Ha-Shain (2)

276 20 1
                                    

Setelah melakukan perdebatan yang cukup melelahkan akhirnya aku memenangkan adu mulut bersama pria yang sedang mengemudi itu. Aku kesal karena Habib selalu memaksaku duduk disebelahnya, padahal ia tahu kalau aku memiliki ketakutan ku sendiri saat duduk disebelah supir. Ya, aku memiliki cerita tragis soal itu makanya sampai sebesar ini aku masih tidak mau duduk didepan, tak peduli kalian berpikir jika aku lebay tapi rasa takut itu sering kali membuatku seperti pecundang yang menyedihkan. Aku harus mengakui bahwa trauma dimasa lalu sudah cukup menjadikan aku manusia yang paling takut berinteraksi dengan orang asing, bahkan selama dua belas tahun aku sekolah, hampir tidak pernah ada yang mengajakku bicara. Itu semua karena sikapku yang terlalu pendiam dan selalu mengasingkan diri, itulah kenapa aku tak memiliki banyak teman. Aku suka pada kesunyian, mungkin tidak semua orang suka tapi keadaan sepi seakan mampu membawaku pada dunia imajinasi yang menyenangkan. Pikiranku bebas berkelana tanpa takut ketahuan, aku tidak bisa memikirkan apapun ditengah keramaian.

"Lain kali gue bawa motor aja, udah kayak supir gue sekarang. Nyebelin banget lo Shai". Aku tidak menoleh hanya untuk melihat reaksi Habib karena sudah jelas ia kesal, dia tahu kalau aku takut duduk disana dan memaksaku pindah hanya akan terjadi bila kucing melahirkan anjing.

"Bodo amat! Siapa suruh lo ngajak gue pergi, kan udah tahu gue banyak mau nya".

Memalingkan wajah menatap keluar jendela mobil, aku bisa melihat langit cerah diatas sana. Karena ini hari libur jadi jalanan sedikit lenggang dan tak banyak kendaraan, macet tidak separah hari kerja yang bisa memakan waktu berjam-jam lamanya. Aku selalu menyukai anak-anak kecil yang berlarian dilampu merah sambil membawa kantong bekas permen kiss untuk dijadikan wadah uang receh hasil mengamen, anak sekecil mereka sudah bisa menghasilkan sesuatu sedangkan aku bahkan tak pernah bisa membeli apapun kalau bukan meminta pada mama, papa memang selalu memberiku uang bulanan tapi karena sikapnya yang cuek membuatku malas mengutarakan keinginan.

Habib membelokkan mobil kearah parkiran bawah, kami tiba disalah satu mall favorit di kota ini.  Aku bukan penyuka shopping jadi kurang tertarik pada isi gedung besar ini, hobiku hanya rebahan dan makan seblak, kalian harua mengingatnya dengan baik. Setelah Habib mematikan mesin mobil, aku belum turun karena tiba-tiba saja perutku terasa sakit.

"Awh. ." Rintihan sialan itu keluar dengan lancang dari bibirku, membuat Habib menoleh kebelakang dan melihatku meringis. Ini pasti karena aku lupa makan, aku memang harus menelan sesuatu saat bangun pagi kalau tidak perutku pasti akan sakit. Habib yang tahu kalau asam lambungku kumat langsung keluar dari mobil dan membuka pintu tempatku duduk, wajah khawatirnya menjadi salah satu pemandangan menarik dimataku.

"Gue tahu lo bego Shai, tapi gak gini juga. Bawa obat gak?" Mulut comberan milik Habib adalah hal yang paling ku benci, entah kenapa dia adalah manusia dengan paket lengkap. Kadang sikapnya bisa sangat manis dan perhatian, tapi sesaat kemudian kata-kata yang keluar dari mulutnya sangat memuakkan dan aku tidak suka.

"Gak bawa, ini juga kan salah lo gembel! Siapa suruh bangunin gue pagi buta cuma buat nemenin lo beli kado doang, gue gak sempat makan. Gak sehat nih anak!" Aku memeluk perutku yang semakin terasa melilit, biasanya aku akan memilih tidur untuk menghilangkan rasa sakit karena obat apapun yang ku minum tidak akan menyembuhkan penyakit sialanku ini.

"Jam delapan lo bilang pagi buta? Lo yang gak sehat Shai, orang lain tuh mulai ber-aktivitas mulai dari jam 7. Heran gue ngomong sama lo gak paham-paham, otak lo dimana sih Shai?"

Aku mencubitnya geram dengan perkataan Habib yang semakin menjadi, sudah ku katakan ratusan kali kalau Shaina tidak sama dengan kebanyakan orang. Aku terlahir berbeda dan istimewa.

"Terserah deh, lo harus gendong gue sampai tempat makan. Kalo gak gue pulang, males nemenin lo kalo cuma diceramahin doang!"

Tidak ada yang bisa menolak keinginanku, apalagi orang yang ku tujukan kehendak itu adalah Habib. Ia pasti akan melakukan semua yang ku inginkan, mungkin kalau aku memintanya melompat dari atap gedung, Habib akan rela menyerahkan nyawa. Dia memang korban friendzone bersama ku, kasihan!

Aku melihatnya berdecak, tapi ia juga membalikkan badan dan berjongkok dihadapanku. Aku tersenyum senang, hanya dengan beralasan sakit aku sudah tidak perlu lagi berjalan dari parkiran kedalam sana.

"Ayo cepat naik, keburu tutup nih tempat".

"Eh gembel, mana ada mall tutup jam segini. Selain mulut lo yang emberan, ternyata otak lo dangkal juga ya. Kesian banget fans lo di kampus, gak tahu kalau lo itu sebenarnya bego!"

Habib tak menyahutiku lagi, tapi aku tahu dia sangat kesal. Aku tidak peduli, dan harusnya Habib pun begitu.

*****

Aku melihat-lihat kado apa yang pas untuk diberikan pada Aunty Haena, setiap tahun aku selalu memberinya kejutan jadi semakin kesini aku sedikit bingung karena rasanya sudah hampir semua hal aku berikan pada Aunty Haena. Barang-barang mewah dari brand terkenal, ayolah keluarga mereka kaya raya dan sudah pasti memiliki semuanya. Tapi yang namanya kado pasti akan selalu terlihat istimewa bagi mereka yang menerima, tak peduli harga karena itu adalah bentuk rasa hormat dan kasih kita kepada mereka, cara yang baik untuk membangun sebuah hubungan keluarga.

Habib sejak tadi hanya diam, sama sepertiku yang bingung dia pun tak melakukan apapun kecuali berdiri disampingku sambil melipat tangan nampak berpikir padahal aku sangat tahu kalau dia sedang melamun.

"Kayaknya mami udah punya semua deh barang-barang ini, kita cari yang lain aja yuk". Aku setuju dengan pemikiran itu, semua benda yang ada di toko ini Aunty Haena sudah memiliki nya. Meski penampilannya selalu sederhana tapi beliau adalah wanita berkelas yang cerdas, penampilan luar seseorang bisa menipu tapi sikap saling menghormati dan sangat menghargai keberadaan orang disekitar nya membuat Aunty Haena menjadi salah satu ibu komplek yang disegani.

Habib menarik tanganku, berjalan mengikuti langkah nya membuatku sedikit kewalahan tapi dengan baik hati aku tidak protes karena sedang tidak ingin. Aku melihat sekelilingku, tempat ini sudah sangat ramai dibandingkan saat kami datang tadi dan kondisi seperti ini biasanya akan membuatku menyembunyikan diri dari tatapan orang asing yang seolah menghakimi ku. Aku risih dengan keramaian, tidak nyaman untuk diriku sendiri. Aku menghentikan langkah hingga membuat Habib pun berhenti, menatapnya sebentar sebelum mengatakan isi kepalaku sekarang.

"Gue tunggu lo dimobil aja ya, gak kuat gue rame banget. Lo bisa sendiri kan milih kado nya?"
Aku memang harus cepat pergi dari sini, sebelum kepalaku ikutan sakit karena melihat begitu banyak manusia ditempat ini ditambah lagi suara-suara yang mulai menunjukkan imajinasi liar dalam diriku.

"Lo kenapa sih Shai? Gak pernah mau mencoba melawan rasa takut lo itu, berapa lama lagi lo mau terjebak dalam keadaan kayak gini?"

Aku mengerti Habib memiliki rasa peduli yang tinggi karena secara tidak langsung perkataan nya memintaku harus berani, tapi sayang sekali sekarang aku masih belum siap dan tidak tahu sampai kapan akan terus menjadi pecundang seperti ini.

"Please, jangan sekarang kalo lo mau kasih gue ceramah." Aku memegang kepalaku yang pening, sekali lagi mencoba melepaskan diri dari genggaman Habib yang ternyata ia lepaskan.

Ia menatapku dengan pandangan yang sangat ku benci karena aku tidak bisa mengartikannya, namun aku tahu kalau dia tidak akan pernah memaksaku lebih dari ini.

"Tunggu gue di mobil, nih kunci nya. Jangan kemana-mana gue gak akan lama". Ujarnya, lalu tanpa menunggu lagi aku berlari mencari pintu keluar tak perduli bahwa orang lain akan berpikiran aneh tentang ku karena yang aku butuhkan hanyalah menyendiri.

Apa sebutannya untuk orang sepertiku, tak ada yang menarik dalam hidupku untuk diketahui tapi aku rasa kalian sangat penasaran dengan apa yang pernah aku alami.

LIMERENCE (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang