Ha-Shain (36)

135 18 7
                                        

Shaina meminta pada suster agar membiarkan nya mengganti sendiri pakaian, ia tidak mungkin mengizinkan orang lain melihat betapa menyedihkan dada yang sudah memerah karena ulah Habib.

Ia sudah bisa turun dari kasur, tubuh nya sangat cepat membaik meski masih terasa nyeri dikepala akibat dijambak oleh mama kemarin. Shaina perlahan membuka kancing baju, mengganti dengan yang baru. Belum selesai dia memasang baju, pintu kamar mandi dibuka cukup keras oleh seseorang.

"Kenapa lo keras kepala banget, Shain? Biarin suster yang bantu lo ganti baju, lo bisa jatuh. Apa lo gak lihat lantai kamar mandi nya licin?" Lelaki itu masuk dengan wajah kesal, rambutnya nampak berantakan dan itu semua karena ulah Shaina. Gadis itu menggeleng mengenyah kan semua pemikiran mesum, Habib mendekati dan memakaikan baju Shaina. Ketika ia melihat hasil karya ditubuh gadis itu, rasa bangga memenuhi diri Habib. Warna nya sedikit berubah ke unguan, ia memijit pelan dada Shaina yang mendapat pukulan dari wanita itu.

"Habib, lo kecanduan ya sama gue? Lepasin gak!" Habib tertawa karena sadar tindakannya sangat diluar akal sehat, dia benar-benar bisa gila kalau terus menahan diri untuk tak menyentuh Shaina. Semua bagian tubuh gadis itu, apa yang dia miliki sudah diklaim menjadi kepunyaan nya.

"Itu lo tahu, lo emang candu buat gue. Udah mulai sadar?"

"Berisik! Kalo lo Cuma mau pegang-pegang doang, mending keluar aja. Biarin gue cuci muka". Tak mau membuat kesal gadis pujaan nya, Habib menjauhkan tangan dari sana. Lalu memegang selang infus, Shaina kesulitan menyingkirkan rambut agar jangan mengganggu ia untuk membersihkan wajah. Habib yang melihatnya dengan sigap menangkup rambut Shaina, memegang pakai sebelah tangan kemudian membiarkan Shaina melakukan kegiatan nya. Gadis itu beberapa kali mendesis, hal itu sama sekali tak lepas dari mata tajam Habib.

"Udah?" Habib melepaskan rambut perempuan itu lalu meraih handuk, ia meletakkan selang infus di gantungan dinding. Shaina mau mengambil kain ditangan Habib tapi lelaki itu menggeleng.

"Biar gue aja." Ia mengelap wajah Shaina yang kelihatan lebih berwarna, sudah tidak sepucat kemarin. Dengan pelan ia membersihkan wajah gadis itu, bagian yang basah setelah selesai ia mencium ujung hidung Shaina.

"Ish apaan sih, main sosor aja lo kayak bebek!"

"Lo sangat menggemaskan. Gak tahu kenapa gue selalu gak bisa ngontrol diri". Shaina memutar matanya, meladeni Habib sangat melelahkan dan kaki nya mulai berdenyut terlalu lama berdiri.

"Pegang ini". Suruh Habib, Shaina tidak tahu apa yang akan dilakukan Habib namun ia menuruti perintah lelaki itu. Tanpa dia sangka, Habib justru menggendong Shaina. Membawa keluar dari toilet dan membaringkan tubuh ke kasur. Untuk beberapa saat Shaina membiarkan lelaki itu melakukan apa yang dia inginkan, jika Habib tidak suka bubur di aduk maka Shaina tim mengaduk bubur. Ia menyuapkan pada Shaina sedikit demi sedikit, perempuan itu hanya membuka mulut menerima suapan. Minum dan sarapan pun selesai, mereka masih diliputi keheningan sampai pintu ruangan Shaina dibuka dan menampilkan ibu mereka yang terlihat cemas tapi mendesah lega saat melihat Shaina sudah bangun. Aisyah tak bisa menyembunyikan raut kesedihan nya melihat kondisi Shaina.

"Mama. . Aunty. ." Rengek gadis itu, melebarkan tangan menyambut pelukan yang diberikan oleh Aisyah. Shaina menerima ciuman diwajah nya dari wanita itu, Aisyah beberapa kali menyentuh luka bekas tamparan Shane.

"Maafin mama ya, Shain. Karena mama, orang tua kamu jadi gak akur". Habib memberi ruang pada dua perempuan itu untuk bercerita, ia pamit kepada ibu nya yang membongkar barang bawaan mereka. Habib keluar kamar untuk merokok, semalam suntuk dia tak menyentuh tembakau mulut terasa masam. Meski ia menciumi Shaina habis-habisan, ia tetap membutuhkan sesuatu yang manis, dia memang bukan perokok aktif tapi Habib membutuhkan nya untuk berpikir.

"Sebelum mama datang kerumah, mereka udah gak akur ma. Jangan merasa bersalah ya, aku gak apa-apa kok". Shaina mencium tangan ibu dengan penuh sayang, kalau mama kandung sendiri tak bisa menyayangi Shaina dengan sepenuh hati maka biarkan dia mencari kenyamanan bersama ibu tiri nya. Wanita itu meneteskan air mata, Shaina tak pernah ditangisi oleh siapapun jadi melihat Aisyah menangis hati nya ikut terharu. Haena yang melihat itu pun semakin menyukai Aisyah, tidak ada kebohongan dalam setiap tindakan wanita itu maka semua orang bisa dengan mudah menerima nya. Apalagi Shaina yang terbilang sangat rumit untuk dipahami.

"Mama sayang kamu, Shaina. Jangan sakit lagi ya, mama gak kuat lihat kamu dan Shaka terluka". Shaina mengangguk, sekali lagi ia mengusap pipi wanita cantik itu dan memberikan senyum bahagia. Belum pernah Shaina merasa se-senang ini.

"Udah ya sedih nya, kita bahas yang lain aja. Shaina, Habib gak ganggu kamu kan sayang? Aunty kepikiran terus kalo dia bikin kamu gak nyaman". Aisyah meredakan tangis nya, tidak ada perasaan canggung diantara mereka. Haena mengelus punggung Aisyah pelan.

Shaina sempat kehilangan fokus saat Haena menanyakan hal itu, ia berdeham pelan. Pipi nya kembali merona, ia menunduk tak mau terlihat oleh kedua orang didepan nya. Ingatan tentang perbuatan mereka semalam membuat Shaina malu sendiri.

"Enggak, Aunty. Dia jaga Shaina dengan baik".

Andai saja Haena tahu kalau putra nya sudah lancang menyentuh Shaina, mungkin wanita itu akan berteriak histeris. Shaina tidak mau Habib dimarahi, dia mulai mengakui jika jauh dari Habib adalah sesuatu yang sangat pahit dan tidak enak untuk dirasakan.

LIMERENCE (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang