Menatap sekitar dengan mata bulatnya, gadis kecil itu memegang boneka di tangannya.
"Coba gitu dapat hidup yang enak." Gadis berumur lima tahun itu sedang duduk di pinggiran air mancur tengah kota. Tempat yang sering ia datangi belakangan ini.
"Hei, gadis aneh!"
Mata itu menatap malas tiga orang anak laki-laki yang mendekat padanya yang duduk dengan santai. Ya ampun bahkan di tempat kuno ini masih ada saja orang yang suka menindas.
"Lihat ibuku baru saja membelikan aku baju yang bagus!" Anak laki-laki berbadan agak gempal itu menunjukkan pakaian yang ia kenakan. Sebuah kemeja yang akhir-akhir ini sedang trend yang memiliki versi lebih mini untuk anak kecil.
"Aku tidak peduli!" Gadis itu dengan kesal menghempaskan air ke wajah anak laki-laki itu.
Basah dan kesal, anak laki-laki dengan wajah memerah itu menatap penuh amarah. "Dasar anak tidak tau asal-usulnya!"
"Jaga bicaramu!" Gadis kecil itu dengan kesal melempar boneka ditangannya ke wajah anak laki-laki itu.
Amarah yang semakin meningkat membuat anak laki-laki itu berjalan mendekat. Padahal disekiar ramai, tapi tidak satupun yang berniat membantu gadis kecil yang berakhir dengan terdorong kedalan kolam air mancur.
Rambut perak sepunggung itu basah, dengan baju cokelat yang ia kenakan basah kuyup. Untung dia segera berdiri, karena tingginya air kolam itu lumayan baginya yang masih berumur lima tahun.
"Dasar anak pungut!"
Gadis berambut perak itu mengepalkan tangannya kuat. Dia menatap anak laki-laki itu, lalu berjalan keluar dari kolam air mancur, dengan kuat mendorong tubuh berisi anak laki-laki itu hingga menabrak kedua temannya.
"Kau yang aneh, dasar gendut!" Gadis berambut perak itu mentap tajam, dia meraih bonekanya yang tergeletak di tanah sebelum berlari menjauh dari tiga anak yang sibuk menangis.
Dasar cengeng.
***
Mengalihkan pandangan dengan kedua tangan memegang boneka di belakang tubuh dan satu kakinya yang bergerak gelisah.
"Kau membuat masalah lagi dengan mereka?"
"Mereka yang mulai duluan, aku hanya duduk di air mancur. Mereka datang dan menggangguku, aku di dorong ke kolam." Gadis berambut perak itu hampir menangis saat menjelaskan hal itu.
Suster Ester, menghela nafas. "Hukumanmu besok bersihkan ruang tamu."
Gadis berambut perak itu hanya mengangguk lemas. Untunglah Ester tidak sekejam itu, ruang tamu yang tidak terlalu luas di gereja tempat ia tinggal bukanlah perkara sulit. Dia juga sering dapat hukuman yang satu itu.
"Arisa,"
Gadis berambut perak itu mengangkat kepala, menatap suster pengasuh di panti asuhan tempat ia tinggal.
"Masuk dan cepat mandi, hari mulai gelap." Arisa atau Ariastella, gadis itu mengangguk kecil dia berjalan melewati Suster Ester menuju tangga.
Ester menghela nafas, diantara tujuh anak panti yang ada di panti asuhan sekaligus gereja kecil, hanya Ariastella yang selalu ditindas, mungkin karena Ariastella yang paling kecil.
Gadis itu ditemukan oleh beberapa penduduk di danau saat umur gadis itu masih sangat kecil, di sebuah perahu kecil dengan tubuh masih berwarna merah. Tampaknya Ariastella saat itu di buang ketika baru lahir karena masih terlihat bekas pusar yang masih basah.
Para penduduk membawa Ariastella ke gereja dan sejak saat itu Ariastella bergabung dengan enam anak panti lainnya. Ariastella dari kata Auristella yang artinya Bintang Emas, itu nama yang pernah Ester baca disebuah buku, rasanya nama itu cocok dengan Ariastella.
"Suster." Ester menoleh, tersenyum pada Rene, yang merupakan anak paling tua nomor dua di panti. "Arisa diganggu lagi?"
Ester mengangguk pelan, dia menghela nafas. "Setelah menyelesaikan hukumannya ajak dia jalan-jalan, sepertinya dia perlu itu."
Rene mengangguk.
***
Hukumannya adalah membersihkan ruang tamu panti, untungnya dia sudah terbiasa. Walau dia masih kecil namun dia sudah dapat diandalkan.
Tentu saja. Sebenarnya Ariastella bukan dari tempat ini, bukan dari negara, benua atau pun dunia ini. Ya, mana mungkin dunia dengan teknologi tiba-tiba jadi dunia dengan sistim kerajaan modern tapi tidak ada teknologi? Apalagi internet. Bahkan masih menggunakan kereta kuda.
Apa ya dibilang, seperti kerajaan modern tapi tidak dengan teknologi. Mungkin faktor orang-orang yang dapat menggunakan sihir membuat teknologi tidak digunakan.
Sihir, hal itu yang membuat ia yakin dia bukan berada di tempat yang seharusnya, bukan di abad kapanpun di bumi. Memang dimana ada kerajaan modern tanpa teknologi tetapi memiliki sihir di dalam sejarah? Selama ia sekolah dia belum pernah mendengar hal seperti itu.
Dia berada di tubuh kecil ini sejak awal dia membuka mata, saat dia hanya dapat melihat siluet orang-orang yang berkerumun. Sampai saat dia bisa melihat dan menyadari jika ini bukan tubuhnya dan bukan dunianya.
Desa tempat Ariastella tinggal adalah desa yang lumayan berjarak dari pusat kota atau sebut saja peradaban modern, di desa ini sangat tertinggal. Bahkan yang memiliki sihir hanya sedikit di banding di kota yang kebanyakan bisa menggunakan.
Lima ah enam tahun dia sudah berada di tempat ini, di tumbuh dan besar dunia ini. Ariastella tidak tau bagaimana caranya dia bisa ada ditempat ini namun dia ingat jika ini memang bukan tempatnya.
Dia ingat hidupnya yang dulu meski dalam semua ingatan itu wajah setiap orang terlihat buram, kabur, tidak terlihat seperti ada kabut yang menutupi.
Yang ia ingat terakhir kali sebelum membuka mata dan menatap semua dengan kabur dan hawa dingin yang menggerogoti tubuhnya adalah tubuhnya yang terasa menabrak sesuatu yang keras, lalu semua berubah gelap.
Ia lupa namanya di kehidupan yang lalu, tapi dia ingat memiliki rambut hitam yang panjang. Dia berumur dua puluh tahun saat itu. Sepertinya dia ingin menyeberang menuju tempat ia belajar namun naas dia tertabrak. Tapi entalahlah, semua masih terlalu abu-abu.
"Sudah selesai?"
Ariastella menoleh, dia menatap Rene yang tersenyum dan berpakaian agak rapi.
"Rene mau kemana?" Semua yang berada di panti ini baik padanya, hanya penduduk desa saja yang agak membencinya karena menganggap dia anak dari hubungan gelap. Kalau iya kenapa juga? Dasar mulut tetangga.
"Mau ke kota. Mau ikut?"
"Mau!" Ariastella menatap Rene penuh semangat, namun wajahnya tiba-tiba murung. "Suster tidak akan mengizinkan aku pergi, aku sedang dihukum."
Rene tersenyum, dia mengambil lap di tangan Ariastella, membuat gadis kecil itu mendongak, menatap Rene. "Aku sudah bilang pada Suster, dia setuju."
"Benarkah?" Rene mengangguk, membuat Ariastella berteriak senang.
"Ganti baju, aku tunggu didepan."
Ariastella mengangguk dia bergegas untuk naik ke atas guna mengganti pakaiannya.
"Dia kelihatan senang."
Rene tersenyum. "Dia yang paling kecil disini, aku rasa itu wajar." Pendeta yang merupakan kepala gereja di desa tersebut tersenyum. "Belikan dia boneka baru, bonekanya sudah rusak. Dia menangis tadi malam karena itu."
Rene terkekeh. "Baik, Bapa."
. . .
Arisa kembali.
Gimana udah mulai penasaran dengan kelanjutannya? Cerita ini lebih santai sih dari yang sebelah 🤣
Sekali-sekali mau buat cerita nggak rumit.
Komen jangan lupa >_<
KAMU SEDANG MEMBACA
TAWS (2) - Ariastella
FantasyThe Another World Series (2) - Ariastella Cerita berdiri sendiri. Sebuah kutukan membuat setiap anggota kerajaan baru akan mendapatkan 'ciri khas' dari keturunan Raja saat umur keenam. Dia hanya gadis biasa yang katakan saja bereinkarnasi atau hi...