50.

866 125 3
                                    

Malam semakin larut. Namun, isi kepala Ariastella masih sangat ribut. Terlalu banyak kemungkinan dan spekukasi yang membuat kepalanya terus berpikir.

Dia berada di tenda para penyihir, tepatnya penyihir medis. Awalnya memang para penyihir itu agak kaget karena tidak menyadari jika orang itu adalah Putri mereka. Mereka cukup ramah, walau ada beberapa yang tidak terlalu menyukai kedatangan Ariastella yang katanya memiliki imej Tuan Putri yanh perlu dilindungi, bahasa lainnya seharusnya Ariastella tidak ada disini.

Ariastella tidur beralaskan sebuah tikar, dengan Tigera yang menjadi bantal dan sumber kehangatan yang ia dapatkan. Tidak ada yang benar-benar tidur, namun Ariastella harus tidur sekarang. Mana dalam tubuhnya sempat meledak tadi, Mana ini tidak pernah stabil entah bagaimana, itu membuat Ariastella merasa lelah lebih cepat.

Mengusap bulu Tigera yang telah tertidur, Ariastella menghela nafas pelan. Kenapa orang ini harus terjadi? Semua bertambah rumit saja.

"Oi."

Ariastella yang dasarnya memang tidak bisa tidur menoleh. Dia malas berbicara dengan orang itu, paling-paling tidak beda jauh dari orang-orang yang mengatakan Ariastella tidak seharusnya ada disini.

Laki-laki itu berjongkok di sebelah Tigera yang terbangun. Rei mengusap bulu Tigera yang kembali tertidur. "Kau pura-pura tidak mendengarku, hm?"

"Pergilah Rei. Aku tidak mau bicara apapun." Ariastella menoleh ke arah lain, dia tidak ingin melihat Rei. Mata Ariastella malah mendapati para penyihir yang tampak berbisik, ternyata selain berperang dengan para penyihir hitam dia harus berperang dengan penyihir disini juga.

"Apa begitu cara kalian memperlakukan Putri kalian?"

Suara lantang itu membuat Ariastella refleks menoleh pada Rei. "Hentikan, Rei."

"Kalian ada untuk melayani dia, jangan berikan tatapan seperti itu." Rei menatap tajam para penyihir yang berada tidak jauh dari tempat mereka. Para penyihir itu adalah penyihir menara, bahkan masih baru, mereka memang selalu bertingkah, itu kenapa Rei makin sakit kepala melihat penyihir-penyihir itu.

Ariastella menarik penutup kepala jubah yang ia gunakan. Rei sepertinya memperburuk saja.

Kali ini Rei ikut duduk di sebelah Ariastella, dia memasang pelindung kecil untuk menghalau suara dari luar dan menghalau suara mereka keluar.

"Tidurlah Rei, kau pasti kelelahan." Ariastella menggeser sedikit tubuhnya, hingga ia berada di dekat kepala Tigera yang tertidur. Ariastella tidak mau mengangkat kepalanya, dia hanya menempel pada kucing kesayangannya.

Rei menurut dia ikut berbaring dengan bersandar pada Tigera. "Apa yang membuat kau datang kemari? Disini berbahaya."

Helaan nafas panjang membuat Rei menoleh, sepertinya gadis itu benar-benar tidak mau membicarakannya.

Hening. Hanya terdengar suara nafas Tigera yang sepertinya kelelahan juga. Kucing besar itu ikut berperang juga, para prajurit bahkan memasangkan baju pelindung pada kucing itu.

"Ayahmu hampir gila memikirkan keadaanmu. Kau bisa tidur di tempat lain." Rei menoleh pada Ariastella yang menggeleng pelan. "Sebagai gurumu aku cukup bangga karena kau bisa banyak jenis sihir, padahal baru berlatih sebentar."

Ariastella melirik Rei. "Apa itu untuk memuji atau menyindirku?"

Rei menggeleng. "Sebagai gurumu aku memuji."

"Sebenarnya Rei mungkin akan marah." Rei memberikan tatapan bingung. "Aku mengambil beberapa ramuan dari rumahmu yang disumur."

Rei mengerjap beberapa kali sebelum menghela nafas. "Ya, ambil saja."

TAWS (2) - AriastellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang