Ha-Shain (7)

148 13 11
                                    

Langit mulai gelap dan aku masih belum ingin keluar kamar, padahal bu Romlah sudah menelpon agar aku datang tapi gara-gara Habib aku jadi malas kesana. Pikiran ku sangat kacau, aku tidak bisa melakukan apa-apa jika kepala ku masih tidak bisa berhenti membayangkan saat pria brengsek itu menciumku. Kami sudah lama saling mengenal, seumur hidup dan aku tidak bisa berpikir dengan baik saat seorang Habib Abimanyu dengan lancang menyentuh dan menciumku. Disini aku juga tidak bisa menyalahkan dia karena aku sendiri pun menikmati, padahal jelas sekali kalau selama ini aku menolak ungkapan perasaan nya. Jam di ponsel ku sudah menunjukkan pukul tujuh malam, perutku sudah mulai bernyanyi meminta agar segera diisi tapi sekali lagi aku belum ingin keluar kamar. Tidak ada suara apapun selain dentingan jam dan hembusan nafasku sendiri, aku bingung bagaimana cara mengungkap dan menjelaskan pada Habib kalau kami lebih pantas menjadi teman bukan pasangan.

"Shaina."
Mataku yang hampir terpejam kembali terbuka karena suara seseorang yang menyebut nama ku, kamar ini cukup besar, terkadang aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang terjadi diluar. Tapi sekali lagi orang itu mengetuk pintu, tidak terlalu keras seperti yang biasa Habib lakukan.

"Shaina, papa tahu kamu didalam. Ayo keluar Shain".
Telingaku masih sehat untuk mendengar nya walau samar-samar dan kata papa adalah yang paling jelas tertangkap, aku segera bangun menyimpan ponsel dalam saku piyama, mendekati lemari yang ku pakai sebagai penahan pintu dan kembali mendorong nya sekuat tenaga.

Tak butuh waktu lama dan aku berhasil mengembalikannya ketempat asal. Aku membuka pintu, sosok lelaki yang sudah berhari-hari tidak pulang kini hadir dihadapan ku. Wajah nya nampak bahagia, aku menatapnya penuh curiga. Sejak berpisah dengan mama, mungkin ini pertama kali papa menampilkan senyum seperti ini.

"Papa belikan makanan kesukaan kamu, ayo kita makan bareng".

Waw. Aku cukup terkesan dengan ajakan ini, lidahku sudah gatal untuk berbicara namun hati ku menahan nya. Pulang tiba-tiba, mengajak makan bersama, itu sangat terlihat seperti bukan papa. Aku tidak menjawab untuk tawaran mengharukan dari papa, namun langkah ku mengikuti nya menuju ruang makan. Aku pikir dirumah ini hanya ada kami saja rupa nya Habib masih belum pulang juga, entah apa saja yang dia lakukan selama aku berada didalam kamar. Aku juga melihat mbak sedang menyiapkan beberapa makanan diatas meja, hatiku berubah jadi tidak enak. Mungkin karena perubahan sikap papa yang terlalu mendadak, apalagi kami sudah lama tidak bertatap muka membuatku semakin merasa aneh.

Habib menatapku dengan pandangan yang tajam, aku belum bisa berbaikan dengan nya setelah yang dia lakukan siang tadi. Jadi mengabaikan nya adalah caraku untuk membatasi diri dari lelaki itu.

Perutku memang sudah sangat lapar, jadi ketika melihat semua makanan yang terhidang diatas meja aku tidak tahan untuk menelan ludah. Astaga! Ini benar-benar seperti mimpi yang indah, semua nya memang makanan favoritku. Rendang, sate, soto, gurame asam manis, ayam bakar pedas bahkan seblak pun hadir. Aku menatap papa dengan rasa tak percaya.

"Papa yang beli ini semua?" Dia tersenyum, yang mana hal itu semakin membuatku takut. Ada apa sebenarnya?

"Kenapa Shain? Kamu gak suka? Habib bilang ini semua makanan kesukaan kamu, jadi papa beli."

Kepala ku hendak menoleh ke arah pria itu tapi dengan semua kesadaran yang ku miliki, aku tidak melakukan nya. Papa bahkan harus bertanya untuk sekedar mengetahui makanan kesukaan ku. Hidup ini memang miris bagi ku. Mataku sedikit memanas dan dada ku berdenyut nyeri, sekuat mungkin aku menahan gejolak kerinduan yang kembali menghantam. Shaka. Lagi-lagi aku teringat pada nya.

Belum sempat aku menghilangkan rasa sedih dalam diriku, mbak muncul dengan membawa semangkuk besar salad buah tapi bukan itu yang menjadi perhatianku melainkan sosok wanita cantik nan anggun yang ada dibelakang nya. Dia tidak terlihat seperti siapapun yang kukenal, apalagi penampilan nya yang berhijab membuatku tak bisa menutupi kebingungan sekaligus ingin segera bertanya.

LIMERENCE (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang