51.

662 102 0
                                    

"Yang Mulia.."

Kepala Kaillos terangkat, dia menatap gadis yang dia paksa kembali ke istana namun tidak kunjung kembali. Kaillos mengangguk pelan. "Sekarang kau bahkan memanggil dengan nama lain."

Bukan itu maksud Ariastella, tapi masih ada beberapa orang di dalam tenda itu. Rasanya aneh jika dia tiba-tiba memanggil Ayah di depan orang-orang itu, ini bukan tempatnya.

"Tidak, bukan begitu." Ariastella meringis pelan. Dia menghela nafas sebelum meletakkan surat-surat yang dia bawa. "Ini dari Austun."

Kaillos meraih surat-surat itu dan membaca salah satunya. "Tetaplah disitu, jangan kemana-mana."

Ariastella yang baru hendak melangkah keluar dari tenda mengurungkan niatnya, dia bahkan ditertawai tanpa suara oleh Rei yang berada di meja yang sama dengan sang Ayah.

Beberapa orang yang ada di ruangan tersebut keluar setelah mendapatkan persetujuan dari Kaisar. Setelah itu tersisa Ariastella yang berdiri, Kaisar yang membaca surat serta Rei yang tampak memperhatikan sebuah peta.

"Duduklah."

Suara Ayahnya membuat Ariastella menoleh dan menurut kali ini. Dia duduk di kursi yang cukup berjarak dari Ayahnya dan Rei.

"Kau benar-benar tidak akan kembali, kan?"

Ariastella langsung mengangguk. "Iya, Ayah."

Kaillos menghela nafas. "Baiklah, tapi kau hanya akan ada di area kemah."

Ariastella mengangguk pelan. Untuk sekarang ini yang terbaik. "Baik, Ayah."

Kaillos berdiri, meraih pedangnya yang ada di atas meja sebelum berjalan keluar dari tenda. Pasukan mereka sebentar lagi akan pergi.

"Apa ini masa pemberontakkanmu, bisa di bilang begitu, kan?" Rei menyentuh peta yang tadinya berada di atas kertas kini mulai membentuk sesuai dengan ketinggian dan bentuk dari dataran aslinya. "Mereka berbahaya, jadi lebih baik kau menurut saja."

Ariastella tidak membalas apapun, dia hanya menatap peta yang Rei tunjukkan dengan memperhatikan semua yang ada di dalam peta itu. Ini bisa jadi jalannya untuk maju dan menyerang para penyihir itu.

"Kau bisa buat ramuan?"

Ariastella yang sedang serius menatap peta tersebut menoleh. "Hah? Apa?"

Rei mendengkus. "Ramuan. Persediaan ramuan untuk menghalau sihir hitam itu hampir habis."

"Austun sedang meminta persediaan itu." Ariastella kini menatap Rei. "Ini tebing?" Ariastella menunjuk sebuah daerah yang berada di belakang istana para penyihir hitam.

"Ya, kenapa?" Rei mengangguk.

"Tidak. Hanya bertanya." Ariastella menggeleng.

Rei diam, memperhatikan Ariastella yang tampak serius menatap peta yang menampilkan peperangan yang kembali dimulai.

"Rei pasti memperhatikan ini sepanjang hari." Ariastella mengatakan itu tanpa menoleh.

"Ya. Itu untuk mengizinkan tidaknya orang-orang masuk ke dalam pelindung." Rei menopang dagunya dengan satu tangannya di atas meja. "Kau mau menggantikan aku?"

"Tidak. Aku harus berada di tenda kesehatan." Ariastella kini menatap Rei. "Ceilo pasti berada di barisan depan."

"Bagaimanapun dia juga muridku, dia berguna." Rei membalas dengan agak mengantuk. "Bawakan aku minuman dan buah jika kau rajin."

"Aku bukan pesuruhmu." Ariastella menatap Rei tidak terima.

"Sama saja dimataku." Ariastella melempar kertas yang ada di hadapannya namun benda itu berhenti tepat di depan Rei.

TAWS (2) - AriastellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang