Ha-Shain (35)

130 14 4
                                    

Sinar matahari yang mengintip dari celah tirai membuat kedua insan itu merasa silau, tangan Habib sudah mati rasa namun ia tetap membiarkan Shaina tidur nyenyak. Ia mau bersin tapi tertahan karena tak ingin membangunkan gadis itu, dia menekan hidung untuk menghilang rasa gatal karena dingin yang berasal dari AC. Shaina bergerak pelan, matanya masih terpejam rapat belum ada tanda-tanda akan bangun. Semalam posisi mereka saling membelakangi, tapi pagi ini Shaina kembali menghadapnya bahkan memeluk pinggang lelaki itu. Dia tersenyum menelusuri wajah Shaina, luka itu membuat Habib kembali memikirkan tentang sikap Shane yang sama sekali tak menunjukkan sebagai ibu. Habib pernah merenungkan semua hal yang menyangkut Shaina, dia pikir mungkin saja perasaan terhadap Shaina itu sebatas kasihan apalagi selama ini keluarga mereka sangat mengenal satu sama lain. Ditambah lagi kebiasaan mereka selama ini, kadang menghantui Habib dan menimbulkan kebingungan. Tapi setelah berada diusia yang cukup dewasa, ia mulai memahami bahwa hati nya memang menginginkan Shaina, bukan orang lain apalagi Shanum. Jika pun ia menyentuh wanita lain itu murni bukan karena dia cinta, tapi karena nafsu dan tuntutan hasrat dalam diri nya sebagai lelaki normal. Habib tidak ingin munafik, meski dia rajin beribadah tetap saja hawa nafsu itu sangat sulit dikendalikan.

Kelopak mata milik Shaina bergerak, bulu mata lentik itu juga mulai terbuka secara perlahan. Habib menunggu kedua mata itu terbuka, lalu memberikan senyuman manis pada gadis itu sebagai awal pembuka hari yang indah.

"Hai." Sapa Habib ramah, menyelipkan rambut Shaina kebelakang telinga. Mencium pipi gadis itu bertubi-tubi, melakukan nya tanpa merasa bersalah apalagi sadar kalau mereka tidak boleh seintim ini.

"Ih mas Habib, stop gak? Masih ngantuk gue ah". Seru Shaina menghalangi ciuman Habib dengan sebelah tangan nya.

"Gue gak bisa biarin lo nganggur gitu aja, lo selalu cantik little girl". Shaina membuka mata lalu melihat wajah Habib yang sangat dekat, memundurkan kepala. Tak ingin insiden semalam terulang lagi.

"Gue bukan anak kecil lagi, jangan panggil gue little girl".

Habib menaikkan selimut mereka, memeluk tubuh Shaina dan membelit gadis itu dengan kaki panjang nya. Mereka jadi menempel, walaupun pakaian mereka masih lengkap tapi Shaina mampu merasakan tonjolan keras yang sangat mengganggu.

"Habib, mending lo bangun. Gue gak mau ada yang lihat kita kayak gini, cukup nyokap lo aja ya". Dia tak menghiraukan ucapan Shaina, semakin mengeratkan pelukan dan menindih kepala gadis itu memakai dagu. Shaina kelihatan sangat kecil.

"Biarin mereka lihat, gue emang mau kita digrebek terus dikawinin. Gak perlu susah payah nunggu lo sadar". Shaina meronta namun tak sedikit pun dekapan lelaki itu melonggar.

"Lo meluk nya kencang banget, gue sesak bego! Lepasin".

"Enggak akan. Lo harus jawab jujur dulu pertanyaan gue, diapain sama mama?" Shaina berhenti bergerak, tubuhnya sedikit menegang mendengar lontaran pertanyaan dari Habib. Debar jantung nya kembali tak beraturan, ingatan kejadian kemarin malam membuat Shaina takut menyembunyikan diri kedada sahabatnya.

"Dijambak, tampar dan ditarik." Ia menjawab dengan suara pelan, bergetar menahan tangis. Suasana yang tadi nya hangat kini berubah senyap, hanya suara deru nafas yang terdengar.

"Gue takut sama mama, dia gak sayang sama gue. Mata nya kelihatan benci banget sama papa, gue takut". Seharusnya Habib tidak perlu menanyakan kejadian mengerikan itu pada Shaina, tapi ia ingin tahu dengan jelas. Pria itu mencium kening Shaina, sangat lama. Memberikan sentuhan hangat yang begitu memabukkan dipinggang gadis itu, meremas lalu meraba kulit punggung Shaina dengan gerakan menggoda.

"Habib." Shaina menyebut nama nya sambil menahan rasa geli yang dirasakan dari sentuhan itu, lelaki ini sangat suka mempermainkan suasana hati Shaina. Tadi dia mengungkit soal perlakuan ibu nya, lalu sekarang dia melakukan hal lain yang mulai terasa sangat mendebarkan.

"Lo gak boleh takut lagi selama ada gue, Shain. Gue selalu ada buat lo".

Habib menaikkan tangan nya, mendekati area dada Shaina yang tidak memakai bra. Ia bahkan nyaris menahan nafas saat gumpalan daging kenyal itu berhasil ia sentuh, bulat dan halus membuatnya semakin gila. Terasa sangat pas ditangan, Habib meremasnya perlahan. Shaina tahu kalau perbuatan Habib sudah tidak bisa lagi ditoleransi, tapi ia mendiamkan nya. Shaina bahkan menggigit bibir bawah untuk menahan godaan mendesah.

"Sangat pas, lembut dan halus. Gue suka ini, seharusnya gue sentuh dia lebih sering biar nanti ukuran nya bertambah besar". Shaina merona, kulit wajahnya terasa panas tapi ia masih tak mampu bersuara. Tatapan Habib sangat memuja dan bergairah, mematikan kesadaran Shaina.

"Ini cuma milik gue, Shain."

Habib menggeser tubuh nya, menaikkan sedikit baju rumah sakit yang dipakai Shaina. Menatap gemas dua gunung indah milik gadis itu, semua tampak sempurna. Puting merah muda yang menantang untuk dijamah, kulit putih yang sangat kontras dengan tangan Habib membuat nya semakin ingin mencicipi benda kenyal itu. Shaina memejamkan mata ketika mulut Habib benar-benar menyentuh disana, terasa hangat, lidah nya yang kasar menimbulkan sensasi nikmat yang tak bisa dia jelaskan. Shaina mendesis tidak bisa melakukan apapun selain bergerak gelisah. Habib mengecup, menjilat, bahkan meninggalkan bekas merah disana tanpa ada sisi yang tertinggal. Ia bergantian meremasnya, mencium lalu kembali memasukkan nya dalam mulut.

"Ha-habib. Ssh stop!"

LIMERENCE (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang