50. Rapuh

15 3 0
                                    


Sudah terhitung 2 minggu setelah kepulangan Atika dari rumah sakit. Tidak ada perubahan, Atika masih tetap sama dengan keadaan bersedih. Ia akan mengalami mual muntah walah saat ini sudah mulai berkurang. Fatimah juga menyediakan stok susu hamil untuk Atika, bahkan ada pula buah dan sayur serta makanan yang dibutuhkan oleh ibu hamil. Atika tak menolak itu, namun ia hanya merasa malas untuk mengonsumsinya.

Fatimah sudah mulai sibuk ikut berpartisipasi dalam pondok, ia mengajar santri pada tingkat madrasah ibtidaiyah karena kurangnya pengajar. Namun tetap Atika adalah prioritas utamanya. Sebagai pengganti Fatimah, Umi akan datang kerumah setiap hari.

Saat ini Umi sedang menyisir rambut Atika dengan sayang, walau tersenyum namun sifat perasa Umi selalu saja tersentil melihat konsidi menantunya. Atika saat terlihat seperti mayat hidup. Rambutnya sudah tak sesehat dulu, terlihat lebih Panjang namun sangat kusam. Kulit putihnya mulai memperlihatkan tulang, meskipun hamil ia terlihat lebih kurus. Kantung mata yang lebih menghitam dan bibir yang terlihat kering.

Atika tetap melakukan aktivitas seperti biasanya, namun sifat ceria itu sudah tidak ada lagi. Ia jarang berbicara, dia akan mengeluarkan suara hanya ketika menjawab pertanyaan. Atika hanya makan untuk janinnya saja, ia makan hanya ketika ia sudah benar-benar merasa lancer. Ia tak menolak minum susu dan vitamin, namun ketika lupa ia tidak akan merasa ada masalah.

Karena mudah lelah, Atika kerap kali tidur dimana saja bahkan bisa di sofa atau meja makan ketika menunggu Umi datang atau Fatimah pulang. Sedangkan Umi dan Fatimah sudah meminta Atika untuk mengurangi aktivitas rumah.

"Sudah, menantu Umi sudah cantik," Umi meletakkan sisir Atika diatas meja rias kamar Atika.

Dalam pantulan cermin, Atika hanya membalas pujian Umi dengan tersenyum. Atika tahu jika Umi hanya memujinya sebatas pada mulut, karena ia melihat dirinya pada cermin justru terlihat tidak semenarik dulu.

"Atika sudah makan?" Atika menjawab dengan anggukan.

"Sudah minum susu?" Atika mengangguk.

"Minum vitamin?" lagi-lagi Atika mengangguk.

Umi tersenyum, ia meremas lembut bahu Atika seakan-akan ingin memberikan kekuatan. Umi tidak masalah dengan respon Atika yang sederhana. Ia sudah cukup senang Atika yang mulai mau berinteraksi, Umi akan merasa sedih jika mengetahui Atika yang mulai menangis seperti awal-awal keluar dari rumah sakit.

"Umi hari ini ada pengajian," Umi menjeda ucapannya untuk menghadap langsung kepada Atika "mau ikut?"

Atika menggeleng tanda bahwa ia tidak mau. Bukan pertama kali Atika menolak ajakan Umi, hingga saat ini Atika masih tidak ingin keluar rumah. Ia juga membatasi diri dari lingkungan luar. Jika dulu ia masih sering berkebun, maka saat ini ia hanya berdiam didalam rumah.

"Yasudah tidak apa-apa, nanti Umi bilang ke Fatimah ya, biar dia langsung pulang," Atika mengangguk.

"Umi pamit dulu, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

*****

Seorang wanita dengan lihai mengolah tepung, telur dan ragi hingga menjadi satu adonan donat yang begitu menggugah selera, sesekali ia meringis dan mengusap lembut perutnya. Tanpa menghiraukan rasa sakit pada perutnya, Atika tetap lanjut meneruskan aktifitasnya.

"Eumm harum sekali, lagi goreng apa ini?"

Atika menolah ketika ada yang datang, ternyata Fatimah orangnya. Atika tersenyum kemudian menaburkan gula putih halus dan serbuk kayu manis sedikit diatas donat, tak lama ia menyuap donat tersebut kepada Fatimah yang sudah menunggu.

"Seperti biasanya, selalu enak," ucap Fatimah disela menguyahnya.

Atika tersenyum, ia selelu merasa hidup dengan memasak. Berawal dari mengidam ingin makan kue kering, hingga ia mulai suka dengan hobi ini. selain itu akan selalu ada Fatimah, Umi dan Aidin yang selalu menanti hidangan dari Atika. Bahkan dalam sehari ia bisa membuat 4 macam kue kering maupun kue basah untuk mengisi keseharian dirumah.

Berbeda pikiran dengan Atika, justru Fatimah maupun Umi suka dengan Atika yang seperti ini. Memasak atau membuat kue setidaknya bisa membuat Atika tersenyum dan terlihat lebih hidup. Oleh karena itu, kue apapun yang disajikan Atika akan di apresiasi dengan sebaik mungkin. Baik Fatimah, Umi maupun Aidin berharap Atika akan perlahan sembuh dari lukanya walaupun tidak bisa seratus persen. Terlebih sudah ada kehidupan baru diperut Atika.

"Haloo keponakan Ammah, apa kabar disana?" ucap Fatimah didepan perut Atika. Kebiasaan ini juga yang mampu membuat Atika tersenyum.

"Baik, Ammah," jawab Atika dengan menirukan suara anak kecil.

"Alhamdulillah."

"Kamu lagi berenang ya didalam sana?" Atika terkekeh dan disusul Fatimah dengan tawa hingga tiba-tiba Atika meringis.

"Eh, kenapa kak?"

"Ayo duduk dulu," Fatimah memapah kakak iparnya pada sofa ruang tamu.

"Fatimah ambilkan minum ya," Atika hanya bisa mengangguk.

Tak berselang lama Fatimah datang dari dapur dengan segelas air. Ia membimbing Atika untuk minum. Setelanya ia memijit pelan kaki Atika yang terlihat bengkak. Dengan telaten Fatimah melepas kaos kaki yang dikenakan oleh Atika.

"Kakak hari ini gak banyak aktifitas kan?"

"Sudah makan?

"Sudah minum susunya?"

"Sudah minum vitaminnya?"

"Dedek hari ini rewel ya kak?"

"Keponakan aku minta apa?"

"Mau keluar kemana gitu?"

"Butuh sesuatu?"

"Kakak jangan terlalu banyak berpikir yang berat-berat ya"

Atika selalu merasa terharu disaat-saat seperti ini. Sesekali memang perutnya terasa nyeri namun ia tidak tau dengan alasan apa. Namun yang yang ia tau bahwa ibu hamil memang seharusnya tidak boleh banyak stress. Fatimah yang lelah selepas pulang kerja dengan perhatian menyisahkan waktu untuk memijit kakinya, ia juga merasa bahwa Fatimah justru lebih perhatian dengan anaknya daripada dirinya sendiri.

Atika juga merasa bahwa ia sebagai beban saja disini. Melihat Umi yang setiap hari datang dengan makanan, bahkan bolak balik juga hanya untuk menemani dirinya agar tidak sampai sedirian didalam rumah. Aidin pun ikut ia repotkan karena sering mengirim keperluan atau bahkan keinginan yang aneh untuknya.

'Apakah pantas aku seperti ini? menjadikan kepergian Mas Abe menjadi alasan dari kerepotan ini semua. Bahkan anakku sendiri harus lebih kuat dari Bundanya,' batin Atika.

Bersambung...

Abdurrahman X Atika Zaman NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang