38. Ezra - Question

32 8 0
                                    

Sejak awal, aku selalu melihat Nadia sebagai perempuan yang misterius, kendati sifatnya ramah dan reachable.

Dia banyak menyembunyikan sesuatu dariku, tapi satu persatu dia mau mengakuinya, dan progresnya itu sangatlah kuhargai.

Tidak apa-apa. Seiring dengan berjalannya waktu, aku yakin kami bisa beradaptasi dengan satu sama lain. Aku akan semakin mengenal dan memahaminya, dan begitupun sebaliknya.

Aku tidak mau gegabah memaksanya memberitahuku sesuatu yang padahal ia belum siap mengatakannya, karena aku pun juga begitu. Aku belum siap ditinggalkan Nadia setelah kuberitahu ia tentang kisahku.

Untuk saat ini, aku ingin menikmati setiap detik kebersamaan kami dengan bahagia sembari pelan-pelan berusaha memperkuat hubungan kami. Biarkan waktu mengalir dengan normal dan bermuara ke suatu tempat.

Bahkan jika muara itu nantinya penuh air mata, aku tidak apa-apa, karena aku sudah terbiasa dengan air mata.

Arion benar, tentang aku yang harusnya tak hidup tenang dan baik-baik saja. Kebahagiaan semacam ini adalah kemewahan untuk orang sepertiku, dan aku sepertinya harus membayar mahal untuk itu.

Entah aku akan membayar dengan cara apa. Entah berapa banyak air mata yang harus kuluapkan untuk membayar kebahagiaan ini, aku tak peduli.

Selama aku sempat mencicipi kenyamanan seperti ini walaupun hanya sebentar, it's all worth it.

Aku mengecup ujung kepalanya sembari memejamkan mata. Ia yang menyadari tindakanku pun mengangkat kepalanya dari bahuku.

"Ezra," panggilnya.

Bola mata yang seakan ditaburi bintang itu memandangku lembut, membuatku ingin berlama-lama tenggelam di galaksinya. "Kenapa?"

Sudut-sudut bibirnya melengkung ke atas. Lalu, sebuah kecupan singkat kuterima di pipiku.

Dia tersenyum lebih simpul padaku, lalu kembali menaruh kepalanya di bahuku. Tangan kami masih saling bertaut saat keheningan kembali mendominasi atmosfer di sekitar kami.

Ada banyak pertanyaan dalam kepalaku, terutama pertanyaan tentang apa yang dia bicarakan dengan Arion tadi, sampai-sampai dia membolos dan jadi terlihat gundah begini.

Aku sangat ingin bertanya, tapi aku tak ingin membuatnya tak nyaman. Semoga saja akan ada waktu lebih baik aku bisa leluasa bertanya padanya.

Tidak apa-apa. Untuk sekarang, aku ingin menikmati ketenangan ini dulu bersamanya. Ketenangan yang semoga saja tidak berdurasi singkat.

"Ezra," panggil Nadia lirih, tanpa mengangkat kepalanya dari bahuku.

"Hm?"

"Boleh aku nanya sesuatu?"

"Iya. Boleh, kok. Mau nanya apa?"

"Ummm..." Tautan tangan kami terasa makin erat. "Kenapa kamu pindah dari Surabaya ke Jakarta?"

Aku tertegun. Kuteguk salivaku sebentar sebelum menjawab pertanyaannya dengan sederhana. "Pengen cari suasana baru," jawabku, tidak sepenuhnya berbohong, kan?

"Cuman itu?"

Lidahku terasa getir. Tenggorokanku pun jadi lebih kering. Sungguh, aku belum siap untuk menceritakan segalanya pada Nadia.

"Aku dan Surabaya nggak cocok," tambahku. "K..kenapa tiba-tiba nanya gitu, Nad?"

"Karena Arion nyuruh aku banyak nanya ke kamu, soalnya dia bilang aku nggak akan percaya sama cerita dia andaikan dia yang jelasin. Jadi aku disuruh minta penjelasan sendiri sama kamu."

Napasku tertahan. "Penjelasan tentang... alasan aku pindah ke Jakarta?"

"Tentang semuanya, Ra. Kamu yang musuhan sama Arion, kamu yang putus sama Aluna, dan juga... tentang ibu kamu."

DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang