagi titipkan pada siapapun. Dia mau selesaikan masalahnya sendiri.
Selesai siapkan keperluan anaknya Jingga segera berganti pakaian juga berdandan. Menatap pantulan dirinya di cermin bersama kedua anaknya, Jingga yakinkan sendiri bahwa mereka lebih pantas Bagas pilih. Tapi Jingga tak pernah mau jadi pilihan, ambil salah satu tas dan tata dompet, handphone dan keperluannya, mata Jingga yang lihat beberapa kartu jadi ingat sesuatu, gaji Bagas dia yang pegang, rumah juga atas nama Jingga. Keluar dari rumah, Jingga perhatikan sekelilingnya lalu bergumam, "setelah ini, bahkan Lo bakal kehilangan semuanya Bagas."
Tbc
Mode ketemu pelakor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Argumen, Jihoon x Heejin
TerrorDari sahabat, jadi teman hidup. Mampukah keduanya menjalani peran masing-masing?