39. Diusir

36 6 3
                                    

Astagaa lama sekali aku off ya man teman, aduh sumpah aku malu banget sebenarnya muncul lagi kayak gini. Disini aku banyak boongnya terus menerus, janjiin sana sini tapi gak di tepatin huhu. Maafffff sebesar dan sebanyak-banyaknya.

Ternyata kalo diliat-liat ini cerita dari tahun 2019 tapi kagak kelar kelar hmm, maaf sekali lagi. Sebenarnya udah insecure banget gak ada yang baca, bahkan sejujurnya aku sudah lupa sama alur cerita ini. Laptop aku juga baru huhu. Sampe ada yang tiba-tiba email aku dong, eh ternyata salah satu reader huwaaa sejujurnya ku terharu pake banget. Pikirku ternyata masih ada yang minat baca cerita ini. Terima kasih itu sangat memotivasi bangeeett. Tapi aku baru bisa up lagi malam ini karena tanggung jawab aku sudah selesai sebagai mahasiswi, alhamdulillah banget bisa selese dan kembali nerusin ini cerita. Aku udah buat ulang alur ceritanya, dan ternyata masih lama laaahhh endingnya huhu kan boong lagi karena bilang bakal cepet end.

Untuk sekarang ini udah deh gamau janjiin lagi, aku bakal up sesuai dengan kesanggupan aku aja yak. Semoga kalian masih ingat yaa. Huhu feel nya juga semoga masih dapat. Untuk cara penulisan mohon maaf kalau kaku dan terkesan beda dengan chapter sebelumnya. Selamat membacaaa....

*****

"Kamu sudah tau alasan kita berbicara seperti ini?"

Kalimat tanya tersebut menjadi awal dari suasana tak hangat itu antara anak dan Bapak pada pelataran masjid yang masih terdapat beberapa santri. Pertanyaan yang sangat susah dijawab oleh Abdurrahman, ia tau jika Bapaknya sangat marah namun dikemas dengan sabar.

"Kenapa tiba-tiba saja hilang dari pondok?"

"Tanpa kabar?"

"Tanpa memberitahu dan mengamanahkan tugas?"

"Bahkan tak nampak sama sekali dimasjid?"

Abdurrahman yang menunduk semakin tertunduk, ingin membela namun dia sadar bahwa dialah yang salah.

"Jujur, Bapak mulai meragukanmu," kali ini Abdurrahman mendongak dan menatap Pak Kyai yang begitu tegas duduk bersila menghadap parkiran dengan memandang langit.

"Mohon ampun, Pak," Abdurrahman kembali menunduk.

"Bapak senang kamu sudah kembali..." Pak Kyai beralih memandang anaknya yang menunduk dengan penyesalan. "... Tapi, untuk waktu satu tahun ternyata belum cukup membuat kebiasaan burukmu hilang."

Abdurrahman sekali lagi mendongak yang langsung bertatapan dengan Pak Kyai. Ia sungguh terkejut karena Pak Kyai bisa frontal mengkritik dan bahkan menyinggung masa kelamnya. Abdurrahman ingin sekali menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun ia kembali berpikir bahwa ia juga pihak yang salah. Laki-laki itu hanya bisa berharap kali ini Pak Kyai dapat memaafkannya kembali.

"Mohon maaf Pak," Pak Kyai mengehela nafas berat dan memusatkan kembali pandangannya pada langit.

"Bahkan kamu tak berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi."

Abdurrahman tercengang dengan penuturan Bapak, ia segera mencoba menjelaskan "Atika sedang sakit Pak."

"Sakit?"

"Iya Pak, Abdullah ingin menjaga istri Abdullah."

Hening, tidak ada respon dari Pak Kyai. Abdurrahman masih menatap Bapaknya yang mulai menoleh kearahnya, ia menjadi gugup karena mata Pak Kyai menghunus tepat dimata Abdurrahman.

"Jika kamu diminta untuk memilih Allah atau Atika, apa yang kamu lakukan?"

Abdurrahman mulai mengerti arah pembicaraan Pak Kyai, ia juga merasa telah berdosa. Kembali ia merenung tanpa mengalihkan pusat matanya pada mata Pak Kyai.

Abdurrahman X Atika Zaman NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang