82. Arion - Circle

30 4 0
                                    

Chill dulu, setelah dua bab sesek napas 😉

---
.
.
.
.
.

Pernahkah kau begitu menyukai seseorang sampai-sampai perasaanmu berubah jadi benci dalam waktu singkat hanya karena satu momen disakiti olehnya?

Lalu, di titik di mana kau tak ingin tahu-menahu tentang dia lagi saking tak mau mengingat luka itu, kau malah berubah menyukainya lagi dalam beberapa detik hanya karena melihatnya.

Pernahkah kau mengalami hal semembingungkan aku?

Pernahkah kau merasa hampir gila hanya karena seseorang yang begitu kau inginkan dan kau benci di saat yang bersamaan?

Iya. Aku membenci Nadia.

Sungguh.

Selama beberapa hari, setelah pipiku ditampar olehnya dan dihinakan dengan ucapannya yang menusuk jantungku, aku memutuskan untuk menjauhinya.

Bukan tamparannya yang menyakitiku, melainkan ucapannya.

Sudah cukup menyakitkan saat hatiku diretakkan olehnya kala hujan waktu itu. Namun, pada tiga minggu yang lalu, dia tidak hanya menambah retakan yang sudah kutanggung, tapi menghempaskannya keras-keras di lantai hingga berceceran tak berbentuk lagi.

Tidak usah ditanya bagaimana rasanya. Yang jelas, tentu sangat buruk.

Campuran frustasi, marah, sedih, benci, dan putus asa telah bercampur jadi satu, yang sayangnya tak bisa kuluapkan di hadapannya karena aku, harus kuakui, masih menginginkannya.

Kefrustasian yang meletup-letup itu kupendam, kulampiaskan pada hal-hal yang sekiranya mampu membangkitkan kepercayaan diriku lagi. Demi membuktikan pada diriku sendiri, bahwa ucapan Nadia adalah salah.

Aku tidak seburuk itu.

Aku yakin, aku bukan orang yang buruk.

Dalam beberapa hal, kuakui Ezra lebih unggul dariku. Namun, dalam beberapa hal lainnya pula, aku juga punya kelebihan yang Ezra tidak punya.

Aku tidak sehina itu sampai-sampai tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Ezra seujung kuku pun.

Aku yakin itu.

"Lo serius mau main?" tanya Anto, teman sekelasku. "Kan lo baru aja selesai tanding voli."

"Voli tuh pake kekuatan tangan, sedangkan futsal pake kaki," jawabku enteng.

"Iya tau. Tapi tenaga lo masih ada?"

"Masih banyak. Nggak usah khawatir tim kita kalah gara-gara gue mainnya loyo! Gue berambisi menang lebih dari siapapun di pertandingan ini."

Satu minggu setelah ujian semester adalah saatnya hari-hari pengumuman remedial dan juga kegiatan PORAK, Pekan Olahraga Antar Kelas. Hari Senin sampai Jumat saja, karena hari Sabtu-nya adalah hari pembagian rapor.

Sepuluh menit yang lalu aku baru selesai main voli dengan timku, dan berhasil meraih kemenangan tiga set langsung. Sekarang aku sudah ada di ruang ganti olahraga, sedang bersiap untuk bertanding futsal.

Bukannya tidak lelah, hanya saja kelelahanku tertutupi oleh ambisi kemenangan yang membara.

Kalimat penghinaan dari Nadia membuat sesuatu dalam diriku terbakar. Ingin kubuktikan padanya sekaligus pada diriku sendiri, bahwa dia telah salah menilaiku. Akan kubuat ia menyesali ucapannya padaku.

Namun, sudah dua hari PORAK dilaksanakan, dan aku belum melihat Nadia sama sekali.

Terakhir aku melihatnya adalah di hari Sabtu pagi, hari terakhir ujian semester ganjil. Aku yang berada di samping tempat fotokopian sempat melihatnya berjalan memasuki gerbang sekolah.

DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang