Ha-Shain (8)

149 15 0
                                    

Aku tahu jika sebuah hubungan tidak akan bisa menuju ke jenjang yang lebih serius kalau bukan karena sudah lama terjalin, tidak tahu kapan tepat nya yang jelas papa dan tante Aisyah sudah lama menjadi sepasang kekasih. Mengetahui fakta itu, aku menekan segala keingintahuan dan juga pertanyaan yang mulai menggoda untuk ku ungkapkan. Tatapan penuh harap dari papa soal restu dari kami berdua, harapan itu sangat besar dalam kedua mata papa. Aku meringis dalam hati karena Shaka terlihat sangat marah, dia mengepalkan tangan hingga buku jari nya memutih. Shaka sudah bukan lagi anak SD yang akan menangis ketika mengetahui keluarga nya akan semakin berantakan setelah tahu akan ada sosok lain yang menggantikan mama. Dia sudah menjadi remaja lelaki yang keras kepala dan juga berani. Kehadiran wanita disebelah papa membuat Shaka tak bisa menahan lebih lama kebencian nya.

"Aku tahu papa udah gak cinta lagi sama mama, kalian gak akan pernah bisa bersama lagi. Tapi pa, seenggak nya pedulikan dulu keadaan kami. Keadaan kak Shain, semua yang ada dalam rumah ini pa. Menikah lagi, itu artinya papa membina lagi keluarga baru. Lalu kami?"

Nafas Shaka memburu seiring dengan emosi yang meluap-luap, begitu besar kobaran api kekesalan dalam mata adikku. Sebagai manusia yang paling waras diantara mereka, aku harus bersikap tenang dan tak boleh gegabah. Kalau mengikuti pikiran, aku ingin sekali mengamuk dihadapan mereka berdua atas rasa kecewaku selama ini terhadap sikap papa yang tidak pernah peduli pada kami berdua. Datang kerumah hanya untuk memberitahu kalau dia sudah mempunyai calon istri dan siap menikahinya. Aku menyentuh lengan Shaka mencoba untuk menenangkan walau pun sebenarnya itu percuma.

"Papa tahu selama ini sudah salah mengabaikan kalian, papa minta maaf. Papa mohon sama kamu, ada hal yang memang tidak akan bisa kalian mengerti soal menjadi orang tua dan masalah mereka. Papa minta sama kalian berdua untuk menerima tante Aisyah sebagai istri papa, ibu bagi kalian juga".

"Aku tidak akan pernah setuju pa, sampai kapan pun gak akan pernah merestui pernikahan papa sama dia. Aku dan Shaina kehilangan kasih sayang dari kalian sebagai orang tua seharusnya papa menebus dulu kesalahan itu. Bagaimana bisa papa berpikir untuk menikah lagi sedangkan keluarga ini masih berantakan, kalo Shaina tidak bisa menyuarakan hati nya maka aku jelas mampu melakukan nya pa. Aku enggak setuju!"

Shaka sangat menyeramkan jika tersulut emosi, tapi aku tahu papa juga tak kalah seram mereka berdua adalah dua lelaki yang memiliki kepribadian hampir sama. Papa berdiri dan menatap Shaka dengan wajah memerah, aku tidak sanggup melihat adegan selanjutnya yang mungkin akan adu jotos antara ayah dan anak tapi tak ku sangka kalau Papa ternyata duduk dihadapan kami berdua. Ia melihat wajah ku dan Shaka bergantian dengan air mata yang menggenang, aku hampir berpikir kalau ini mimpi melihat papa yang menahan tangis tapi sentuhan nya pada tanganku membuat semua nya jelas. Ini semua kenyataan, papa tidak pernah merendahkan diri pada ku apalagi pada Shaka tapi sekarang ia bahkan berlutut hanya agar kami mengizinkan nya menikah. Sebenarnya siapa yang menjadi orangtua disini, kenapa keadaan seolah menjadikan aku dan Shaka sebagai orang tua bagi papa.

"Shaina, Shaka. Papa tahu kalian pasti sangat tertekan selama ini, sebagai orang tua yang sudah gagal menjaga kalian, papa cuma ingin kalian tahu kalau papa juga butuh pendamping yang bisa menemani dalam semua keadaan, membantu papa mengurus kalian, menjadi tempat papa berbagi semua keluh kesah. Kalian akan tahu hal ini jika sudah berkeluarga, Shaina papa minta maaf sama kamu."

Papa menatapku dengan penyesalan yang amat besar, aku mengenalnya seumur hidup ku, papa adalah cinta pertama yang ku kagumi, dia pria yang baik dan bertanggung jawab. Luka yang dia torehkan dalam hati ku, itu semua ada penyebab nya. Mama adalah sumber kerusakan rumah ini, aku sudah mengerti arti tanggung jawab ketika mama dengan mudah nya mengalihkan tugas sebagai seorang istri kepada mbak. Dia tidak pernah melayani papa selayaknya suami, setiap malam aku mendengar mereka bertengkar hanya karena mama tidak ingin disentuh oleh papa. Semua akar masalah bermula dari mama, setelah berpisah pun papa tetap memberikan nafkah pada mama. Aku kecewa tapi tidak bisa menyalahkan salah satu dari mereka, sikap mama yang egois mungkin tidak akan semakin jadi kalau bukan papa juga yang membuatnya tidak nyaman. Mereka memiliki kekurangan masing-masing.
Air mata ku mengalir perlahan, papa menghapusnya dengan sebuah senyuman dan usapan yang lembut. Andai aku memahami bahwa menjadi orang tua itu tidak lah mudah apalagi saat mental seseorang belum kuat untuk mengarungi bahtera rumah tangga, mungkin perpisahan adalah cara terbaik untuk membebaskan diri dari tekanan. Mama melakukan nya tanpa pikir panjang, dan papa hanya melepaskan dengan rasa sakit.

LIMERENCE (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang