Saat Ayah dan Pamannya tau kejadian tadi, keduanya memarahi Rei yang agak teledor dan tidak memperhatikan keadaan.
Sebenarnya Rei merasakan kehadiran buruk, tapi dia tidak menyangka jika kehadiran buruk itu mengincar Ariastella. Dia kalap dan akhirnya menghancurkan banyak hal, walau si penyihir hitam itu hilang entah kemana.
Ariastella diam di dalam kamarnya, dia tidak berani mengganggu siapapun. Entah Ceilo, Rei, Ayah atau Pamannya. Dia yang salah disini.
Bahkan Rei dan Ceilo mendapatkan hukuman dan pengawal hilang-hilang milik Ayahnya juga.
Padahal ini salah Ariastella.
Dia juga tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini, dia hanya ingin jalan-jalan saja. Tapi malah terjadi hal buruk seperti ini. Dia jadi merepotkan orang lain.
Rei dihukum di dalam sumurnya, dia tidak boleh keluar untuk sementara waktu. Sedangkan Ceilo akan pergi ke tempat pelatihan prajurit untuk sementara waktu.
Ariastella berdiri, dia tidak bisa tidur kalau begini. Dia harus meminta maaf pada Rei, padahal Rei sudah melarang. Semua orang sudah melarangnya, tapi dia saja yang keras kepala.
Gadis dengan gaun tidur itu turun dari kasurnya, dia meraih kotak di bawah kasurnya. Kotak berisi tali. Beberapa pelayan sering bertanya apa isi kotak itu tapi dia melarang untuk dibuka, karena isinya bisa membantu dia untuk kabur. Seperti sekarang.
Ariastella mengikat tali tersebut di pembatas balkon kamarnya, dia meraih kain untuk membalut tangannya agar tidak terluka.
Dia jadi merasa nostalgia, dia jadi ingat kalau dulu dia pernah melakukan hal yang sama sampai tangannya berdarah. Itu saat dia meminta agar Ceilo diselamatkan.
Perlahan, Ariastella turun dari kamarnya yang berada di lantai kedua, dia hanya berharap tidak ada penjaga yang tiba-tiba muncul saja.
Untung saja dia sudah memperkirakan seberapa tinggi kamarnya jadi tali ini sangat pas, dia tidak perlu memiliki adegan jatuh seperti terakhir kali.
Ariastella segera berjalan setelah yakin aman untuk dia mengambil langkah ke area taman.
Taman dimana letak sumur yang menjadi tempat tinggal Rei berada tentu saja.
Terimakasih pada cahaya bulan yang melancarkan langkahnya agar dia tidak menginjak sesuatu yang salah.
Ariastella naik ke atas pinggir sumur, dia lalu mengecek dengan satu kakinya apakah masih ada tangga di sana atau tidak.
Langkah pertama Ariastella ambil, langkah kedua lalu seterusnya. Dia lalu terus berjalan hingga dia sampai di dasar sumur tersebut.
Walau berada di bawah tanah, tapi ruangan ini terang berkat cahaya dari batu sihir yang ada di sekitar dinding sumur itu.
Tapi tidak ada keberadaan Rei, ruangan ini kosong saja. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Ariastella berjalan, dia menelusuri perlahan tempat-tempat yang ada, sampai dia sadar kalau disamping perapian ada sebuah pintu yang benar-benar persis sama dengan dinding, hanya ada sebuah gagang pintu disana.
Membuka gagang pintu tersebut Ariastella kaget karena tiba-tiba di hadapannya mata berwarna merah terang tiba-tiba muncul, membuat dia sampai berteriak dan memukul siapapun yang ada dihadapannya itu.
"Aduh!"
"Rei?" Ariastella menatap mata merah itu, lalu cahaya memasuki ruangan tersebut. Membuat Rei yang memegang pipinya terlihat.
Penyihir itu tampak santai dengan pakaian biasa, tanpa jubah yang biasa dipakai oleh penyihir itu. "Bukan. Aku hantu." Rei mendengkus.
Ariastella diam, dia menyingkir saat Rei berjalan keluar. Mata Ariastella menatap ruangan tersebut, ada sebuah ranjang yang mungkin setengah dari kasurnya, lalu beberapa hal lain. Seperti kamar biasa. Ada beberapa batu warna-warni di dalam sana.
"Kenapa kau kemari?"
Ariastella menoleh, dia berjalan ke arah Rei setelah menutup pintu. Dia berdiri agak jauh dari Rei yang duduk di sofa.
Rei melirik, penyihir itu menatap Tuan Putri yang tampak gelisah. Kenapa lagi Putri ini. "Ada masalah apa?" Rei mengacak rambutnya. "Tidak mungkin kau kemari tiba-tiba."
Ariastella menghela nafas, dia menatap Rei yang mengambil beberapa kertas dari meja menggunakan sihir. "Maaf."
Rei melirik gadis berambut silver itu, Ariastella menunduk sambil memainkan jemarinya. "Untuk apa?" Rei membaca beberapa dokumen yang belum sempat ia baca.
"Harusnya aku tidak keluar." Ariastella menatap Rei yang fokus menatap kertas-kertas. "Kalian jadi kena imbasnya, padahal aku yang salah."
Menghela nafas, Rei menggerakkan tangannya, menyuruh agar gadis itu duduk di sampingnya. Kali ini Ariastella menurut dan duduk disamping Rei.
"Kau mungkin tidak akan dapat hukuman, tapi orang lain akan memperoleh itu. Walau kau yang salah sekalipun, jadi jangan egois. Kau bisa saja membuat seseorang celaka hanya karena keinginan konyolmu." Rei menatap Ariastella yang menunduk.
Ariastella mengangguk. "Aku minta maaf."
Rei berdecak, dia jadi merasa bersalah sekarang. Sepertinya Ariastella benar-benar merasa bersalah sampai datang kemari untuk meminta maaf. "Sudahlah, jangan lakukan lagi."
Ariastella mengangguk.
Rei menghela nafas. "Sekarang kembali ke kamarmu."
"Aku kabur dari kamar, tidak ada yang tau aku disini." Ariastella menatap Rei. "Matamu memang berwarna merah?"
Rei membuang muka saat Ariastella menatapnya lama. "Anggap saja begitu." Rei berdeham. "Apa? Kau mau aku cerita?"
Ariastella mengangguk cepat. "Iya."
Berdecak, Rei melipat kedua tangannya didepan dada. "Ini karena sihirku meledak, aku agak marah."
"Apa kalau kau marah matamu akan berubah warna?" Ariastella menatap Rei.
"Kekuatanku belum sepenuhnya pulih, aku bahkan masih jauh dari kekuatan asliku." Rei meletakkan kertas yang ia pegang. "Ini karena kau."
"Maaf." Ariastella menatap Rei dengan tatapan bersalah.
"Sudahlah." Rei berdecak. "Kau mau kembali?"
"Aku masih mau bertanya." Rei mengangguk. "Kenapa mata mereka juga merah seperti matamu? Mereka juga marah?"
"Merah? Mata mereka merah?" Rei menatap Ariastella tidak percaya, gadis itu mengangguk. "Kau masih memakai cincin itu?"
Ariastella mengangguk. Dia menunjukkan cincin yang pernah Rei berikan padanya. "Aku pakai."
Rei mengangguk. "Jangan pernah lepaskan dan dengar aku baik-baik." Rei menatap Ariastella serius. "Untuk penyihir ada yang memiliki warna mata yang berubah, ada pula yang tidak. Tapi bagi penyihir terkutuk seperti mereka, jika mata mereka merah jika melihatmu, artinya hanya satu."
"Apa?" Ariastella menatap Rei.
"Kau sudah diincar. Anggap saja seperti mereka mengunci mangsa mereka, seperti tertarik. Mata mereka akan langsung berubah warna, mereka meminum darah agar semakin kuat, maka saat mereka mengunci mangsa mereka, mata mereka akan ikut merespon dengan warna." Rei melirik cincin yang ia berikan pada Ariastella sebelum menatap gadis itu. "Teruslah berhati-hati."
Ariastella mengangguk. "Tapi kenapa aku? Aku bahkan tidak bisa sihir sama sekali."
"Bagaimanapun kau memiliki darah keturunan Kaisar, bahkan kau punya semua ciri khas itu. Meskipun kau tidak punya sihir sekalipun, ada hal yang lebih dari itu," kata Rei. "Kembalilah ke kamarmu, ini sudah larut."
"Tolong bukakan portal, aku turun menggunakan tangga. Lihat ini." Ariastella menunjukkan kain yang masih terikat ditangannya.
Rei berdecak. Sebuah portal muncul. "Pergi, cepat."
Ariastella menyengir, gadis itu berdiri. "Terimakasih, Rei." Gadis itu lalu berjalan masuk ke dalam portal.
Rei berdecak tapi satu senyuman muncul di bibir penyihir tersebut.
. . .
KAMU SEDANG MEMBACA
TAWS (2) - Ariastella
FantasyThe Another World Series (2) - Ariastella Cerita berdiri sendiri. Sebuah kutukan membuat setiap anggota kerajaan baru akan mendapatkan 'ciri khas' dari keturunan Raja saat umur keenam. Dia hanya gadis biasa yang katakan saja bereinkarnasi atau hi...