43. Atika : Semua terasa menyebalkan

14 2 0
                                    

Typo bertebaran, maaf atas ketidak nyamananya. karena aku tulis ini tanpa aku baca ulang

******

Aku tidak tahu ada apa dengan diriku saat ini. Sudah terhitung 3 hari aku sudah banyak merepotkan orang-orang disekitarku, oh lebih tepatnya Fatimah dan Aidin. Jika biasanya aku melihat mereka selalu tidak akur, maka demi aku mereka terlihat sangat kompak seperti saat ini.

"Kak Atikaaaa, tapi memang bener bener gaada cilok isi rumput laut disini."

Sejak kemarin aku ingin sekali makan cilok dengan isian rumput laut itu, tapi kenapa hingga sore ini aku masih belum bisa makan keinginanku itu. Menyebalkan, aku bukan hanya sekadar ingin tapi entah mengapa terasa cilok isi rumput laut itu terlihat jelas dimataku dan lidahku benar-benar ingin merasakan jajanan itu.

Astagfirullah.

Aku menunduk, lagi dan lagi aku hanya bisa merepotkan. Kenapa aku seperti ini? Aku bahkan sudah tahu jika adik iparku itu belum makan dari siang hari. Pulang dari kafe aku langsung menodongkan janji yang ia berikan, yaitu membawa jajanan yang aku inginkan.

Fatimah mendekat kearah aku duduk, saat ini aku duduk disofa sedangkan Fatimah berada didepan pintu. Aku bisa merasakan perempuan itu juga ikut mensejajarkan posisi dengan berjongkok didepanku.

"Yaaahhh nangis lagi," ujar Fatimah dengan suara putus asa.

Aku mendongak sedikit untuk melihat raut wajah Fatimah yang terlihat khawatir, kemudian kembali menunduk. Aku merasa bahwa aku semakin tidak tahu diri saja.

"Kak Atika jangan nangis dong, besok deh. Aduh aku janjiin lagi..." ucap Fatimah dengan akhir yang menggumam namun masih terdengar jelas ditelingaku, "Besok deh, besok kalau misal aku belum juga dapetin cilok isi rumput laut maka aku yang akan buat sendiri buat kak Atika."

Aku mendongak, terlihat Fatimah dengan raut lelah namun terlihat sungguh-sungguh dengan ucapannya. Sungguh aku akan selalu berdo'a untuk Fatimah agar bisa mendapat kehidupan yang baik dan selalu diberi kebahagiaan. Ketulusan dan rasa cintanya untukku sangat terlihat jelas. Bahkan dari satu bulan aku meminta sesuatu dia pasti mengabulkannya, walaupun susah ia akan selalu menepati janjinya. Terkecuali dengan cilok isi rumput laut ini yang memang sulit didapatkan, atau justru memang belum ada yang menjual makanan ringan ini.

Fatimah masih saja menampilkan senyum 3 jari dengan memperlihatkan giginya, sebegitu keras usahanya untukku. Aku saja yang sangat kurang ajar, sudah banyak merepotkan dan menyusahkan. Andai saja ada Mas Abe maka aku akan meminta padanya.

Yahh aku tidak pernah lupa dengan sosok itu walaupun sudah terhitung 5 minggu ia menghilang, aku masih menunggu pria itu. Aku kembali menunduk, isak tangisku mulai keluar.

"Terima kasih Fatimah," aku rasa ucapan terima kasih memang tak membantu banyak namun aku hanya ingin mengapresiasi usaha adik iparku. Bukannya semakin tersenyum lebar, Fatimah justru semakin khawatir karena mendengar suaraku yang bergetar karena menahan tangis.

"Kak, kak Atika kecewa ya."

"Kak Atikaaaa, maaf. Maaf banget karena udah gak nepatin janji lagi, janji ini yang terakhir. Besok beneran pasti udah ada kok."

Aku semakin terisak, padahal aku sudah menahannya namun semakin kutahan maka semakin keras pula bahuku bergetar hingga aku tak kuat untuk tak mengeluarkan suara. Melihat aku, Fatimah terlihat semakin kelabakan berusaha untuk menenangkanku. Menyebalkannya ketika ia terus membahas masalah cilok isi rumput laut itu, dia seharusnya peka kalau aku saat ini merasa bersalah karena telah merepotkannya.

"Aku.. a-aku aku huwaaaaaaaaa."

"Loh loh loh kenapa kak? Kak Atika sesak ya?" Fatimah membuat aku bersandar pada kepala sofa dengan mendongakkan kepalaku ke atas.

Bukan ini yang aku maksud, "Aku a-aku akuu huhuhu huwaaaaaa."

"Kenapa kak?" heran Fatimah saat melihat aku kembali pada posisi awal sedangkan ia sendiri saat ini sedang duduk disebelahku.

"Aku a-aku huhuhuuuhuuuuu Fatimaaahhh," kenapa susah sekali ngomong saat menangis seperti ini.

"Iya kak? Kakak butuh apa?" aku menggeleng dengan terus menangis.

"Ada yang sakit?" lagi-lagi aku menggeleng.

"Kakak jangan nangis lagi ya, nanti suara kakak abis loh," bujuk Fatimah seperti membujuk anak kecil. Namun aku semakin kencang menangis, hingga Fatimah lelah dan beralih dengan memelukku.

"Yaudah aku tungguin."

Setelah 5 menit aku mulai mereda dan terasa lelah serta sangat mengantuk. Masih dalam pelukan Fatimah, mataku tak kuat menahan untuk terbuka. Aku menurutinya dan perlahan memejamkan mata.

*****

Aku terbangun dari tidur. Benda yang pertama kali aku lihat adalah lampu, lampu kamar.

"Siapa yang memindahkan aku kesini? Bukannya aku abis nangis terus tidur ya? Atau aku lupa?"

Aku mulai bangkit dari posisi tidur untuk duduk dan melihat jam dinding. Jam 12.30 malam, yang artinya aku sudah tidur selama 6 jam.

"Astagfirullah aku belum sholat isya'," aku segera turun dari kasur dan berlari kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Setelah aku sholat, rutinitas selanjutnya adalah berdzikir, berdo'a dan bersholawat. Muncul lagi satu kebiasaan, menangis. Lagi dan lagi atau bahkan ratusan kali aku menyebut nama suamiku agar selalu diberi kemudahan dan segera pulang dan kembali bersamaku. Aku masih merindukannya dan akan selalu merindukannya mungkin hingga aku benar-benar bisa bertemu dengannya atau justru terbiasa tanpanya.

Kruyukkkk

"Lapar."

Panggilan perut ini mah, entah kenapa setiap jam 1 malam aku selalu merasa lapar. Walaupun aku sedang tidur, aku pasti akan terbangun dan tiba-tiba aku ingin makan nasi goreng pinggir jalan milik pak Tatang. Bahkan aku hampir melakukan aktivitas ini selama seminggu tanpa jeda.

Aku mengemasi seluruh alat sholat. Mengambil kerudung kemudian aku mengendap-endap keluar kamar. Aku hanya takut jika Fatimah melihat aku keluar rumah saat malam hari.

Hampir sampai. Tinggal melewati ruang tamu kemudian aku bisa membuka pintu dan aku bisa keluar.

Saat ingin melewati ruang tamu, aku melihat Fatimah yang tidur diatas sofa. Aku berhenti sejenak. Fatimah sudah mengganti bajunya. Namun raut tenang saat ia tidur itu mampu menghipnotis aku untuk mendekatinya. Kunaikkan selimut yang turun dibawah dadanya. Sekali lagi aku merasa sangat bersalah.

"Fatimah kenapa tidur disini?" tanganku terangkat hingga pada kepalanya untuk ku usap lembut.

"Fatimah udah makan belum?"

Kruyukkkk

Aku kembali teringat dengan rasa laparku. Kembali aku menjalankan misi, nanti aku akan membungkus nasi goreng juga untuk Fatimah.

Ceklekk

Berhasil membuka pintu tanpa mengusik Fatimah, aku segera keluar. saat ingin membalikkan badan setelah mengunci pintu, aku benar-benar merasa terkejut.

"Astagfirullah Aidin," desisku karena tak ingin Fatimah bangun.

Tidak merasa bersalah, Aidin tersenyum lebar sambil mengangkat bungkusan yang ia bawa kedepan mukaku.

"Mau beli nasi goreng pak Tatang kan? Nih udah aku bawain."

Aku melongo. Sejak kapan Aidin tahu kebiasaan malamku. Hingga aku kembali terkejut karena tiba-tiba pintu terbuka lebar dari dalam.

"Fatimah?"

"Hayoo mau kabur ya?" selidik Fatimah sambil bersidekap tangan.

"Gak pake jaket lagi," imbuhnya dengan sinis.

Aku merasa terintimidasi dengan tatapan Fatimah, aku mengalihkan pandangan pada Aidin yang ternyata sama sinisnya dengan Fatimah. Aku kalah.

"Ish menyebalkan."


Bersambung...

Abdurrahman X Atika Zaman NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang