76. Arion - Ask

28 4 0
                                    

Saat masih di Surabaya, aku sudah merenungi hidupku, dan aku sadar bahwa ternyata diri ini sangatlah b*r**gs*k.

Aku tidak sedang membicarakan Ezra maupun Nadia. Tapi tentang Aluna.

Dilihat dari sisi manapun, ini tidak adil untuk Aluna. Hidupnya sudah berat akibat tuntutan kesempurnaan dari ayahnya yang b*j**g*n itu. Tapi aku malah makin mempersulit hidupnya, untuk tujuan pribadiku yang jika dipikir-pikir lagi ternyata sangat kekanakan.

Atas dasar kesadaran itulah, aku berniat meminta maaf pada Aluna.

Mengingat perangainya yang naif dan tidak suka cari masalah, sepertinya gadis itu akan mudah memaafkanku.

Memaafkan secara lisan, tapi tidak melupakan.

Gambaran diriku di kepalanya akan tetap sama. Setiap mendengar namaku disebut, dia akan ingat aku sebagai manusia b*r**gs*k yang pernah memanfaatkan kelemahannya. Permintaan maafku hanya akan meredakan sakit hatinya, bukan menghilangkannya.

Karena itu, aku ingin meminta maaf secara antimainstream. Agar Aluna yakin bahwa aku benar-benar menyesali perilaku burukku padanya, dan berusaha menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Oleh siapapun itu, aku tidak ingin diingat sebagai orang yang buruk.

"Lo nggak perlu ngelakuin ini, Arion."

Arah mata gadis itu masih memandang takjub ke arah lembaran folio di tangannya. Sesekali lembaran itu disibak, ditaruh ke sebaliknya, dan melihat lembaran-lembaran selanjutnya yang isinya sama saja.

Isinya adalah tulisan 'Aluna, gue minta maaf atas kelakuan gue dulu ke lo'. Ditulis tangan manual, perbaris tanpa jeda, di sepuluh lembar kertas folio full bolak-balik. Seperti yang pernah kusuruh Aluna untuk melakukannya demi menggantikan hukumanku.

Aku mulai punya ide menulis itu saat malam aku menemui Ezra di apartemen Mark untuk meminta maaf. Kupikir yang berhak mendapat permintaan maaf dariku tak cuma Ezra, tapi Aluna juga.

Mulai malam itu, aku menyicil sedikit demi sedikit menulis di kertas folio tersebut. Bahkan aku membawa kertasku ke Surabaya dan menyempatkan diri 15 menit sebelum tidur setiap malam di hotel untuk menulis itu.

"Iya. Emang nggak perlu banget, sih," ucapku. "Kertas itu juga nggak bakal bermanfaat buat lo. Tapi gue pengen menghukum diri gue sendiri, biar gue dapet efek jera. Dan... Uhm... Ternyata pegel banget nulis sebanyak itu. Nggak kebayang gimana capeknya lo dulu saat gue seenak jidatnya nyuruh lo nulis hukuman gue dalam waktu seminggu."

Aluna terdiam. Bibir bawahnya ia gigit. Tak kuduga, setetes air jatuh dari matanya dan membasahi kertas folio di genggamannya.

Aku tentu bingung. "Eh? Lo kenapa? Jangan nangis."

Gadis itu segera menghapus jejak basah di wajahnya. "Gue ngerasa terharu aja. Ternyata di dunia ini ada orang yang mau ngelakuin hal serepot ini hanya untuk dimaafin sama gue. Gue ngerasa... dihargai, di saat-saat gue lagi kesusahan menghargai diri gue sendiri."

Diliriknya aku yang sedang duduk di bangku taman sekolah di sebelahnya. Lalu ia terkekeh hambar.

"Gue kelihatan menyedihkan banget, ya? Nggak usah kasihan. Gue lagi berusaha, kok," ucapnya.

"Berusaha menghargai diri lo sendiri?" tanyaku.

"Berusaha untuk ... nggak jadi cewek yang menyedihkan. Jadi kalo lo pengen dimaafin, caranya cukup dengan nggak mengingat gue sebagai orang yang menyedihkan. Itu aja udah cukup buat gue."

Aku tersenyum. "Lo nggak menyedihkan, kok. Malahan lo keren."

"Cih! Keren apanya?!" tukasnya sebal, tapi sorot matanya menyiratkan pengharapan agar aku tetap pada pernyataanku.

DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang