Nafas Ariastella memburu, matanya menatap ke arah Pendeta yang seperti membacakan doa.
"Yang Mulia, anda baik-baik saja?" Salah satu Pendeta bertanya, membuat Pendeta lain yang membacakan doa berhenti. "Apa yang anda rasakan, Yang Mulia?"
Ariastella menatap tangannya, dia bisa merasakan sesuatu yang seperti mengalir ke seluruh tubuhnya.
"Ini sihir?"
"Itu aliran Mana. Setiap manusia memilikinya, namun ada yang kuat dan lemah. Yang Mulia harus melatih aliran Mana agar tidak terjadi ledakan Mana yang berakibat fatal."
"Baik, terimakasih Pendeta." Ariastella mengangguk.
Pendeta lain membantu Ariastella keluar dari danau kecil tersebut, lainnya memberikan jubah pada Ariastella dan mengantarkan untuk berganti pakaian.
Ariastella tersenyum saat Ayahnya datang setelah ia berganti pakaian.
"Bagaimana?" Kaillos mengusap kepala Ariastella. "Semua baik-baik saja, kan?"
"Baik, Ayah." Ariastella mengangguk.
Yang ia lihat sebelum ia bangun sepertinya adalah ingatan terakhir yang ibunya miliki sebelum meninggal. Dan dari situ Ariastella tau bagaimana dia hadir di dunia ini.
Sepertinya wanita itu tidak mengantar Ariastella ke gereja dengan baik, pasalnya Ariastella ditemukan di danau yang sangat berjarak jauh dari hutan yang ia kira-kira berada di Ibu Kota--dulu.
Ada satu lagi yang ditunjukkan pada Ariastella, tapi untuk yang kedua ini dia akan diam. Dia takut.
Air dari pohon, yang katanya berasal dari salah satu akar pohon kehidupan memiliki manfaat yang sangat banyak, ya salah satunya menyembuhkan apapun. Dan juga dapat membuka yang tidak terlihat.
Contohnya seperti Rei, dia tau ada sesuatu yang salah dengan sihir Ariastella tapi dia tidak tau dimana letak kesalahan itu, dengan air suci itu semua jadi lebih transparan.
Sebuah penginapan yang tidak begitu jauh dari Kuil adalah lokasi mereka sekarang, Ariastella tampak agak kelelahan setelah melakukan ritual.
Menunduk, menatap tangannya. Ariastella terdiam. Seperti ini ya rasanya memiliki Mana?
Rasanya biasa saja sejujurnya, kalau kata Rei. Tapi rasanya beberapa kali Ariastella seperti tersengat aliran listrik kecil yang tidak begitu mengganggu.
Katanya Ariastella harus berhati-hati, karena setelah sekian lama baru jalan Mana tubuhnya dibuka dia belum boleh langsung menggunakan sihir. Bisa saja sihirnya meledak karena tubuhnya belum beradaptasi.
Sepertinya Ibunya seperti memiliki kekuatan untuk melihat masa yang akan datang, buktinya sihir Ariastella langsung dikunci agar tidak dibuka.
Tapi kini sihirnya telah terbuka, semua aliran Mana di tubuhnya telah tersambung dan mengalir.
Sekarang Ariastella mengerti kenapa Ayahnya sampai menghabisi semua isi Istana. Istrinya mati dengan cara mengenaskan, bagaimana bisa dia tidak jadi dendam.
Bahkan dulu hampir membuat Ariastella meregang nyawa karena ketakukan dari masa lalu. Itu agak masuk akal sekarang.
Walau Ariastella sama sekali tidak membenarkan tindakan gila sang Ayah.
"Apa rasanya tidak nyaman?" Ceilo, penjaga Ariastella yang sejak tadi berdiri tidak jauh dari Ariastella yang diam menatap tangannya sendiri.
Ariastella tersenyum. "Tidak. Hanya ini hal baru, jadi aku butuh sedikit penyesuaian."
Ceilo tersenyum. "Master pasti akan membatu Tuan Putri."
Ariastella mengangguk. Ia menunduk, kembali menatap tangannya. Bagaimana ini?
Sekarang dia di hadapkan oleh beberapa pilihan sulit. Tapi jika penglihatan itu adalah yang Ibunya tinggalkan maka mungkin di masa depan itu bisa terjadi.
Menutup matanya, Ariastella tidak bisa berpikir jernih.
"Kau seperti menanggung beban satu negara saja."
Ariastella membuka matanya, menatap Rei yang duduk di hadapannya. Seperti biasa, walau di kota lain pun Rei akan tetap memakan buah, sekarang yang di makan Rei adalah buah pir. Penyihir itu tampak menikmati buah tersebut.
"Itu Ayahku." Ariastella mendengkus. "Aku kira Rei sedang bersama Ayah."
"Ayahmu pergi ke Kuil lagi." Rei memakan pir ditangannya. "Itu tidak ada hubungannya denganmu, dia hanya ingin pergi."
Ariastella menatap Rei agak lama, sampai membuat penyihir itu memberikan tatapan bertanya karena Ariastella menatapnya sangat lama.
"Apa Ibuku bisa melihat masa depan?"
Rei yang baru saja menggigit buah pir ditangannya langsung berhenti. Dia menatap Ariastella.
"Apa yang kau lihat?"
Ariastella menggeleng. "Tidak aku hanya melihat bagaimana Ibuku pergi.. Dia.. Penuh dengan darah.. "
Rei berdecak. "Jangan ingat hal buruk."
"Aku ditunjukkan sejak awal, dari Ibu yang berlari ke dalam hutan dan melahirkanku, tapi dia memberikanku pada orang lain, meminta untuk aku dibawa ke gereja terdekat, tapi tampaknya aku tidak benar-benar dibawa ke gereja. Ibu yang merubah kelinci menjadi bayi yang baru lahir, dan Ibu yang dibunuh oleh orang-orang yang memakai lambang Istana.. Aku melihat semua." Ariastella menunduk, memainkan jarinya. "Rambut Ibu berwarna emas, kan? Aku sempat melihat cermin, dia cantik. Matanya berwarna biru. Pantas saja Ayah jatuh cinta pada Ibu."
Tes!
Tanpa sadar, air mata mengalir di pipi Ariastella. Entah kenapa dia sedikit merasa ingin bertemu Ibunya, padahal dia tidak pernah sekalipun merasakan ini selama dia ada di dunia ini. Dia hanya ingin tau pada awalnya, tapi setelah melihat sudut pandang Ibunya dia sedikit merasa sedih.
Di dunianua yang dulu dia juga tidak begitu merasakan bagaimana memiliki Ibu, dan kini dia bahkan tidak pernah melihat wajah Ibunya. Gambarpun tidak.
"... Kenapa dia harus pergi.."
Rei berdiri, mendekat pada Ariastella begitu juga Ceilo yang tampak panik karena Ariastella yang tidak pernah bersikap seperti ini.
"Tenanglah." Rei berjongkok disamping Ariastella. Memegang tangan gadis itu yang basah karena air mata. "Semua sudah berlalu."
Ariastella hanya diam, menatap Rei yang menatapnya. Ceilo tampak panik, dia bahkan menatap Ariastella khawatir.
"Itu, kenapa Ayah melakukan pembantaian itu?"
Rei mengangguk. "Ya. Istri dan anaknya seperti itu, bagaimana dia bisa tenang."
Ariastella mengangguk. "Aku hanya tiba-tiba merindukannya saja. Tanpa sadar."
"Tenanglah, semua sudah baik-baik saja." Rei mengusap air mata Ariastella yang masih mengalir di pipi gadis itu. "Kau hanya perlu hidup dengan baik, jangan pikirkan hal lain."
Ariastella terkekeh. "Kau bisa baik juga, Rei."
"Hentikan, sebelum aku benar-benar akan mendorongmu dari kursi." Rei berdecak. Walaupun seperti tidak peduli, tapi nyatanya Rei peduli pada Ariastella. Walaupun kata-katanya tidak pernah mendeskripsikan itu.
"Tuan Putri," Ceilo tampak menatap Ariastella cemas.
"Aku baik-baik saja." Ariastella tersenyum. "Hanya sedikit mengeluarkan merasa emosional saja."
Ceilo mengangguk. Dia memberikan sapu tangan pada Ariastella untuk mengelap air mata Tuan Putri itu.
"Apa hanya itu yang kau lihat." Rei berdiri, dia menatap Ariastella yang perlahan mengangguk. "Ibumu bisa melihat masa depan, tapi tidak selalu. Dia hanya bisa melihat sekali, dan tidak pada semua orang."
Ariastella mengangguk. "Aku hanya tidak sengaja mendengar ada yang mengatakan itu diingatan Ibu, itu kenapa aku bertanya."
Rei mengangguk. "Tidak perlu pikirkan hal itu. Lakukan apa yang mau kau lakukan saja."
Tersenyum, Ariastella mengangguk. "Baik, Rei."
. . .
29 Agustus 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
TAWS (2) - Ariastella
FantasyThe Another World Series (2) - Ariastella Cerita berdiri sendiri. Sebuah kutukan membuat setiap anggota kerajaan baru akan mendapatkan 'ciri khas' dari keturunan Raja saat umur keenam. Dia hanya gadis biasa yang katakan saja bereinkarnasi atau hi...