47.

1.4K 167 1
                                    

"Arisa."

Ariastella menoleh, dia tersenyum. "Ayah tidak sibuk?"

Kaillos hanya mendekat dan duduk di hadapan Ariastella yang tengah membaca beberapa buku. "Kau tertarik dengan kutukan?"

Menatap buku-buku yang ada di mejanya Ariastella tersenyum kecil. "Dulu saat masih kecil aku mendapatkan kutukan, jadi aku penasaran sekarang."

Kaillos mengangguk pelan. Dia hanya menatap Ariastella yang mencatat beberapa hal dari buku yang dibacanya di sebuah buku lain. "Arisa."

Ariastella yang sedang mencatat menoleh. "Ada apa, Ayah?"

Helaan nafas panjang tang terdengar seperti membawa sebuah beban yang begitu berat berasal dari Kaisar Cassiopeia yang terlihat agak kelelahan. "Jika suatu hari kau diminta untuk pergi berlindung, pergilah. Ini semua demi kebaikanmu."

Ah, perang ya?

Ariastella tersenyum, mengangguk. "Baik, Ayah. Akan aku lakukan."

Semudah itu? Kaillos agak tidak percaya dengan jawaban Ariastella yang langsung setuju dengan apa yang ia katakan. Walaupun dia juga berharap Ariastella menurut, namun secepat itu? Semudah itu?

"Apa ada yang kau butuhkan?" Kaillos menatap Ariastella. Rambut silver itu mengingatkan Kaillos pada adiknya yang telah pergi. "Gaun? Sepatu?"

"Sebenarnya aku punya sesuatu yang aku inginkan." Ariastella menatap Kaillos. "Aku tidak yakin ayah akan setuju, walaupun aku tau Ayah sudah tau aku sering melakukannya."

"Apa itu?"

"Pedang. Aku mau punya pedang sendiri." Ariastella tersenyum lebar, lebih mirip sebuah cengiran karena dia tidak berharap Ayahnya akan setuju. Itu akan sulit. "Aku berlatih dengan Ceilo dan Rei, tapi selama ini hanya memakai pedang kayu. Aku mencoba beberapa pedang lain tapi rasanya seperti tidak cocok denganku. Aku lama ingin mengatakannya tapi Ayah keliahatan sangat sibuk."

Kaillos mengangguk pelan. "Baiklah."

Mata Ariastella langsung berbinar. "Benarkah?" Anggukan pelan dari Ayahnya membuat Ariastella melompat dari kursinya dan memeluk Ayahnya erat.

"Terimakasih, Ayah!"

Kaillos tersenyum kecil, dia mengusap kepala Ariastella. "Sama-sama."

Ariastella masih dengan senyuman kembali ke tempatnya. Dia akhirnya memiliki pedangnya sendiri.

"Kau berlatih terus, kan? Sangat keras." Kaillos memanggil pelayan dan meminta di bawakan beberapa cemilan dan teh.

"Ya, aku akan jadi Kaisar yang kuat. Aku harus berlatih sejak sekarang kalau mau itu terjadi." Ariastella tersenyum. "Ayah tenang saja."

Ini masih pagi, cahaya matahari belum terlalu terik. Secangkir teh dan beberapa cemilan kini menggantikan posisi buku-buku yang tadinya ada di atas meja.

"Ayah tau mengenai kutukan darah?"

Kaillos yang sedang meminum teh mengangguk pelan. "Itu kutukan yang terikat melalui darah. Kutukan itu digunakan oleh penyihir untuk membunuh musuh mereka."

"Aku membaca tentang itu tadi, katanya kutukan itu bisa membuat orang lain mati dengan mudah." Ariastella memakan kuenya. "Aku mau bertanya pada Rei tapi dia entah dimana. Karena Ayah disini jadi aku bertanya pada Ayah saja."

Kaillos mengangguk pelan. "Contohnya seperti teh ini. Anggap saja teko teh ini adalah orang yang membagikan kutukan, kutukan disini adalah darah yang dimaksudkan, hasilnya adalah teh ini. Lalu cangkir adalah target dari si teko, teh sudah ada di dalam tiap gelas maka teko itu sudah memengaruhi si gelas karena telah berada di dalam gelas tersebut." Kaillos menunjuk teh yang berada di dalam gelas mereka. "Setelah berada di dalam gelas teh itu tidak bisa kemana-mana lagi, satu-satunya cara adalah dengan menumpahkan isinya, namun jika itu darah tidak akan semudah itu. Si teko jadi memiliki kuasa pada si gelas karena teh ada di dalamnya. Mudahnya begitu."

"Wah, jika itu terjadi pada manusia akan sedikit merepotkan berarti ya." Ariastella meminum tehnya. "Bayangkan kalau si pemilik darah itu mengatakan bahwa kutukannya harus tunduk padanya. Jadi semua orang akan tunduk padanya."

"Ya. Itu mudahnya. Namun orang-orang tidak akan terkecoh semudah itu. Apalagi kutukan ini banyak digunakan dalam perang. Orang-orang tidak akan terpengaruh." Kaillos meminum tehnya. "Kau tertarik sekali dengan ini, ya?"

Ariastella menggeleng. "Itu cukup menarik jadi aku membaca beberapa buku tentang itu."

"Kau mau jadi penyihir juga?"

"Tidak." Ariastella menggeleng cepat. "Aku tidak mau, nanti aku akan jadi seperti Rei. Aku tidak mau!"

Kaillos tersenyum. "Baiklah, calon Kaisar masa depan."

***

Tidak banyak yang terjadi beberapa hari ini. Malah terasa tenang, tidak ada latihan untuk beberapa hari ini karena Ceilo dan Rei di berikan tugas. Mungkin mengenai penyihir hitam.

Pedang yang di janjikan sang Ayah akhirnya tiba. Pedang itu lebih kokoh namun ringan, berbeda dengan pedang yang biasa Ariastella gunakan saat berlatih. Ini memudahkannya untuk bergerak.

Hari ini hujan turun sepanjang hari sampai Ariastella merasa bosan sendiri karena hanya berada di dalam kamarnya, walaupun dia memang sengaja mengunci diri di dalam dan berlatih beberapa sihir serta mencoba untuk mengalirkan sihir ke pedang barunya walau hasilnya tidak begitu baik.

"Tigeraaaa.. "

Ariastella memanggil harimau peliharaannya yang sejak tadi berbaring di aras sofa dengan malas. Sepertinya sama malasnya dengan Ariastella yang gagal mencoba beberapa trik sihir, agak menyebalkan tapi dia tidak seberbakat itu jadi dia tidak bisa berharap langsung sekuat itu.

Tigera mendekat dan menggesekkan kepalanya pada Ariastella yang terkekeh pelan sambil memeluk peliharaannya itu.

Kejadian di pesta Liezel kala itu membuat penjagaan Istana lebih diperketat, demi menjaga keselamatan semua yang ada di dalamnya.

Rosie, wanita itu sepertinya sangat berbahaya. Bisa berbaur dengan manusia biasa dan bahkan bisa menghilang begitu saja. Apa sekuat itu?

Ariastella tidak yakin bisa melawan orang sekuat itu. Ayah dan Rei bahkan seperti tidak mau berurusan dengan orang itu. Walau tidak bisa dipungkiri di masa lalu mereka mungkin dibantu oleh orang-orang itu, walau dengan imbalan.

Agak menyebalakan, tapi bagaimana lagi?

Menghela nafas, gadis itu berdiri dan berjalan menuju jendela. Matanya menangkap sosok yang ia kenali, ternyata Rei dan Ceilo sudah kembali. Keduanya tampak menggunakan jubah yang terlihat basah karena air hujan.

Apa yang ada di pikiran Rei ya? Dia melarikan diri dari Rosie, berharap hidupnya akan tetap tenang seperti itu namun malah harus kembali berurusan dengan orang itu.

Tak!

Sebuah pesawat kertas mengenai jendela Ariastella, hampir saja jatuh ke bawah namun dengan sihir Ariastella dapat meraih pesawat kertas tersebut.

Mata Ariastella bergerak mencari siapa pengirimnya, matanya berhenti pada seseorang yang berada diantara hujan yang berdiri tepat di atas atap bangunan yang berhadapan dengan kamar Ariastella.

Aroma mawar langsung menyambut indra penciumannya saat ia memegang pesawat kertas tersebut.

Yang terhormat, Putri Ariastella.

Kita baru bertemu sekali tapi rasanya seperti Saya sudah menunggu begitu lama.

Kalau Putri tidak tau, akan saya beritahu. Putri adalah yang harusnya dibayarkan pada saya, tapi Kaillos tidak mau memberikanmu padaku.

Saya sebagai pengagih hutang yang baik kali ini akan sedikit jahat untuk mengambil utang tersebut.

Tenang saja, Yang Mulia. Semua akan baik-baik saja.

Saya hanya sangat berbaik hati hingga ingin Putri bertemu dengan Ibu Tuan Putri secepat mungkin.

Tidak perlu berterima kasih, itu kewajiban saya.

Isi dari pesawat kertas itu membuat Ariastella menarik ujung bibirnya. Perang akan pecah sebentar lagi.

. . .

18 Juni 2024

Tandai typo ya

TAWS (2) - AriastellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang