Ha-Shain (45)

153 14 4
                                        

Shaina tahu dirinya mulai kesal karena Habib tak menjawab telpon, butik sudah sepi karena Rani tidak datang hari ini, hanya ada dia dan kakak yang berkerja. Itupun sudah pulang dan hanya menyisakan Shaina seorang diri, ia bersandar pada kaca jendela sambil menatap air hujan yang sangat deras. Habib sudah berjanji akan menjemputnya sore ini, tapi sampai sekarang ia belum juga muncul. Gadis itu mengerang kedinginan, satu jam sudah ia menunggu diluar. Tangan mulai gemetar, semua pakaian Shaina juga basah terkena cipratan air langit. Ia mengusap wajah untuk menghilangkan rasa kantuk, sepertinya yang diatas sana sedang menumpahkan air begitu banyak untuk membasahi bumi. Shaina bukan gadis penyuka hujan, oleh alasan itu juga ia sangat kesal jika Habib tidak segera menjemputnya.

Demi menghilangkan rasa kantuk yang mendera, Shaina mencoba menghubungi pria itu sekali lagi. Tidak ada salahnya mencoba tapi sudah deringan keempat masih belum juga terjawab, ia hampir mematikan sambungan saat sebuah suara terdengar. Shaina yang memang sudah siap menyemburkan kemarahan nya, langsung terdiam ketika bukan Habib yang bicara.

"Terkejut, Shaina? Pasti lo lagi mikir, kenapa gue bisa angkat telpon di hp nya Habib."

"Dimana dia?" Shaina tidak bisa menampik rasa takut yang sedang berkembang pesat dalam hati, membayangkan isi kepala nya sedang terjadi saat ini membuat gadis itu ingin melemparkan ponsel. Bajingan!

Shaina bukan gadis bodoh, dia tahu seperti apa lelaki yang dia cintai. Kalau dulu ia pernah menangkap basah perbuatan Habib, berhasil menyembunyikan rasa sakitnya, maka sekarang situasi berbeda.

"Di kamar mandi. Kami baru selesai melakukan nya, Shaina. Gue yakin lo bukan cewek bodoh yang gak ngerti, seharusnya lo paham kalo gak mudah buat gue lepasin Habib. Sakit gak? Gue harap lo gak mencoba menyakiti diri sendiri saat tahu kalo diakhir kisah, hanya gue yang jadi pemeran utama dalam kisah kita."

Tubuh Shaina menggigil, bukan hanya hujan penyebab nya tapi juga kata-kata Shanum. Dia tahu bahwa ini bukan kekalahan bagi Shaina, melainkan sebuah pertunjukkan bagi diri seorang Shanum dan seberapa rendah gadis itu.

Shaina tertawa, itu membuat Shanum mengernyitkan alis bingung. Meski tak terlihat ia bisa membayangkan bagaimana raut Shaina yang menatap sinis dirinya.

"Sebenarnya gue heran, sama orang yang suka mempamerkan aib mereka sendiri. Lo ada masalah apa, Shanum? Apa tubuh lo sangat murahan sampai rela dijamah sama cowok yang bukan suami atau pun pacar? Kenapa lo dengan bangga menunjukkan sama gue, kalo diri lo ternyata sangat rendah dan murah. Lagi diskon berapa lo? Bitch!"

Shanum membulat tak percaya pada kata-kata Shaina, dia tahu kalau gadis itu memiliki mulut tajam tapi tak mengira kalau Shaina bisa sekasar ini.

"Setan! Gak masalah gue murah, yang jelas gue adalah orang pertama untuk Habib. Lo mengambil apa yang udah pernah gue sentuh, Shain. Apa yang akan lo miliki nanti, itu pernah gue rasain. He is so damn hot in my bed, we do making love Shain."

"You think i care about that? Of course, No! You're wrong, Shanum. Kalo lo pikir bisa membuat gue jauhi Habib cuma karena kalian pernah bercinta, tentu aja gak semudah itu. Dia laki-laki, gak akan meninggalkan jejak apapun. Tapi lo? Lo bahkan gak bisa balikin perawan, jaman sekarang semua cowok menginginkan cewek ber-segel Shanum. Dan lo dengan bangga memberikannya cuma-cuma sama orang yang jelas bakal jadi milik gue, harusnya lo malu sama diri sendiri."

Shaina tak perlu menunggu respon perempuan jalang itu, ia langsung mematikan sambungan serta ponsel. Kalian pikir Shaina baik-baik saja? Ya, tentu dia dalam kondisi yang baik. Namun pikirannya sedang mencari cara untuk memberi hukuman pada si brengsek Habib. Ia melihat keatas merasakan air hujan, mungkin setelah ini dia perlu meminta papa membeli tiket pesawat, berlibur kerumah nenek bisa menjadi hiburan bagi Shaina untuk melupakan kata-kata Shanum.

LIMERENCE (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang