07. Nadia - Friend

78 14 4
                                    

Aku bisa merasakan Ezra menangis tanpa suara di pelukanku. Ingin sekali aku bertanya apa yang membuatnya jadi begini, tapi kuputuskan untuk menunda pertanyaanku. Kubiarkan ia merasa tenang lebih dulu, jadi aku hanya terus memeluknya tanpa bersuara apapun.

Entah sudah berapa lama kita berada di posisi seperti ini. Sejujurnya, lututku mulai perih. Celana piyama yang kupakai terlalu tipis untuk menghalangi lututku dari rasa sakit akibat bertumpu lama-lama di tanah kering.

Aku ingin melepasnya dan tidak ingin melepasnya di saat yang bersamaan. Sejujurnya aku merasa nyaman kita seperti ini. Kita seperti berada di titik paling dekat, seperti sudah berteman bertahun-tahun, padahal baru beberapa hari kenal.

Ezra juga tidak ada tanda-tanda ingin melepaskan pelukannya. Dia hanya diam saja, seakan terlalu nyaman memelukku sambil menyandarkan kepalanya di bahuku.

Maaf Ezra, tapi mari kita teruskan pelukannya lain waktu, kakiku sangat pegal sekarang.

Kucoba melepaskan segala kontak fisik kami, tapi aku sangat terkejut ketika tubuh lelaki itu yang seakan tanpa tenaga limbung ke arahku, untungnya bisa kutahan sehingga kami tidak jatuh. Ia membuka matanya, kemudian mulai menguasai diri lagi.

"Gue ketiduran, ya? Sorry," ucapnya tanpa dosa sambil mengucek kedua matanya.

Lah? Ketiduran ternyata. Padahal aku setengah mati menahan perih dan pegal, dia malah tertidur. "Nggak apa-apa."

"Gue cuci muka dulu."

Ezra bangun dari ayunannya lalu berjalan ke arah keran yang berada tak jauh dari sini. Ia mulai membasuh mukanya berkali-kali.

Aku berjalan menghampirinya. "Udah ngantuk, ya? Mending lo pulang, Ra. Besok kan masih harus sekolah. Kalo kesiangan dan telat, bakal dapet hukuman."

Lelaki itu mengangguk kecil. "Sorry banget, Nad. Gue nggak sengaja ketiduran."

Aku tersenyum tipis padanya. "Nggak apa-apa. Yuk! Gue anterin pulang."

"Eh? Kenapa jadi gue yang dianter? Gue aja yang nganter lo pulang. Gue sih gapapa, tapi cewek sendirian malem-malem di luaran tuh bahaya. Rumah lo ke arah mana jalannya?"

"Gue yang nganter lo pokoknya! Gue bisa pulang naik taksi. Masih ada taksi online kok jam segini. Lagian, gue bisa basic bela diri. Tenang aja. Yuk ah!"

Agar tidak membuang banyak waktu, aku menuntun lelaki itu agar mulai berjalan dan tidak berdebat terus.

"Nad. Gue beneran nggak bisa biarin lo pulang sendirian. Terlalu bahaya," kata Ezra sambil berjalan di belakangku dengan tetap kutuntun. Secara harfiah, bisa dibilang aku menggeret dirinya.

"Dibilangin gapapa. Lo nggak percaya gue bisa bela diri? Kalo gue mau, gue bisa bikin lo babak belur sekarang."

Ezra tidak membalas ucapanku lagi, sepertinya sudah mengalah. Dia pun menyejajari langkahku sehingga sekarang kami berjalan beriringan, masih dengan tangan yang saling bertaut.

"Lo kenapa bisa ada di sini? Lo kan nggak tahu rumah gue."

Nah! Aku harus jawab apa? Apa jujur saja kalau aku sempat menguntit dirinya, sehingga aku tahu rumah dan kawasan di sekitar rumahnya?

Cukup lama aku diam saja, hingga Ezra pun menerka sebuah hipotesis akurat, "Lo pernah ngintilin gue sampe rumah?"

Aku meliriknya ragu, dan kulihat tatapannya dipenuhi prasangka.

Karena aku hanya diam saja, dia kembali menodongku, "Lo beneran ngintilin gue?!" tuduhnya dengan suara lebih nyaring. Tautan tangan kami langsung dilepaskannya. "Whoaaa! Bener-bener! Lo emang nyeremin, tapi gue nggak nyangka se-nyeremin ini. Ampun dah! Nggak paham lagi gue."

DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang