41. Tangis

13 2 1
                                    

Double update alert!!!

*****

Tok tok tok

"Assalamu'alaikum"

Abdurrahman yang mendengar seseorang datang ke rumahnya, segera membuka pintu. Berbeda dengan Atika yang kini luruh terduduk di lantai.

"Wa'alaikumsalam"

Hal yang terlihat jelas ketika membuka pintu adalah Fatimah yang sudah berlinang air mata, mengetahui yang membuka pintu adalah Abdurrahman dengan segera perempuan itu memeluk Masnya tersebut.

"Mas, apa benar yang dikatakan oleh Umi?"

Abdurrahman mengangguk.

"Mas akan pergi dari pondok lagi?"

Abdurrahman mengangguk.

"Mas akan meninggalkan kak Atika?"

Kali ini Abdurrahman mencoba menenangkan adiknya dengan menahan bahu Fatimah yang terguncang, ia menatap teduh wajah Fatimah.

"Hanya sementara."

Fatimah menggeleng-gelengkan kepala, "Lalu bagaimana dengan kak Atika?"

Cukup lama Abdurrahman terdiam hingga ia kembali menegaskan, "Oleh karena itu, Mas butuh bantuan kamu."

"Ayo masuk dulu, kita bicarakan didalam saja."

Abdurrahman masuk ke dalam rumah terlebih dahulu yang kemudian disusul oleh Fatimah, setelahnya kedua kakak beradik itu duduk berhadapan diatas sofa ruang tamu.

"Kamu tau benar kan Fatimah, bagaimana perasaan kakakmu?"

Fatimah mengangguk dan mendengarkan Abdurrahman dengan serius.

"Mas kali ini sangat memohon untuk kamu..." Abdurrahman kembali dengan sorot pasrah "tolong, tolong kamu sering-sering menengok kakakmu disini."

"Kamu tau kan kalau kak Atika saat ini jauh dengan keluarganya?"

Fatimah kembali mengangguk dengan air mata yang turun dipipinya, kini perempuan itu tau ujung dari percakapan ini.

"Saat Mas tidak ada sementara waktu ini, tolong kamu cukupi apa yang menjadi kebutuhan dari kakakmu. Kafe atas nama Mas, akan dipegang oleh kak Atika. Kalau bisa kamu lebihkan ya jika memang ada lebihan rezeki. Insyaallah Mas akan bantu dari jauh."

Fatimah lagi-lagi hanya bisa mengangguk, kini ia hanya bisa mengikuti alur dari semua ini.

*****

Didalam kamar yang cukup luas, dengan pikiran masing-masing pasangan suami istri tersebut diam dalam keheningan. Hingga sekian menit sang istri tak dapat lagi menahan tanya.

"Pak, dalam hidup Umi belum pernah meragukan keputusan Bapak..." Umi menjeda kalimatnya untuk mengikis jarak dengan suaminya. "Namun untuk keputusan Abdullah dan Atika, apakah tidak bisa dibicarakan lagi?"

Umi mengusap halus lengan Pak Kyai, "Jika hanya berhubungan dengan anak kita, mungkin Umi tidak akan bertanya. Namun, ini juga menyangkut Atika. Menantu kita itu sedang rapuh, Umi takut akan terjadi hal yang lebih buruk."

Pak Kyai menoleh kepada istrinya, "Astagfirullah Umi, sejak kapan Umi suudzon seperti ini dengan hal yang belum tentu akan terjadi?"

"Astagfirullah," ucap Umi dengan lirih dan raut bersalah.

"Keputusan ini memang tidak mudah bagi kita semua, tapi ini perlu dilakukan agar Abdullah bisa lebih tegas."

Pak Kyai kembali memandang lurus, "Untuk masalah Atika, justru Bapak melakukan ini untuknya."

Abdurrahman X Atika Zaman NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang