43. Nadia - Distance

39 9 0
                                    

Aku bangun dengan kepala yang terasa sangat pusing. Di sisi kasur, kulihat Arion memejamkan matanya damai. Masih dengan posisi duduk dengan kepala yang ditidurkan di sisi kasurku.

Apa dia semalaman tidur dengan posisi duduk seperti itu?

Yang kuingat, semalam aku menangis dalam pelukan Arion cukup lama. Setelah tangisanku agak reda, aku disuruh Arion segera tidur. Dia memberi kata-kata manis sebagai penghiburan dan melarangku memikirkan segala sesuatu yang membebani. Langsung tidur saja.

Dia memang ada di posisi begini saat terakhir aku melihatnya. Tapi, tak kusangka dia ketiduran sampai pagi dengan posisi tak nyaman begitu.

Kududukkan badanku, membuat kasur sedikit bergoyang dan tanpa sengaja membangunkan Arion.

"Nad..." panggilnya dengan suara serak dan berat. Matanya mengerjap lemah mencari wajahku. "Udah bangun?"

Aku mengalihkan pandanganku darinya. "Lo ngapain nginep di sini? Pulang sana!"

Bukannya tersinggung karena ucapan sinisku, Arion justru membalas dengan lembut. "Udah jam delapan, Nad. Udah telat banget buat sekolah."

"Mau sekolah atau nggak, lo nggak seharusnya ada di kamar gue!"

Dia bangkit dan berpindah untuk duduk di sisi ranjangku. Lewat lirikan kecil, bisa kulihat ia tengah melihat ke arahku.

"Oke. Gue akan pulang buat mandi dan ganti baju sebentar. Abis itu, gue bakal ke sini lagi."

Terang-terangan aku menatapnya nyalang. "Lo nggak ngerti juga?! Gue terganggu sama kehadiran lo, dan nggak pengen lo ada di sekitar gue! Paham nggak sih?!"

Arion tersenyum masam, lalu berdiri. "Baik-baik, ya?"

Menuruti ucapanku, dia melangkahkan kaki menuju pintu kamar, lalu pergi dari kamarku.

Ada alasan khusus kenapa aku mengusir Arion dengan kasar begini. Yaitu, aku tidak mau menangis di depannya lagi.

Karena, sepeninggalnya Arion, aku langsung menumpahkan air mataku, walau tak sederas yang semalam.

Menyadari bahwa kejadian semalam bukanlah mimpi membuat rasa sesak itu kembali bangkit. Sesak yang membuatku sangat ingin menusuk jantungku sendiri dengan pisau.

Bagaimana bisa aku begitu bodoh?

Kenapa semuanya jadi begini?

Kenapa aku tidak tahu apa-apa?

Dan sekarang, saat semuanya sudah terlalu jauh, aku kesulitan untuk mengakhiri semua ini.

Aku menyayangi Ezra, tapi Ezra mencurigaiku. Di matanya, aku adalah penyihir jahat yang siap menumbalkan dirinya pada monster berdarah dingin. Padahal, aku hanyalah gadis bodoh yang terjebak masuk ke situasi sialan ini.

Sekarang, apa yang harus kulakukan? Aku sudah telanjur terjebak dalam situasi ini. Bagaimana caranya aku menghadapi semuanya?

Ezra.

Aku harus menghubunginya untuk menjelaskan situasiku!

Iya. Dia pasti mau mengerti, kalau aku selama ini tidak tahu apa-apa dan tak ada niatan buruk padanya.

Kucari ponsel milikku, dan kutemukan dengan mudah di atas nakas.

Namun, saat aku mencoba menghubungi nomor Ezra, justru orang lain lah yang mengangkat panggilanku.

"Jangan hubungin Ezra dulu, Nad."

Aku tertegun mendengar ucapan Mark. "K..kenapa?"

"You hurt him. Kamu memang nggak sengaja, tapi tetep aja. Dia lagi nggak bisa mikir yang baik-baik tentang kamu. Kamu harus kasih dia waktu untuk sendirian dulu."

DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang