Ha-Shain (33)

121 15 2
                                    

Habib mengelus pipi Shaina yang membiru, dia tahu kalau om Aiden berbohong soal Shaina yang kelelahan pasti telah terjadi sesuatu dan keluarga gadis itu menyembunyikan nya. Tapi apa? Habib tidak bisa memikirkan kemungkinan yang terjadi, Shaka. Pemuda itu tadi menampilkan wajah tak bersahabat, bahkan ia sama sekali tak menegur Habib. Shaka pasti bisa mengatakan pada nya tentang apa yang dialami oleh Shaina.

"Gue sayang banget sama lo, Shain. Jangan terluka lagi, maaf karena mengabaikan lo beberapa hari ini." Bisik Habib, mencium sekilas bibir kering pucat milik Shaina dan keluar dari ruangan. Orangtua Shaina masih berada diposisi yang sama, tangis Aisyah juga sudah mulai reda.

"Habib, om bisa minta tolong sama kamu gak?" Aiden memang bukan orang yang suka berbasa-basi, Habib pun tak keberatan sama sekali membantu pria itu apalagi menyangkut Shaina. Dengan senang hati dia akan melakukan nya.

"Iya om, ada apa?"

Aiden menatap wajah Shaka sebentar kemudian memandang lagi Habib.

"Tolong jaga Shaina malam ini, om sama tante gak bisa karena tante kamu lagi hamil. Kondisi nya gak akan kuat begadang, kamu mau kan?"

"Shaka besok ada ujian disekolah, dia juga harus belajar." Haena menyela pembicaraan itu dengan langsung mengelus lengan putranya, tersenyum gembira.

"Bisa dong, Habib juga sekarang lagi gak kerja apa-apa. Jaga Shaina aja kan? Santai aja, Aiden. Dia bisa diandalkan".  Habib melihat wajah ibu nya dengan pandangan menelisik. Reaksi yang tak terduga.

"Mami."

"Iya sayang, kenapa? Kamu mau kan jagain Shaina, besok pagi mami anter pakaian ganti. Tante Aisyah juga kesini sama mami besok." Jujur saja dia senang mendapat tawaran berharga ini, Habib hanya perlu menjaga sikap agar tidak terlalu kelihatan jika ia senang. Menjaga Shaina, artinya dia bisa dengan leluasa melihat wajah gadis itu.

"Shaka."

"Gak apa-apa bang, kita semua percaya sama bang Habib. Titip Shaina, jangan sampai mama kesini dan ngacau lagi." Remaja lelaki itu menatap serius wajah lawan bicara nya, sekarang terjawab sudah pertanyaan yang mengganjal kepala Habib. Luka memar diwajah gadis pujaan nya ternyata hasil kekerasan yang dilakukan oleh ibu kandung sendiri, tapi kenapa? Ini bahkan sudah sangat lama sejak terakhir kali.

Habib pun menerima tawaran menjaga Shaina, lalu mengantar keluarga besar mereka pulang. Hujan sudah reda, udara pun semakin dingin. Setelah melihat orangtua dan adik-adik nya masuk ke mobil dan pergi, Habib pun kembali masuk. Ia melihat suster yang tadi membuatnya kesal, menatap datar wajah perempuan muda itu.

"Dasar bodoh!" Katanya sambil berlalu melewati sang suster yang mendelik tajam menatap punggung Habib. Baru kali ini dia bertemu keluarga pasien yang menyebalkan seperti Habib, dia akan mengingat wajah itu sampai kapan pun. Dasar pemarah!

Dikamar Habib menarik kursi meletakkan nya didekat ranjang Shaina, duduk disana dalam keadaan hening. Ia melihat gadis itu dengan seksama, Shaina tidak pernah berubah. Gadis itu selalu berhasil mengacaukan pikiran Habib bahkan dengan hal kecil, dia juga merasa aneh kenapa bisa secinta ini pada Shaina padahal disekolah, kampus bahkan kemana pun Habib pergi pasti akan ada gadis yang mengejarnya untuk sekedar berkenalan tapi Shaina, dia bahkan selalu mencari cara untuk menjauhi diri nya.

Sama-sama saling mencintai, satu hobi, satu kesukaan, lebih nikmat nya satu frekuensi tapi Shaina selalu menyangkal soal perasaan.

Habib mencium tangan gadis itu yang tertusuk jarum infus, meraba nya perlahan membayangkan rasa sakit yang diderita Shaina saat dikasari oleh ibu kandung nya, Habib marah, disaat seperti itu dia tidak ada bersama Shaina dan justru memilih menuruti keinginan Shanum.

"Maafin gue, Shain. Gue gak ada saat lo terluka, bangun dong jangan lama-lama tidur nya".

LIMERENCE (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang