Aku tidak mengerti kenapa orang yang memiliki tingkat kejahilan sangat suka mengganggu kesenangan orang lain, apalagi dengan caranya yang membangunkan orang tidur seperti akan bertengkar. Keributan yang dia ciptakan membuat kepalaku berdenyut sakit, ini masih sangat pagi dan gembel sialan itu sudah membuka tirai kamar. Aku masih tidak ingin membuka mata sebelum ia keluar dari area pribadiku sekarang, bukankah sudah ku katakan kalau aku tidak memiliki rahasia lagi dari Habib kecuali satu itu yang sangat amat rahasia.
Aku mengeratkan selimut karena merasa ada tarikan yang cukup keras dari ujung kaki, aku tahu kalau dia mulai bertingkah menyebalkan lagi tapi yang benar saja. Mataku masih berat dan sekarang adalah hari minggu, waktunya aku memulihkan tenaga dengan cara tertidur sampai sore nanti.
"Gue tahu lo udah bangun dari tadi, gerak gak? Gue tarik beneran kaki lo Shai".
Kalau tidak menyebalkan, mungkin Habib akan berganti nama menjadi Mujidin.
"Gue hitung sampe tiga, lo gak buka mata gue cium nih".
Dasar Habib sialan!
Ancaman yang selalu berhasil membuatku mengumpat, aku tidak akan pernah membiarkan dia menyentuhku walau seujung kuku pun, apalagi mencium. Bukan mukhrim! Begini juga aku bukan jablay seribuan, Shaina cuma suka rebahan bukan goyang gergaji.
"Apa sih?! Berisik banget deh lo sumpah, ini masih pagi ya asal lo tahu. Dan jam bangun gue bukan sekarang Habib Abimanyun!"
Memang nya dia siapa, suka sekali melihat kedamaian tidur cantikku terganggu. Ayolah, semalam aku tidak bisa tidur dan seharusnya dia mengerti. Habib bukan hanya mengesalkan, tapi kadang sikapnya yang sok peduli membuatku muak.
"Pokoknya lo harus bangun, temenin gue ke Mall buat beli kado ulang tahun mami. Nama gue Abimanyu tanpa N".
Mataku benar-benar masih berat, rasanya ada lem perekat yang menyatukan kelopak tapi saat mendengar perkataan Habib, aku jadi ikutan mikir. Aunty Haena kan ulang tahun, aku bahkan belum menyiapkan satu pun kejutan. Kegiatan bersama anggota ibu-ibu PKK menyita waktu ku, walaupun begitu aku tetap senang melakukannya.
"Aduh, kalo bukan karena emak lo. Gue ogah bangun serius, capek banget gue mas Habib!"
Lidahku terasa gatal saat menyebut panggilan mas untuk lelaki itu, aku bisa melihat wajahnya dari balik selimut. Meski tidak begitu jelas terlihat namun aku tahu kalau dia sangat suka saat aku menyebutnya mas, ibunya orang Korea asli tapi Habib tidak ingin dipanggil Oppa, wajah yang mendukung, postur tubuh yang tinggi dan tegap serta bahu lebar adalah perpaduan yang sempurna untuk menjadi idola. Pemuda itu lebih suka dipanggil mas ketimbang oppa, heran aku!
"Bangun dulu deh, nanti gue kasih upah kalo nemenin beli kado. Mau gak? Apa aja boleh lo ambil, asalkan jangan hidup gue".
Aku menurunkan selimut hingga ke dada dan menjeling kearah Habib gembel.
"Lebay banget ya lo, siapa juga yang mau ngambil hidup lo. Ribet dunia akhirat!" Semburku dengan wajah cemberut tapi mengundang tawa Habib, aku tak mengerti apa yang lucu tapi karena perdebatan ini tak akan pernah usai dalam waktu singkat maka aku dengan terpaksa menegakkan diri menuju kamar mandi untuk membuang hajat. Kandung kemih ku sudah terisi penuh semalaman, dan ini saat yang pas untuk membuang semua racun yang ada.
Sepeninggalku kekamar mandi, aku tidak mendengar apapun lagi selain keheningan. Aku hafal betul kelakuan Habib jika berada dikamar ku, ia akan memeriksa setiap buku dan rak tempatku menyusun novel, entah apa yang dia cari aku juga penasaran tapi aku berpura-pura tidak tahu. Dia selalu melakukannya saat ada kesempatan.
Pertama kali aku memergokinya membuka seluruh isi buku ku yang tersimpan, aku ingin marah tapi ia lebih dulu memasang senyum bodoh yang meluluhkan hatiku. Kesal yang kurasakan mendadak hilang berganti menjadi kerelaan saat ia dengan tidak punya rasa malu menggeledah semua aset berharga ku.
Puas dengan kegiatan ku saat ini, mencuci muka akan membantu wajahku agar terlihat lebih hidup. Maklum, begadang sampai pagi membuat kantung mata dan lingkaran hitam disekitar mata makin terlihat.Aku baru berumur duapuluh tahun tapi penampilanku sangat tidak manusiawi, memang sudah betul kata Habib kalau tidak akan ada yang suka padaku jika terus mengabaikan penampilan. Well, aku tidak perduli tapi sekilas akan selalu muncul perasaan tidak percaya diri, aku terlalu pintar menguasai diri jadi untuk menumbuhkan lagi percaya diri itu mudah. Aku keluar dari kamar mandi dan melihat Habib sedang berbaring di kasur, semuanya terlihat rapi. Ranjang yang beberapa menit lalu berantakan pun kini sudah tersusun rapi, Habib sangat rajin membereskan kekacauan yang ku lakukan. Dia pria yang hebat, sebentar lagi akan lulus kuliah. Aku juga memikirkan kado apa yang pas untuk diberikan padanya, tapi sayang belum ada ide yang menarik untuk ku lakukan.
"Tumben lo gak periksa buku-buku gue, dah stop nyari barang lo yang hilang itu? Aneh deh gue sama lo, yakali gue mau nyolong barang lo. Kurang kerjaan banget".
Aku duduk didepan meja rias sambil melirik pemuda itu dari kaca, dia hanya memandangku tanpa suara. Kalau saja perkenalan kami bukan dari Zigot, mungkin aku akan menyerahkan diri dengannya tanpa perlu memikirkan bahwa mungkin suatu hari nanti Habib akan meninggalkan ku untuk mencari tujuan hidup yang lebih pasti. Selain tatapan nya yang tajam, Habib juga mempunyai senyum yang menawan jadi tidak heran kalau sesekali teman kampusnya akan datang kerumah membawa banyak makanan, aku selalu kebagian menghabiskannya karena percaya atau tidak, Habib lebih suka makan nasi dan sayur asem dibandingkan pizza atau hamburger padahal aku sangat mencintai junkfood.
"Apa yang gue cari emang gak ada di sana, setiap kali gue meriksa barang lo itu gue mikirnya siapa tau kan lo coret-coret kertas dan menuliskan cita-cita lo. Sampai sekarang gue masih gak ngerti kenapa lo gak mau kuliah, boro-boro kerja keluar rumah aja kalo bukan dipanggil bu RT lo mana mau. Gak bosen apa Shai dirumah terus?"
Aku tahu Habib itu memang tipe lelaki yang sedikit cerewet jika membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan masa depan kehidupan, tapi aku memang tidak memiliki semangat lagi untuk meneruskan mimpiku. Aku hanya ingin berada dirumah ini selama yang aku bisa, tidak peduli tentang papa yang selalu memaksaku untuk kuliah agar bisa mendapatkan pekerjaan layak, tidak peduli mama yang selalu menelponku hanya untuk berbagi cerita tentang pacar baru nya, aku hanya ingin berada didalam rumah bersama adik kesayanganku.
"Bosen sih, tapi gue lebih suka ghibah sama bu RT dari pada jadi mahasiswi apalagi karyawan yang selalu berada dibawah tekanan. Gue mau bebas, dan itu mutlak keinginan gue." Aku melakukan serangkaian perawatan wajah ala kadarnya, meski hanya memakai toner dan serum setidaknya ini sudah cukup menunjang penampilanku. Lagi pula tidak akan ada yang protes dengan wajahku.
"Terserah lo deh. Yuk berangkat ntar kesiangan". Ku lihat jam dinding yang tergantung, ini masih jam delapan pagi dan MALL mana yang sudah buka? Dasar sinting! Entah sudah berapa banyak aku mengumpat dan mengatainya dalam hati, yang jelas sudah tak terhitung jumlah. Bodoh amat! Aku selalu kesal melihat raut tanpa rasa bersalah lelaki itu.
"Gak ada mall yang buka jam delapan, mas Habib! Lo kalo kurang kerjaan mau nungguin mereka, mending cuci piring dulu dibawah. Stress lo!"
Dia tidak menghiraukan ku, bangkit dari kasur dan pergi begitu saja. Memang dia adalah manusia titisan raja dugong, seumur hidup kenapa harus orang seperti dia yang menjadi sahabatku. Tidak bisakah Tom holland atau Chris Evans saja yang menggantikan Habib, aku muak dengan tingkahnya. Cih!
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMERENCE (COMPLETED)
ChickLitCover by : Pinterest (Edit by Me) Author note : NO CHILDREN (21+) Sedang Revisi (◍•ᴗ•◍)❤ Start : 1 Agustus 2021 End : 10 Agustus 2021