Ha-Shain (5)

167 12 0
                                    

Turun dari taksi aku langsung berlari masuk kerumah, mengabaikan teguran pak Ranto satpam kami. Aku tidak melihat ada mobil di garasi itu artinya papa tidak ada, rumah ini akan semakin sepi tapi memang itulah yang aku inginkan.

Pembantu ku tinggal dibelakang rumah, hanya kesini kalau salah satu penghuni rumah menginginkan sesuatu. Dulu saat mama masih tinggal disini, ia tidak suka pergerakannya dibatasi oleh kehadiran mbak yang kerja. Jadi mama sengaja meminta papa untuk membuatkan tempat tinggal sendiri untuk mereka agar bisa membawa keluarga.

Suasana rumah ini tak pernah ramai lagi, setelah terakhir kali kedua orang tua ku bertengkar hebat yang membuat semua nya jadi kacau, aku tidak pernah lagi mengharapkan sesuatu yang mungkin hanya meninggalkan nyeri di dada. Kamar ku terletak dilantai bawah jadi cukup mudah bagi ku untuk segera beristirahat, kamar Shaka ada di atas bersama papa. Aku tidak suka naik tangga, terlalu lelah apalagi kalau kondisiku seperti ini. Lutut ku semakin lemas setelah berlari, secara fisik mungkin aku terlihat kuat tapi banyak keluhan yang ku sembunyikan dari semua orang.
Membanting pintu dan segera menuju ranjang, aku mengusap bagian kaki yang sakit. Mencari balsem untuk ku oleskan.

Belum sempat aku menyelesaikan pekerjaan ku untuk mengobati lutut yang nyeri, kini aku harus mendadak terdiam saat pintu kamar ku di dobrak sangat keras oleh seseorang.

"HABIB ABIMANYU! LO NGERUSAK PINTU KAMAR GUE!" Teriakan itu spontan keluar karena aku sangat tidak menyangka kalau pemuda itu sangat lancang merusak pintu yang menjadi pembatas antara aku dan dunia luar kamar. Dasar gila!

Ia masuk tanpa sepatah kata pun, melirik kearah ku sambil menenangkan nafas yang memburu. Aku tebak dia pasti berlari masuk kerumah, mungkin dia pikir aku tidak ada disini tapi sayang sekali aku bukan orang yang akan mencari pelampiasan saat tertekan lagi pula berhadapan dengan seorang Habib bukan lah masalah besar untukku.

Dia bergerak mendekati ku, mengambil alih apa yang ku lakukan masih tanpa suara namun tatapan nya sangat menusuk. Aku pun tak ingin mencari masalah, membiarkan dia mengobati sakit ku.
Cukup lama kami terdiam, tak ada yang berniat membuka suara sampai aku merasa jenuh sendiri dengan keheningan ini.

"Lo udah minta maaf sama Shanum?"

Habib menghentikan gerakan tangan dan memandangku lebih tajam dari sebelum nya.

"Bisa gak lo jangan sebut nama orang lain dulu. Jangan uji kesabaran gue terus Shaina Sekar!"

Well, aku tidak berniat menguji kesabarannya tapi aku bertanya karena ingin tahu dan penasaran. Kalau Habib adalah idola di kampus maka Shanum adalah panutan semua orang karena kebaikan nya. Dia adalah ketua perkumpulan para mahasiswa yang selalu menyumbangkan bantuan kepada orang membutuhkan, Shanum rela berpanas-panasan dibawah terik matahari hanya untuk meminta sumbangan kemudian dibelikan sembako lalu membagikannya pada para pengemis atau tukang becak yang mereka temui. Bagaimana aku bisa tahu, Aunty Haena menceritakan semua nya dengan rasa bangga. Shanum adalah kebanggaan keluarga, dia berprestasi dan selalu berhasil mencuri perhatian banyak orang.

Habib seharusnya bersyukur karena dijodohkan pada gadis seperti dia, walaupun menurutku perjodohan itu bukan hal yang pantas dilakukan saat mereka sudah memiliki hak asasi sendiri. Dia justru terjebak dengan perasaan nya pada ku, yang tidak memiliki keinginan hidup lebih, cita-cita atau bahkan semangat untuk memperbaiki semua nya. Shaina dan Shanum bagaikan langit dan bumi, Habib harus membuka mata lebih lebar lagi agar bisa membandingkan diriku dengan Shanum. Kalau hal itu bisa membuatnya move on dari ku, maka aku sanggup membantu nya.

"Gue heran sama lo, cewek sebaik Shanum malah di abaikan. Padahal dia sempurna banget buat jadi seorang istri, nyokap lo suka banget sama dia tau".

Habib berdiri, membuatku harus mendongakkan kepala lebih tinggi untuk bisa melihat wajahnya.

"Kalo lo bisa memutuskan bahwa kita cuma bisa jadi sahabat, maka gue pun berhak memilih siapa yang pantas untuk gue terima dan cintai. Lo gak usah komporin gue untuk suka sama dia". Aku mengangkat bahu tak peduli dengan respon Habib yang masih marah, yang jelas aku sudah berulang kali mengatakan pada nya bahwa Shanum adalah orang baik. Terlihat dari cara orang-orang memandang nya, pasti dia tidak pernah berteriak marah apalagi sampai menyumpah dengan kata-kata kasar.

LIMERENCE (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang