Kedua anak Duke Laston sudah kembali ke kediaman mereka sejak satu jam yang lalu. Cukup asik juga berbincang dengan Levon tapi dengan Liezel tidak. Sejak Liezel tau kalau Rei sering bermain dengan Rei Liezel tampak tidak suka dan sampai keduanya kembali Liezel menatap Ariastella seperti ingin menguliti Ariastella hidup-hidup.
Anak kecil itu tidak sadar atau tidak tau kalau umur Rei lebih dari seratus tahun meskipun sekarang umurnya baru tujuh tahun. Itu perbedaan umur yang gila.
Atau mungkin otak Liezel memang ada kesalahan hingga bisa jatuh cinta pada Kakek-kakek seperti Rei.
"Aku penasaran."
Rei melirik, penyihir yang sedang memakan biskuit dengan santai itu kembali fokus pada beberapa lembar kertas yang sedang ia baca.
"Bagaimana penampilanmu sebelumnya?"
Rei mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa?"
"Ya, kau lihat saja si Liezel itu. Apa yang bisa membuat dia jatuh cinta pada Kakek-kakek?"
"Jangan bilang aku Kakek-kakek." Rei meletakkan kertas yang ia pegang, penyihir itu mendengkus. "Entahlah, kalau tidak salah dulu aku hanya pernah menolongnya. Setelah itu dia menempel terus padaku seperti lem, Kakaknya kelihatan tidak suka dengan itu. Aku juga masih waras, siapa yang mau dengan anak kecil seperti gadis itu."
"Kau hanya perlu menunggu dia besar, kan? Umur hanya angka." Ariastella terkekeh, keduanya berada di balkon perpustakaan. Udara sore ini terasa sejuk karena itu Ariastella memutuskan untuk sekedar memakan camilan dan bercerita di balkon.
"Tidak. Terimakasih." Rei memakan lagi biskuit yang ada di piring. "Oh, jangan terlalu dekat dengan mereka. Ayah mereka licik, anaknya tidak akan jauh beda."
"Bukannya itu agak berlebihan? Apa yang bisa dilakukan anak kecil? Mereka bahkan belum sepuluh tahun."
Rei berdecak. "Menurut saja. Kenapa kau selalu saja melawan?"
Ariastella mendengkus. "Kau menyebalkan."
"Terimakasih kembali."
***
Hari ulang tahun Ayah dan Pamannya bulan depan, yang artinya akan ada acara lagi. Tapi semenjak ada kejadian Ariastella yang terluka karena penjagaan Istana yang melemah. Acara ulang tahun itu akan dipindahkan ke Istana lain.
Ada beberapa Istana di tempat ini, satu Istana Utama yaitu yang Ariastella tinggali sekarang. Istana Ratu, Istana Putri dan Istana Pangeran. Tapi semua itu kosong, lebih tepatnya tidak ada yang meninggali. Kecuali para pelayan. Sebenarnya Ariastella harus tinggal di Istana Putri, tapi Ayahnya tidak mau. Jadi biarkan saja.
Istana Ratu menjadi pilihan utama, Istana yang sedikit berjarak dari Istana Utama. Letak Istana-istana itu sendiri berada di satu petak tanah yang sangat luas. Ada sekitar lima ratus meter jaraknya dari satu Istana ke Istana lain. Semua di pisahkan oleh hutan yang mengelilingi seluruh area Istana yang luas. Yang paling besar tentu saja Istana Utama tempat Raja tinggal.
Istana Ratu berada di sebelah barat. Istana yang ukurannya tidak sebesar Istana utama. Tapi tetap bisa dikatakan besar. Istana Ratu lebih banyak taman dan bunga-bunga. Ada taman mawar besar disana, Ariastella langsung jatuh cinta pada taman itu.
Hari ini mereka mengunjungi Istana Ratu, selain untuk mengecek lokasi acara nantinya juga untuk melihat-lihat. Ariastella tidak pernah keluar dari area Istana Utama, jadi ini kesempatan baik.
Pelindung yang ada di Istana Utama ada juga di Istana Ratu, tapi jika berada di Istana Ratu kemungkinan adanya kejadian yang sama dapat di minimalisir karena kejadian itu terjadi setelah acara selesai, yang artinya mungkin saja ada orang yang sudah masuk ke setiap tempat yang ada di Istana saat acara berlangsung tetapi tidak ada yang tau. Istana Ratu tidak di tinggali oleh orang-orang penting jadi tidak akan jadi masalah.
Awalnya Ariastella kira akan ada Putri yang tinggal di Istana Ratu, mungkin lebih mirip di jual pada Raja demi kepentingan negara. Tapi tampaknya Ayahnya tidak berurusan dengan hal seperti itu, atau belum. Atau ada tapi mereka semua sudah tinggal nama.
"Kau suka?"
Ariastella menoleh dia tersenyum, mengangguk dengan semangat. "Cantik."
"Kalau kau mau taman ini bisa di pindahkan ke depan kamarmu."
Lihat betapa gilanya manusia berstatus Ayahnya ini, bisa-bisanya dengan mudah mengatakan hal seperti itu.
Ariastella menggeleng cepat. "Tidak perlu Ayah, aku bisa kemari dengan Rei kalau aku mau."
Kaillos diam, lalu mengangguk. "Katakan saja kalau kau mau sesuatu." Kaillos menepuk puncak kepala Ariastella sebelum berjalan menuju Cassiel yang sedang membicarakan beberapa hal dengan kepala pelayan.
"Tuan Putri."
Ariastella berlari ke arah Loria, dia tadi mengatakan kalau dia haus jadi Loria pergi untuk mengambil segelas air untuknya. Enak juga jadi anak Raja, mau apa tinggal bilang dan semua ada di hadapannya.
Meraih segelas air dan duduk di kursi yang di berikan oleh salah satu penjaga. Cuaca hari ini lumayan terik, dari tadi sebenarnya dia sudah kepanasan tapi berhubung bunga-bunga itu lebih menarik perhatiannya dibandingkan rasa panas yang menusuk, dia akhirnya hanya diam saja. Dia sempat mengeluh, tapi pada Loria kalau sampai Ayahnya tau bisa jadi masalah baru.
"Kepanasan, hm?" Pamannya tersenyum, dia mengangkat Ariastella ke gendongannya. "Kau tidak bermain saja dengan Rei?"
Ariastella menggeleng. "Rei bilang dia sibuk."
Pamannya ini sangat senang menggendongnya, katanya Ariastella mirip boneka hanya saja bernapas. Dia lupa kalau Ayah dan Pamannya berbagi DNA yang sama, sebenarnya mereka berdua tidak ada bedanya. Sama saja.
"Kau sangat mengemaskan." Cassiel mencium pipi Ariastella gemas. Untung saja Ariastella sudah terbiasa dengan tingkah Pamannya ini, walau kadang dia kaget dengan tingkah tiba-tiba Pamannya. Untung saja jiwa orang dewasanya tidak bertindak dan tiba-tiba melemparkan satu tamparan ke wajah Pamannya, ingat dia masih anak berumur enam tahun.
Yang membedakan Ayah dan Pamannya hanya satu, Pamannya bisa menempel padanya di publik--di luar--tapi sang Ayah hanya akan bertingkah seperti itu saat di ruang lebih privat. Di depan publik akan bersikap seperti biasa saja.
"Tidak mau!" Ariastella mendorong wajah sang Paman. Cuaca sedang sangat panas, siapa orang yang mau di cium-cium saat cuaca terik seperti ini. Bahkan kalau bisa dia sudah melompat turun dari gendongan Pamannya kalau saja dia tidak membutuhkan kakinya lagi.
Cassiel tertawa. "Kau sangat mengemaskan." Dia memberikan satu lagi ciuman di pipi Ariastella yang membuat gadis kecil itu berteriak. Tapi Cassiel hanya tertawa.
"Ayah! Tolong!"
Ini senjata terakhir, biasanya kalau Pamannya mulai bertingkah dia akan meminta pertolongan sang Ayah. Walaupun saat dia berlindung pada Ayahnya akan sama saja, setidaknya tidak separah saat dia berada di Pamannya. Pamannya ini gila, kadang-kadang. Kenapa tidak menikah dan mendapatkan anak saja, kenapa harus Ariastella yang kena.
Kaillos meraih Ariastella, atensinya masih berada di kepala pelayan walaupun tangannya meraih Ariastella ke gendongannya.
Cassiel tertawa, dia mengacak rambut Ariastella gemas. Padahal Ariastella sudah memberikan tatapan tidak bersahabat. "Kau mengemaskan!"
Inilah kenapa dia merasa lebih aman bersama sang Ayah yang hanya diam saja walau kadang bertingkah gila, daripada Pamannya yang selalu bertingkah gila.
Tapi lebih baik lagi kalau dia menjauh dari kedua manusia ini, mereka berdua sama-sama gila bisa-bisa Ariastella jadi gila juga.
. . .
Holaaaaa Ariastella balek lagi
Cerita ini santai sih, kayak konfliknya nggak terlalu parah-parah banget. Biasa saja.
Kayaknya, nggak tau lah belum masuk inti konflik.
Tapi nggak tau ya kalau nanti, soalnya kalo konfliknya nggak kayak berat rasanya nggak seru 🤣
Itu aja, selamat menunggu lagi, mungkin ini bakal update cepat sih. Nggak nyampek dua minggu sekali, tapi lihat aja nanti.
Bye-bye
KAMU SEDANG MEMBACA
TAWS (2) - Ariastella
FantasiThe Another World Series (2) - Ariastella Cerita berdiri sendiri. Sebuah kutukan membuat setiap anggota kerajaan baru akan mendapatkan 'ciri khas' dari keturunan Raja saat umur keenam. Dia hanya gadis biasa yang katakan saja bereinkarnasi atau hi...