51. Bangkit

6 1 0
                                    

Magrib, sudah menjadi rutinitas bahwa Fatimah akan pulang. Namun, hari ini berbeda. Atika sedang termenung menatap jendela, bukan karena menunggu adik iparnya pulang karena Fatimah sendiri sudah memberi kabar bahwa ia tidak akan pulang malam ini untuk persiapan pesanan yang akan diambil pagi hari. Kini wanita yang sambil mengelus lembut perutnya sedang menunggu mertuanya datang, Atika tahu jika Umi akan datang sebagaimana yang dikabarkan Fatimah.

Lengkungan senyum ia melihat seseorang datang, "Umi datang."

Dengan berlari kecil Atika menuju pintu seiringan dengan ketukan serta salam dari Umi. Atika pun menyambut dengan hangat untuk segera ke dapur.

"Atika lapar?" tanya Umi yang melihat Atika tersenyum sedari beliau datang.

Gelengan Atika cukup sebagai jawaban.

"Atika, mohon maaf ya Umi gabisa lama-lama ini. Lagi ada pengajian malam di pondok, Atika dirumah sendirian gapapa?" senyum Atika luntur dan perubahan raut itu disaksikan oleh Umi.

"Atau Atika mau ikut Umi? Nanti pulangnya bisa ke ndalem sama Umi. Biar Atika nggak sendirian di rumah."

Umi sudah akan menyangka bahwa menantunya tidak mau atau gelengan kepala yang didapat, namun Atika lagi-lagi membuat Umi terdiam.

"Mau Umi," suara pelan Atika dengan anggukan semangat membuat Umi merasa semakin aneh hingga tak sadar Umi melamun.

"Umi.. Umi.. Jadi, berangkat sekarang?"

Umi yang belum sepenuhnya sadar hanya mengangguk sambil berjalan naum masih dalam keadaan diam. Begitu pula Atika yang hanya diam dengan senyum yang selalu merekah bahkan sepanjang pengajian dilaksanakan.

*****

Semalam, Atika menolak untuk menginap dan memilih untuk pulang ke rumah dengan menanggung resiko bahwa ia akan sendirian dirumah. Namun, ia sudah cukup tenang dan tidak khawatir dengan apapun, bahkan terasa lebih ringan.

'Ternyata hidup akan mudah jika kita sudah ikhlas dengan takdir dan mau berdamai dengannya' batin Atika.

Umi seperti biasa, pagi hari akan datang pada kediaman menantunya. Membawa bekal makanan yang biasa ia makan dengan menantunya. Hingga akan mendekati waktu dhuhur beliau akan kembali kepondok untuk mengikut pengajian. Sejujurnya bisa dikatakan berjalan kesana kemari sungguh melelahkan, namun Umi berpikir bahwa perannya sangat dibutuhkan saat ini oleh menantunya.

Hingga didepan pintu, sebelum Umi mengetuk justru pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu memperlihatkan Atika dengan senyuman tulus.

"Assalamu'alaikum Umi."

Umi terdiam beberapa saat, beliau masih saja terkejut dengan perubahan menantunya. Jika biasanya Atika akan datang dengan diam namun kali ini dengan senyuman ringan.

"Mari masuk umi," dengan masih keterdiaman Umi pun masuk.

"Umi hari ini masak apa?" Umi seketika tersadar.

"Oh, Eh iya.. ini masak balado."

"Atika doyan kan?" sambung Umi.

Atika tersenyum mengambil nasi untuk Umi dan dirinya, "Apapun masakan Umi pasti Atika suka."

Umi tersenyum haru, Atikanya sudah kembali.

*****

Fatimah dengan semangat pulang ke rumah, ia sudah mendapat kabar dari Umi kalau Atika sudah kembali pada awalnya. Perempuan itu penasaran apakah benar kabar itu, karena tadi pagi dirinya berangkat pagi sekali karena harus mempersiapkan barang datang untuk kafenya.

"Assalamu'alaikum," tidak ada sahutan.

"Kak?"

"Kak Atika?"

Fatimah semakin masuk dalam rumah hingga ia menemukan kakak iparnya sedang mengemas kue-kue keringnya kedalam toples yang sudah dibeli label dan terkunci rapat dengan lakban. Ia semakin penasaran, bukankah Atika akan meletakkan pada piring seperti biasa kemudian disimpan pada lemari pendingin.

"Eh Fatimah sudah pulang?"

"Iya, tadi aku salam tapi kakak tidak dengar."

"Iya? Wah maaf maaf, kakak lagi repot ini."

Fatimah semakin mendekat pada Atika, "ini bukannya kue kue kakak?"

Atika mengangguk, "Iya."

"Coba cicip," Atika menyuap Fatimah "enak?"

Fatimah mengangguk, ia berpikir bahwa benar apa yang dikabarkan oleh Uminya. Atika lama sudah hadir kembali. Tanpa sadar Fatimah tersenyum.

"Ini kakak tadi minta tolong ke Aidin untuk beli toples dan print label," lagi-lagi Fatimah dibuat terkejut dengan perubahan Atika.

"Kakak memutuskan untuk menjual kue-kue kering ini, makaya kakak kemas dengan sebaik mungkin. Yaa biar menarik juga sih. Lihat deh label yang dibikin Aidin bagus banget ya? Lucu gitu warna warna pastel," cerocos Atika.

Entah sudah berapa kali dibuat terbengong-bengong oleh Atika. Namun ia cukup senang dengan perubahan ini, artinya Atika sudah mau berdamai dengan hidupnya sendiri dan sudah bisa berjalan dengan seperti dulu.

"Iya kak, tapi kenapa tiba-tiba banget?"

"Maksud aku, maksud aku itu kakak apa gak capek? Kalau dijual, kakak akan lebih banyak lagi produksinya. Kakak yakin?" Fatimah berusaha tidak menyinggung perasaan Atika.

"Fatimah?'

"Iya kak?"

"Kakak aneh ya?"

"Eh?"

"Kakak cuma mau bangkit aja, rasanya melelahkan selalu berpikir hal yang sama setiap hari. Kakak mau berubah."

Fatimah dengan cepat memeluk Atika, Atika yang tidak siap hampir saja jatuh namun bisa ia seimbangkan kembali dan membalas pelukan Fatimah.

"Terima kasih kak."

"Tapi, jangan terlalu memaksakan diri ya. Tetap menjadi pribadi yang buat kakak nyaman."



Bersambung...


Abdurrahman X Atika Zaman NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang