42. Ezra - Drunk

35 10 0
                                    

Sejak mobil yang aku dan Mark tumpangi ini pergi dari area depan sekolah, aku tak pernah berhenti memikirkan Nadia.

Bahkan, sejak jauh-jauh waktu sebelumnya pun aku terus memikirkan gadis itu.

Saat jam pelajaran berlangsung. Saat pagi hari setelah bangun tidur. Saat semalam sebelum pergi tidur. Dan seharian di hari Minggu kemarin, terhitung sejak aku pergi dari rumah Aluna setelah diberitahu sebuah pernyataan yang sangat ganjil di telingaku.

Biarpun ganjil, diam-diam aku menemukan kelogisan dari ucapan Aluna.

Berkali-kali aku menyangkal, berkali-kali pula aku jatuh sendiri. Tak bisa kupungkiri, ucapan Aluna bisa jadi alasan yang sangat masuk akal atas semua pertanyaanku tentang Nadia dan segala sikap tak wajarnya.

Aku sangat takut sekarang.

Kendati aku masih bersikap biasa di depan Nadia, sebenarnya aku sangat ketakutan.

Hanya saja, ketakutan itu kutahan kuat-kuat dengan menjejalkan penolakanku atas pernyataan Aluna.

Aku terus-terusan menolak, menghindari segala hal yang membuatku merasa sakit, karena itulah caraku mempertahankan diri.

Untungnya aku bisa bertahan, setidaknya selama lebih dari 24 jam ini.

Dengan terus denial seperti ini, aku berhasil menjalani hari tanpa dibantu obat penenangku, karena obat itu memang sudah habis.

Dengan terus kabur dari monster yang mengacak-acak benteng pertahananku, aku berhasil menyelamatkan diri agar tidak terluka.

Dengan berteduh pada payung penolakan, aku berhasil tidak basah meski rinai nestapa menghujaniku seharian.

Aku selalu ingin jadi lebih kuat. Aku ingin bisa mengayunkan pedangku untuk melawan monster dalam kepalaku, sehingga aku tidak perlu bertindak pengecut dengan terus bersembunyi.

Karena aku sadar, dengan terus kabur dan bersembunyi seperti ini takkan membuat monster itu mati dengan sendirinya.

Satu-satunya pilihan yang harus kulakukan adalah menghadapi monster itu, menaklukkannya, sehingga aku bisa menata ulang segala yang telah hancur, dan juga memulai kehidupanku dengan lebih tenang dan bahagia.

Aku tidak ingin terus-terusan bersembunyi seperti ini.

Namun, bagaimana?

Aku tidak yakin bisa menghadapi monster itu.

Aku takut pedangku tak cukup tajam, dan kemampuan perangku tak cukup baik, hingga malah membuatku mati di arena pertarunganku sendiri.

Atas dasar ketakutan itu, aku lebih memilih bersembunyi.

Namun, bagaimana jika tempat persembunyianku selama ini ternyata adalah markas monster itu?

Bagaimana jika tempat berteduhku selama ini adalah perangkap monster itu?

Apa yang harus kulakukan?

Apa aku akan mati sebelum sempat mengayunkan pedang tumpulku?

Apakah aku akan jatuh ke jurang gelap yang di dasarnya terdapat aliran lahar panas yang siap memakanku hidup-hidup?

"Ra? Kamu nggak apa-apa?"

Aku menoleh ke samping, mendapati Mark yang melirikku sebentar sebelum memandang ke jalanan lagi. Tangannya masih setia memegang setir kemudi.

"Iya. Gue nggak apa-apa."

"Sedari tadi kamu gigit jari mulu. Tangan kamu juga agak geter," jelas Mark, membuatku segera menurunkan tanganku dari depan mulut. "Lagi kurang sehat, Ra? Aku bisa anterin ke RS kalo-"

DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang